Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Saat Terakhir Bertemu Kakek

3 min read

Tulisan ini nemu dari file Document di laptop Abah. Tulisan tentang saat-saat kehilangan Bapak dari Abah saya.

kisah detik-detik terakhir Abah bersama dengan Bapak

SAAT-SAAT TERAKHIR BERTEMU AYAH

Malam rabu tanggal 4 Agustus 1993, aku berangkat ke Yogyakarta, untuk keperluan kuliah di S3. Perasaan terasa kurang luas, memang beberapa bulan sebelum itu selalu daam kewaswasan hati manakala aku pergi Yogya. Banyak hal yang mengganjal perasaan ketika itu. Tugas, keuangan dan yang paling mempengaruhi adalah kondisi ayah sendiri yang sudah sangat kritis. Begitulah suasana berlalu di Yohya melewati situasi kurang menggembirakan.

Hari Kamis 5 Agustus 1993 sekitar pukul 10.00 siang aku meninggalkan kota Yogya, langsung menuju rumah Cikeusal. Biasanya, perjalanan memakan waktu sekitar 9 sampai 11 jam tergantung keadaan lancar tidaknya di perjalanan. Namun kemacetan memang jarang terjadi. Sekitar pukul 10.00 malam tiba di Cikeusal Lor, seperti biasanya mampir di rumah orang tua, melihat bagaimana perkembangan kondisi ayah.

Kekhawatiran telah berlangsung sejak ayah tidak mau makan dan minum semenjak habis di bawa ke Brebes (dr. Bambang) sekitar tiga bulan sebelum itu. Ketika itu ayah pulang menderita karena sempat muntah merah di langgar Ketanggungan selatan rel, lebih lagi pulangnya dibonceng di motor (Nasrudin).

Pukul 10.00 atau sekitar itu aku berbincang soal kondisi ayah dengan ayah sendiri. Ibu bercerita, bahwa ayah hari ini (Kamis manis) tak sempat mau bangun dan tak bicara apa-apa. Seharian kelihatannya hanya banyak melamun dan berfikir mendalam. Mudah-mudahan ketika itu selalu dzikir dan dialog dengan malaikat utusan-Nya.

Ketika ibu bercerita bahwa ayah tak kelihatan shalat atau menepuk tembok untuk tayamun, ayah sempat marah. Tak nerima dianggap tidak shalat. Aku melerainya dan meluluskan perasaan ayahku. Terakhir aku berpesan, dan itulah yang selalu aku pikir jangan-jangan beliau terpengaruh perkataanku itu.”Memang penyakit begitu menuntut kesabaran. Kata dokter apapun yang dimasukkan tidaklah banyak mempengaruhi pertumbuhan kesehatan, apalagi menambah daging”. Begitu kataku. Tak lama akupun pulang ke rumah bertemu istri dan anak-anak. Saying mereka sudah tertidur, kecuali itu tak seorangpun siang itu ke rumah ayah, kebetulan istriku mengandung 5-6 bulan.

Setelah istirahat sejenak, membaca, berfikir dan melamunkan keadaan ayah sendiri, akupun tidur, dan ketika itu belum shalat Isya, sengaja akan bangun malam. Sekitar setengah tiga malam aku terbangun, dan dalam keadaan berat mencoba untuk tidak tidur lagi. Akhirnya akupun bangun ke kolam mengambil wudlu. Selamanya ingatkan kepada kondisi ayah tak terlupakan, barangkali itu rasa tanggungjawab karena merasa tak dapat tenang di rumah menunggu atau menggemberikan hati orang tua, kecuali kalau mampir hanya beberapa menit saja, atau satu dua jam saja. Bahkan kasihan, niatnya mengumpulkan semua anak cucunya saat lebaran tak kesampaian.

Seusai shalat Isya aku seperti biasanya berdo’a untuk ayah, untuk orang tua selalu. Ketika itu aku sangat merindukannya, dan rasanya lain dari biasanya untuk suasana malam itu. Aku pun shalar sunnnah dua raka’at terus mengaji dan merenungkan ayat yang dibaca. Aku dzikir dan wirid terus sehingga perasaan puas. Ketika aku memikirkan banyak hal tak terkecuali soal ayah sendiri, ketika itu aku ingin berangkat ke rumah orang tua. Namun ketika berpikir demikian, tiba-tiba terdengar ketukan dari luar, yang langsung aku jawab dengan pertanyaan, apakah ayah sudah meninggal? Jawaban dari luar rada menggembirakan bahwa ayah masih hidup tetapi tak berdaya. Akupun segera datang setelah memperbaharui air wudlu. Dan ketika itu sudah kumpul semua anak-anak di sana. Aku bergegas menuju kamar ayah.

Dijumpai ayah ketika itu melihat aku. Namun tak berdaya bicara. Aku memberi ayah minum dan kelihatannya segar. Namun bahasa isyarat tak ditangkap seluruhnya, dan ketika itu aku ambil keputusan untuk membaca Yasin. Aku selalu menyabarkan ayah, mintakan ampun dan maaf kepada Yang Kuasa. Aku selalu menapalkan tangan kiriku ke dahi ayah, berselang-seling dengan tangan kanan. Mataku tak henti-hentinya memperhatikan perubahan demi perubahan terjadi pada ayah dan kekuatan nafasnya. Begitu aku selesai membaca Yasin, aku menyaksikan dengan banyak orang bahwa ayah tidur, dan seperti biasanya ayah tidur tak ada tanda-tanda bahwa ayah sekarat. Anehnya perubahan itu berlangsung sejak tiga perempat surat Yasin kuselesaikan ayah satu-satu matanya mulai meredup dan berpejam. Mula-mula yang kanan, lalu yang kiri. Ketika sudah memejam semua ayah terus mendengkur seperti tidur. Semua orang mengira ayah istirahat tidur. Aku sendiri, menduga demikian. Jika tidak, dugaanku lainnya ialah bahwasanya ayah mengalami koma yang mungkin cukup lama.

Karena keyakinan kuat adalah bahwa ayah tidur, akupun keluar kamar, sementara beberapa orang termasuk ibu dan adik-adik dalam kamar. Sekitar lima atau sepuluh menit kemudian ketika aku berbindang dengan orang-orang di depan, ibuku memanggilku ke dalam, dan aku menyaksikan ayah sudah menghadap Ilahi, Allah SWT. Seusai istirja, aku mengucap hamdalah atas keringanannya, dan kenikmatannya dalam melepas nyawanya. Tak ada tanda-tanda kesakitan kecuali ketika tampak kesulitan oleh sesuatu yang menghadang di tenggorokannya, mungkin semacam dahak kental atau lubang nafas tersumbat. Namun disadari bahwa sebelumnya, tensi darah selalu aku control, dan kecemasan demi kecemasan dirasakan semenjak tensi berjalan semakin menurun, dari 90, ke 80, ke 79, dan dalam kerendahan di luar batas kemampuanlah ajal itu menjemput. Kini ayah kembali ke hadapan Ilahi Rabbi. Sejak itu aku mendapat pelajaran untuk siapa saja termasuk untuk anak-anakku semua. Maulah kalian memegang atau memijit siapa saja yang sakit dari kalangan family, walau hanya mengelus punggungnya, atau walau hanya memegang badannya. Dan maulah kiranya menyempatkan bermalam di rumah ayah atau ibu menjelang akhir hayatnya, sekedar melepas kerinduan dan kasih saying dari ayah ibu atau untuk ayah ibu. Menggembirakan untuk terakhir kali.

Keyakinan bahwa ayah mangkat menghadap Ilahi sekitar pukul 03.15. Perasaan yang sangat berharga ialah ayah wafat dan selalu dalam kesucian dan kebersihan, tak mengotori, sama sekali. Tidak meninggalkan pesan kecuali masalah adik-adik semua yang selalu dikhawatirkan jauh-jauh sebelumnya. Ayah mangkat tetapi urusan dengan anak-anak sudah lulus, karena semuanya sudah berumah tangga. Ayah wafat meninggalkan peninggalan berharga. Beliau berkorban apa saja untuk yang ditinggalkan, dan kenangannya ada pada rumah yang didambakan untuk peniggalan jauh-jauh hari sebelumnya, di mana sempat dikatakan bahwa “aku membangun untuk kalian, toh aku tidak bakal menempatinya”. Ucapan itu terbukti karena Allah menjemputnya sebelum rumah selesai 100 %, namun sudah dapat ditempati.

Benarlah firmah Allah, bahwa sesungguhnya di sisi kesulitan itu ada kemudahan. Demikian juga sebaliknya. Allah sebelum itu memberi rizki dari arah tak terduga melalui burung wallet, 13,5 juta. Benar-benar ayah wafat meninggalkan kenangan baik dan mengikuti jejak usia Nabinya, sekitar usia akhir 63-64 tahun. Tepatnya ketika usiaku 43 tahun, dan tengah menempuh kuliah S3 di IAIN Sunan Kalijaga. Doa menyertaiku selalu. Pesanku untuk kalian adik dan anak-anak adalah doa selamat sejahtera hendaknya selalu dilimpahkan kepada beliau ayah tercinta. Akupun selalu berdoa untuk beliau. Ampuni dan angkatlah derajat beliau, diluaskan kuburnya dan terangi di dalamnya dengan cahaya rahmat-Mu Ya Allah Rabbal ‘Alamin.

Amien, Amien, Amien ya Rabbal ‘alamin 🙂

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!