Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Gegara covid-19 : Tantangan Ibu Mengajar Mengaji

3 min read

20200501 080426 0000


Usia Nahla sudah hampir jelang 4 tahun di bulan depan. Semenjak tinggal di Kalimantan Selatan, dia pun mulai saya aktifkan untuk ikut kegiatan mengaji di TPA. Tentu, bukan karena ibunya males ataupun sibuk banget. Karena ternyata saya selalu diminta dia untuk menemaninya ke Musolla. hoho.

Hanya saya, ibu yang menemani anak di ke TPA dan masuk di musholla-nya. Yang lain mah pada duduk di Musholla nih. Alih-alih malu, jadilah saya belajar untuk memperhatikan interaksi Nahla dengan teman sejawatnya.

Mengaji di TPA menjadi tempat yang bagus juga untuk mendapatkan teman. Maklum, tinggal di perumahan menjadikan kami sulit sekali untuk ketemu dengan orang lain. Sama tetangga pun saya belum tahu siapa namanya. Tidak ada juga anak perempuan di sekitar komplek yang bermain rame-rame. Kalau anak laki-laki sih banyak banget memang.

Nah, selain memperhatikan Nahla berinteraksi dengan temannya, saya juga perhatikan fokus dia dalam mengaji. Ternyata dia ini anaknya agak susah untuk fokus. Jika sampingan dengan temannya, dia harus mengaji terakhir. Kalau tidak, heum bakalan melirik ke temannya terus, ngajak ngobrol, ataupun lihat-lihat ke belakang.

Mendapati fokus di usia jelang 4 tahun ternyata menjadi tantangan tersendiri. Untungnya nih Pak Ustadznya sabaaar pisan. Entah karena ada ibunya, atau karena memang biar cepat aja kelar gitu ngajinya, jadilah dicepetin. Baik dengan cara dituntun, atau baca cukup separuh halaman saja.

Maret yang menjadi titik balik

Jeng-jeng, bulan Maret pemerintah mengumumkan untuk memberlakukan social distancing. Di sini waktu itu belum diberlakukan, sih. Namun, tidak ada salahnya toh untuk melakukan pencegahan lebih awal.

Jadilah, keluarga kami langsung ikutan melakukan social distancing saat itu juga. Tidak keluar rumah sama sekali jika tidak penting. Anak ngaji, juga nggak ikutan lagi.

Awalnya ikutan social distancing di sini kok terlalu pede, ya. Karena di sini belum memberlakukan. Tapi sabodo teuinglah. Pokoknya ya itu, prinsipnya adalah melakukan pencegahan lebih awal. Eh, benar saja. Seminggu setelah kita melakukan social distancing, pemerintah Banjar pun akhirnya mengumumkan untuk melakukan social distancing juga.

Nah, lalu gimana nih sama ngajinya Nahla?

Ngaji bareng Ibunya tercinta, donk. hahahaha

Minggu-minggu terakhir Nahla ngaji di langgar
haru terakhir ngaji di Langgar Al-Irtibath

Well, sungguh besar jasa seorang Guru, ya. Saya yang tiba-tiba mendadak harus mengajarkan suatu hal kepada anak sendiri itu memang tidak mudah. Itu sebabnya, banyak ulama jaman dahulu, mungkin hingga sekarang juga, menyekolahkan, ataupun menitipkan anaknya kepada Guru yang lain.

Bukan, bukan karena orangtua tidak mampu. Toh, ulama-ulama tersebut juga memiliki santri banyak. Tapi, mengajari langsung anaknya adalah tantangan lain.

Karena adanya kedekatan personal, hubungan darah, kedekatan sebagai orangtua dan anak, kedekatan ini menjadi kendala dalam mengajarkan sesuatu. Dia bisa dengan tanpa sungkan membantah, kadang seenaknya, atau malah semakin nggak fokus. Kita juga mudah emosi dan meluapkannya. Kalau sama orang lain, pasti dia akan sungkan untuk membantah. Orang lain yang ngajar juga nggak tega buat marahin gitu.

Ternyata tantangan itu bukan hanya sekadar teori belaka. Saya mengalaminya. Ada banyak sekali kekuatan yang perlu saya kerahkan. Ketenangan hati, ketenangan suara, kenyamanan mood, kesabaran serta kreatifitas yang tinggi. Sebagai Ibu yang kreatifitas nggak sekeren emak-emak hebat di luar sana, ini berat, tapi menantang. Hufft. *SingsingkanBaju

Saat ngaji telah usai, meski nada tinggi sudah dikeluarkan, tapi dia tetap memilih untuk mengaji bersama Ibunya. Lalu, kita masing-masing pun minta maaf. Maaf untuk Mamah yang sudah marah-marah. Maaf untuk adek yang nggak fokus. Nah, kaaaaan, dia tuh faham. Tapi, episode begini berulang hampir tiap ba’da maghrib.

Bagaimana baiknya menerapkan Al Umm Madrasatul Ula

Bagaimana ya, ada yang tahu?

Kejadian ini sebenarnya mengingatkan saya pada kenangan masa kecil dulu. Saya dan semua kakak maupun adik saya benar-benar dihandle oleh Ibu saya, hampir untuk urusan apapun. Urusan mengaji apalagi.
Bayangan saya, dulu saya tidak begitu serng membuat Mimih naik darah gegara nggak fokus. Sepertinya saya cukup manutan anaknya. hahaha. Lalu saya cek ke Mimih, ternyata ya, sami mawon. Ya, memang gitu fasenya, jawab beliau.

Baiklah, menjadi Ibu yang katanya adalah Madrasah pertama bagi anak-anaknya ternyata memang mulia. Karena tantangannya pun sungguhlah menarik untuk dikupas. Adanya tantangan, karena segala tindakan yang dilakukan oleh anak kita berbeda-beda. Setiap anak pun istimewa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Jadilah, menjadi orangtua, terutama ibu perlu sekali banyak belajar untuk memahami.

Belajarnya sama siapa?

Ya, tentu di era digital begini kan ada banyak sekali ilmu parenting yang berkeliaran di mana-mana. Tapi balik lagi, setiap anak itu istimewa dengan segala kelemahan dan kelebihan. Maka, sumber untuk mempelajari anak anak kita adalah anak-anak itu sendiri. Menerapkan ilmu parenting tetap harus melihat kemampuan dan kelebihan yang dimiliki anak-anak.

Untuk menjadi Ibu yang bisa mengajarkan Iqro, ya tentu saja kita harus menguasai materi Iqro hingga Qur’an. Setelah menguasai materinya lalu? Menguasai cara menyampaikan materinya donk, haha.

Sampai saat ini, yang bisa saya lakukan hanya mencoba untuk lebih menguasai diri saja. Toh, umur 3-4 tahun ini fase konsentrasi anak hanya bisa 5-14 menit saja. Tidak lama. Dan, memang tidak butuh lama.
Yang dibutuhkannya adalah bermain.

Jadi, kita sebagai Ibu sepertinya memang harus bisa sekreatif mungkin untuk membuat hal yang menarik dan mudah difahami oleh anak-anak. Semisal untuk pengajaran Iqro dan yang setara dengannya (karena sekarang banyak sekali versi dasar untuk bisa mengaji ya), memberi contoh bisa dengan sering membaca Al-Qur’an, menggunakan metode bernada, belajar huruf dengan puzzle, mewarnai huruf-huruf, tebak-tebak, dan lain sebagainya.

Hanya saja, jika hal itu memang cukup menguras. Tak apa, sebisanya saja. Kunci yang perlu diingat dari yang sering Ibu saya, dan Ibunya Mbak Najwa, hoho (baru kemarin lihat video beliau tentang wejangan mengasuh) mereka menenkan pada cuddle time before sleeping alias ngelonin.

Disaat cuddle time, segala bacaan coba kita bacakan. Segala sholawat, coba kita bacakan. Segala hafalan surat, coba kita bacakan. Segala nasihat yang ingin coba diterapkan, coba sering-sering diucapkan. Segala ajaran, diajarkan berulang-ulang setiap mau tidur.

Waktu menjelang tidur menjadi awal yang sangat baik untuk orangtua dan anak. Efeknya sangat baik untuk merangsang otak anak, membentuk ikatan emosional yang rekat, dan mengurangi stres. Sehingga, waktu ini menjadi waktu yang sangaaat-sangat tepat untuk membisikkan hal-hal tersebut di atas pada anak. Berulang-ulang, pelan-pelan, dan dengan tenang.

Sepertinya begitu. Kalau, versi Al-Umm Madrasatul Ula menurut kamu gimana, nih?

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

3 Replies to “Gegara covid-19 : Tantangan Ibu Mengajar Mengaji”

  1. I feel you Mbak, ajarin anak TK ini aja masih buat emaknya konser tiap kali belajar. Kalau ngaji sih agak mendingan walau masih sering hilang fokus juga sih dianya.
    Yaaa gitu deh ya, kita harus lebih sabar dan bisa kendalikan diri. Gak bosan-bosan menasihati dan memberi contoh yang baik ya. Pandemi ini memang bikin mamak jadi bisa segalanya di rumah, ya koki lah, dokter, guru dan Ibu terbaik tentunya 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!