Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Peristiwa Bahasa pada Anak

2 min read

baby babysitter babysitting 1741231

Tiba-tiba terdengar anak jatuh dari kursi. Si Ibu dengan tegapnya langsung mendekati si anak sembari bertanya: Kenapa, Nak? Jatuh dari kursi ya. Duh, kursinya nakal ya. Puk puk puk (sembari memukul kursi seakan sedang menyalahkan kursi tersebut). Si anak kemudian terdiam dari tangisan dan langsung dipeluk Sang Ibu dengan eratnya.

Kejadian tersebut ternyata bukan hanya terjadi di satu tempat. Namun ada dan terjadi di banyak tempat. Kini, para ahli parenting bilang bahwa hal tersebut secara tidak langsung mengajarkan pada anak tentang menyalahkan sesuatu/seseorang tanpa mengakui pada kesalahan diri sendiri.

Kejadian tersebut nampak sangat sederhana. Kita sendiri seringkali tidak menyadari bahwa ada dampak besar dari kata yang terucapkan. Anak mendengar suatu kata, meniru dan mempraktekkannya dalam interaksinya dengan orang lain.

Kata menjadi sangat penting dalam pembentukan bahasa anak. Beberapa kali saya mengikuti kelas bahasa yang diadakan oleh Miss Uun. Saya menyadari bahwa kata sangat berpengaruh besar dalam kehidupan kita. Kelas ini tidak hanya membahas bahasa secara sempit. Karena nyatanya memang bahasa digunakan untuk segala aspek. Dan kita adalah agen pengaplikasi dan penjaga bahasa itu sendiri.

Mempelajari bahasa tidak serta merta menjadi sebuah kalimat. Ingat, ada bagian-bagian pentingnya. Ada rangkaian huruf yang memiliki makna menjadi sebuah kata. Ada rangkaian kata yang bermakna dan tidak berpola subjek – predikat yang disebut dengan frase, dan ada juga rangkaian kata yang bermakna dan berpola subjek – predikat dengan tanda pengakhir atau kita kenal dengan kalimat.

Kita, sangat akrab dengan ‘kalimat’. Yang saya ingat dari pelajaran sewaktu MI, adanya rangkaian S-P-O-K dalam suatu kalimat. Sudah, itu saja. Memang tidak sebelibet mempelajari bahasa Inggris dan bahasa lainnya. Predikat tidak hanya berupa kata kerja, tapi juga bisa berupa kata keterangan maupun kata sifat dan kelas kata lainnya.

Kembali ke Kata. Mempelajari kata tetiba mengingatkan saya pada peran saya sebagai Ibu. Ibu sebagai sumber utama bahasa yang didapatkan oleh anak. Maka tentu Ibu harus bisa mengolah dan mentransfernya sebaik mungkin. Namun, nampaknya hal ini yang sering kita lalaikan. Jangankan mengolah, seringkali kita berucap pun secara serampangan, tanpa mengolah dan memilahnya sebaik mungkin. Kita sering mengabaikan makna, nada, dan akibatnya.

Saya ingat sekali, saat itu adalah hari pertama Nahla sekolah sewaktu di Belanda. Kita sebagai orangtua tidak diperbolehkan untuk menemani anak meskipun anak kita menangis. Jika nangis sudah lebih dari 1 jam, barulah kita akan dihubungi oleh Juffrow-nya. Awalnya, tentu saja Nahla menangis. Tapi yang sangat sesalkan justeru kata-kata saya sendiri. Saya bilang : Mamah tinggal dulu ya”.

Kata “tinggal” menjadi kunci yang sangat melekat akhirnya pada Nahla. Dan dia mengartikan makna tinggal sebagai suatu kejadian bahwa akan ada seseorang yang meninggalkannya. Tentu saja dia sedih sekali. Kita pun juga merasakan demikian pastinya.

Akhirnya saya berjumpa dengan seorang teman dan saya bercerita tentang kendala sekolah Nahla. Dia bilang : coba diganti katanya. “Sampai ketemu lagi nanti ya. Nanti mamah akan datang menjemput”. Baik, saya praktekkan. Ternyata sangat ampuh. Dia senang karena ada harapan untuk berjumpa kembali. Sebegitu drastis ternyata pengaruh kata.

Balik lagi ke bahasa. Menjadi Ibu dan Ayah berarti siap untuk belajar seumur hidup. Siap mengajarkan kebaikan dan keteladanan. Dan semua diawali dari kata. Dari bahasa komunikasi kita.

Kita seringkali lupa menjelaskan makna dari suatu kata. Padahal definisi itu adalah tubuhnya suatu kata. Karena setiap kata memiliki maknanya masing-masing. Dan pendefinisian bahasa ini adalah suatu perisitwa. Miss Uun bilang, Peristiwa Bahasa. Maka jangan salah meletakkan makna kata pada tempatnya.

Peristiwa Bahasa : Menjelaskan makna sebenarnya dari suatu kata. Sehingga tidak terjadi peletakan makna yang salah dan negatif.

Miss Uun

 Semisal kata ‘tinggal” yang saya ucapkan. Padahal secara makna, tinggal artinya menetap. Artinya tidak ada yang menghilang. Hanya meninggalkan sesuatu tetap pada tempatnya. Kenapa kemudian menyamakan makna kata tinggal dengan kata berpisah? Apakah kita memang terlalu menyukai makna-makna negatif dari suatu kata?

Tolong diingat, konsep utama untuk menguasai dunia adalah lewat bercerita. Dan bercerita dimulai dari rangkaian kata. Dan kita sebagai perantara kata, semoga menjadi perantara yang amanah menyampaikan kata-kata yang bermakna positif dan bermakna sebenarnya.   

Berceritalah sesering mungkin!

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

3 Replies to “Peristiwa Bahasa pada Anak”

  1. Mengolah kata emang susah susah gampang apalagi ke anak. Yg susah lagi kata “Jangan”, nyari kata ganti “Jangan” itu aku mikirnya lama apalagi kalau anak sudah bertingkah membahayakan, nah refleks deh bilang Jangan 😅😅😅

  2. Tinggal juga sering saya gunakan untuk pengganti kata ‘sisa’ hahaha.
    Jauh amat ya melencengnya 😀

    Btw, saya rasa zaman sekarang seharusnya cara ibu menghibur anak yang jatuh dengan menyalahkan benda semestinya sudah berkurang.

    Secara, medsos di mana-mana, banyak tulisan-tulisan yang membahas hal tersebut.

    Tapi anehnya, masih juga banyak yang menggunakan hal tersebut 🙁

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!