Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Awal-Awal tinggal di Groningen

3 min read

GRONINGEN

Jadi pada tanggal 19 Mei tahun kemarin menjadi awal kaki menginjakkan diri di Negara Kincir Angin. Saya mau bercerita sedikit tentang hal ini. Tentang awal kami menginjakkan kaki di kota kecil ini. Groningen.

Rada telat atau bahkan telat banget ya baru menceritakannya sekarang. Maklum. Baru pengen, saya nulis masih karena pengen aja soalnya. Tapi momen awal ini agak sayang untuk dilewatkan. Akhirnya setelah konsultasi kegalauan dalam dunia perblogan saya, mbak @ewafebri sudah menyelamatkan saya dari kegalauan tersebut. Makasih mbak.

Jadi, awal kami sampai di Groningen, kami bertiga jetlag. Tentu saja. Ini perjalanan terlama dan terjauh kami. Membawa anak kecil yang sedang tumbuh kembang menjadi tantangan sendiri. Untungnya, Nahla banyak tidur sepanjang jalan. Sementara barang bawaan kami juga tidak begitu banyak. Hanya dua tas koper dan dua backpack.

Sepertinya saya kurang banyak mencari informasi. Hidup di negara sub tropis ternyata banyak hal yang harus dipersiapkan. Entah sih, mungkin saya terlalu sederhana memikirkan segala hal, atau inginnya memang tidak melakukan hal-hal yang merepotkan. Hoho

  • Ulang tahun kedua Nahla

Putri pertama saya, Nahla pada tanggal 19 Mei tepat ulang tahunnya. Hore, dirayakan di Negara lain ya Nak. Haha. Eh, tapi ada sejarahnya di balik ini nih. Ehm, mungkin ada yang sudah rada paham nih.

Awalnya kita rada ketar-ketir menunggu visa jadi. Berdoa banget biar tidak lewat dari ulang tahunnya Nahla. Demi apa? Demi tiket pesawat 10 persen. Haha

Berangkat sekeluarga untuk tahun pertama kuliah itu memang modalnya nekat. Teman-teman yang lain rata-rata datang di tahun kedua atau semester kedua. Karena apa? Karena jatah dana buat keluarga memang tidak digelontorkan di awal.

Jadilah, kami sangat berharap bisa turun tepat sebelum tanggal 19. Alhamdulillah, untungnya sesuai perkiraan. Bahkan tepat banget.

Tangga 19 kita masih di Turki, udah khawatir aja, jangan-jangan nanti biaya pesawat kedua harus membayar 80 persen untuk jatah Nahla. Oh, untungnya hal tersebut tidak terjadi. Penjaganya tidak mengecek apapun data kami.

  • Menjelang musim panas

Cuaca menjadi pertimbangan penting ketika bepergian. Hal tersebut yang seharusnya saya cek sebelum melakukan perjalanan panjang dan tinggal setahun di sini. Groningen.

Tentu saja saya kaget. Sungguh kurang mencari informasi. Ternyata sekarang memasuki penghujung musim semi. Benar-benar lupa sama pelajaran geografi nih.

Musim semi identik dengan bunga-bunga yang bermekaran. Bisa dipastikan bunga tulip yang selalu membuat saya berdecak kagum, yang selalu menyenangkan saat di gambar, yang saya idam-idamkan untuk melihatnya, bunga tersebut pasti merekah dengan cantiknya. Dan, saya melewatkan momen terbaik itu. Haduh.

Lagi, karena ternyata datangnya di penghujung musim semi, maka kami mendapati waktu siang yang sangat panjang serta waktu malam yang sangat pendek. Kami keteteran membagi waktu malam, apalagi untuk bersembahyang.

Karena waktu yang panjang tersebut, dua hari pertama tinggal di Groningen kami melewatkan pergantian waktu siang menuju malam. Ketiduran jam 8, yang mana saat itu langit terang benderang. Eh, bangun tidur tengah malam tiba-tiba langit sudah gelap gulita. Kami benar-benar jetlag, dan kami tidak mempersiapkan diri untuk mengatasi jetlag.

Jetlag terjadi, pola jam tidur terganggu, begitupun juga pola jam makan. Terbiasa tidur sekitar jam 8 atau 9 malam. Eh di sini jam segitu langit masih terang. Terbiasa makan malam saat maghrib, eh maghrib di sini datang pukul 10 malam. Tentu perut sudah keroncong berat. Oh benar-benar awal adaptasi yang cukup berat.

Puasa pertama terlama

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kami sampai tepat saat musim semi akan segera berakhir. Itu tandanya apa? 19 jam puasa cintaaa. 😂

Untungnya sih, saya sedang berhalangan. Sementara suami, dia belum kuat. Dia libur 2 hari. Akhirnya kita menikmati hari-hari awal di sini dengan tidak berpuasa.

Sementara raga sudah siap melewati puasa. Oh. Sungguh, rasanya menunggu matahari terbenam menjadi hal yang sangat ditunggu-tunggu. Meski nyatanya lamaaa banget. Si Ayah yang sudah pulang jam 5 sore pun akhirnya sampai membiasakan diri pulang jam 9 malam. Alasannya apalagi kalau bukan ingin langsung santap sesampainya di rumah.

Sementara waktu berbuka masih lama, saya males-malesan untuk membuat menu makan Nahla. Biasanya dia makan sepola dengan orangtuanya. Tapi, masa iya mau ikut-ikutan makan tengah malam juga. Ya sudah saya mulai memberikannya roti deh.

Minggu kedua, akhirnya kami mulai beradaptasi. Senang rasanya melihat matahari terbenam. Jadwal memasak untuk berbuka tentu ikut mundur juga. Pukul 9 saya baru mulai meramaikan dapur.

Untuk urusan sahur, kita melewatkannya. Bukan tak mengharap berkahnya sahur. Waktu malam yang pendek membuat kami keteteran membagi jam tidur, apalagi untuk memasak, saya tidak sempat sama sekali. Segelas air dan satu buah pisang sudah cukup mengenyangkan perut kami.

Puasa terlama ini memberikan kenikmatan yang benar-benar terasa saat berbuka. Mungkin ini petikan perjuangan lebih muslim di Eropa. Perjuangan bagi mereka, Muslim yang taat.

  • Waktu tidur dan sholat

Semenjak menikah memang saya lebih suka tidur lebih awal. Lebih tepatnya sih ketiduran setelah ngeloni Nahla. Tapi memang nikmat tidur lebih awal, karena saya bisa bangun lebih awal juga tentunya.

Tapi hal tersebut tidak bisa dilakukan disini. Mendekati musim panas dan selama musim panas kita disuguhkan dengan malam yang begitu pendek membuat kita benar-benar kurang tidur. Lalu apa yang terjadi?

Kita kurang tidur. Tentu saja. Tapi sebagai muslim, kita kewalahan menghadapi waktu-waktu untuk mendekat kepadaNya. Maghrib jam sekitar jam 10, isya sekitar jam 12, dan shubuh sekitar jam 2.

Akhirnya saya googling, saya dapati trik-trik teman-teman muslim Indonesia yang tinggal di Eropa. Ada yang bilang tidur dulu sebelum maghrib. Ada juga yang menyatukan maghrib dan isya dalam satu waktu. Ada juga yang melaksanakan sholatnya mepet-mepet waktu.

Saya dan suami akhirnya sepakat untuk melakukan maghrib di awal waktu, serta isya di akhir waktu menjelang shubuh. Hmm, tapi bisa terbayang sih, waktu tidur malam menjadi sangat pendek.

Lalu, pada akhirnya kita akan tertidur lagi setelah subuh hingga pagi datang. Iya, hingga matahari sudah terbit, bahkan menjelang siang. Hahaha.

  • Bersepeda bersama kemana-mana

Mendapati senior suami yang tinggal di sini menawarkan sepeda, ya sudah akhirnya suami sudah dapat. Giliran saya belum dapat juga. Tapi memang belum ada niatan beli juga. Entah kenapa, belum pengen.

Padahal, dipikir-pikir saya tega juga ya. Kemana-mana akhirnya kami bersepeda bertiga. Wah, bertiga di tengah-tengah puasa. Sungguh, maafkeun suami. Semoga pahala untukmu banyak. 😘

Perjalanan selanjutnya, semoga nanti bisa saya ceritakan lagi ya. Langit sudah gelap, saya mau bobok aja. Eh, btw ini ditulis pake hape ya. 😊*penting

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

2 Replies to “Awal-Awal tinggal di Groningen”

  1. Wah baru tau cerita mba ghina awal2 dirantau, semoga betah ya sekeluarga..

    Katanya beberapa bulan lagi BFG, disana 1 tahunkah? Dalam rangka sekolah atau apa mba..lancar2 ya semuanya 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!