Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Mempelajari Jejak Kota Bandung Dalam Tata Kelola Sampah dengan Konsep Zero Waste Cities

4 min read

belajar zero waste dari kota bandung melalui Kawasan Bebas Sampah

Untuk pengelolaan sampah agar jadi Kawasan Bebas Sampah, nampaknya kita perlu belajar banyak dari Kota Bandung. Kegiatan yang diusung oleh YPBB (Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan) seperti gerakan Kang Pisman, Zero Waste Cities memberi bukti adanya kepedulian dari lembaga yang didukung oleh pemerintah untuk mengelola sampah dengan baik.

Sebagai ibu rumah tangga, saya sadar selain makanan, sampah juga akrab dengan keseharian saya. Ternyata memang mengelola sampah itu berat. Lebih berat daripada mengolah makanannya euy. Semenjak belajar untuk hidup minimalis dan gaya hidup lebih minim sampah, akhirnya saya pun belajar untuk berteman juga dengan sampah.

Baca juga : Mengisi Rumah Kosong dengan Konsep Minim Sampah

Pengelolaan sampah di satu rumah tentu lebih ringan. Namun menggerakkan banyak rumah untuk mengelola sampah hingga bisa mengurangi volume sampah di TPS menjadi PR bersama baik masyarakat maupun pemerintah. Ya bayangkan saja, setiap harinya jumlah sampah yang terkumpul bisa mencapai 1.324 ton.

Setelah hampir satu dekade perjalanan dalam program Zero Waste Cities (ZWC), YPBB pun mengadakan throwback perjalanan Kota Bandung dengan mengundang para pakar beserta para blogger. Hal ini tentunya  penting untuk menjadi bahan evaluasi agar pengelolaan sampah di kota Bandung berjalan lebih baik.

Jejak-Jejak Kota Bandung dalam Mengelola Sampah

Penting memang untuk mengetahui jejak awal perjuangan dalam mewujudkan sebuah misi maupun mimpi. Begitu pula dengan perjalanan pengelolaan sampah di Kota Bandung ini. Saya beruntung bisa ikut serta menyaksikan para pembicara memaparkan perjalanan, perkembangan, hingga rencana ke depan yang perlu dilakukan.

Dalam pers konferensi dengan tema ‘ Menjajaki Transisi (Perjalanan Kota Bandung Menuju Zero Waste Cities) kali ini hadir ibu Ratna Ayu Wulandari (Manajer Kota ZWC dari YPBB),  Ibu Ria Ismaria (Koordinator Bandung Juara Bebas Sampah) dan perwakilan dari pemerintah yang diwakili oleh ibu Deti Yulianti (DLH Kota Bandung).

Ketiga srikandi tersebut mencoba memaparkan progres serta evaluasi dari perjalanan kota bandung menuju Zero Waste Cities.

Konsep Zero Waste Cities (Kawasan Bebas Sampah)

Zero Waste Cities adalah tata kelola persampahan dengan mengusung konsep Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan (Kang Pisman) dengan mengadopsi model Mother Earth Fondation dari Filipina. 

Dalam perjalanannya, konsep pengelolaan sampah Kang Pisman ini sangat mengandalkan partisipasi masyarakat dengan mengambil percontohan pada dua desa sebagai model ZWC 2015, yaitu Sukaluyu dan Babakan Sari, dan tiga desa permodelan ZWC 2018, kelurahan Cihaurgeulis, Sukamiskin, dan Neglasari.

prinsip program kawasan bebas sampah

Jadi masyarakat yang biasanya mengolah sampah dengan cara kumpul-angkut-buang lewat program ZWC melalui para edukator yang berkeliling ke rumah warga meminta mereka untuk mengelola sampah dengan cara memilah sampah di rumah masing-masing. Setelah pemilahan sampah dilakukan, sampah organik dan non organik tersebut akan diberikan kepada petugas sampah yang berkeliling.

Dengan adanya program ZWC ini, tentunya  diharapkan capaian sampah di hilir akan semakin berkurang serta tentunya terlaksana yang namanya circular economy dari pemilahan sampah tersebut.

Perkembangan Perjalanan Zero Waste Cities

pencapaian kota bandung dalam mengelola sampah

Selama hampir satu dekade, senangnya lewat program ZWC ini sudah mampu mengurangi sampah hampir sebesar 40 persen. Beberapa desa yang menjadi pemodelan pun masih terus menjalankan proses pemilahan sampah dari rumah secara berkelanjutan. 

Dengan adanya semangat untuk tata kelola sampah yang lebih baik, kini sudah hadir PERDA dan PERWAL yang mengatur tentang pengelolaan sampah. DLH pun sudah turut aktif untuk mengembangkan Kawasan Bebas Sampah dengan menggandeng banyak pihak.

Bahkan, Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS) sudah berhasil mendorong Bapak Walikota untuk meluncurkan program ‘Kang Pisman’. Yang mana lewat program ini akhirnya sudah ada lebih dari 41 RW yang ikut serta melaksanakan konsep Kawasan Bebas Sampah.

Perkembangan ini tentunya diharapkan akan terus memberikan progres yang baik. Sehingga jumlah sampah di sumber bisa berkurang banyak dan menjadikan sampah di hilir tidak memakan biaya, tenaga, serta operasional yang panjang.

Kendala dan Tantangan yang dihadapi Zero Waste Cities di Kota Bandung

Ya memang bukan tidak mungkin dalam suatu program itu tidak ada kendala. Apalagi hal yang melibatkan hajat hidup orang banyak. Mesti aja banyak hal yang jadi kendala sekaligus tantangan untuk terus diperbaiki.

Baca juga : Mendorong Pemerintah Kota Jogja untuk Wujudkan Zero Waste Cities

Bu Ria menyatakan bahwa fokus dari ZWC ini kan untuk mengurangi sampah di hilir, tapi nyatanya masih ada banyak aspek masih belum sinkron. Hal ini sejalan dengan pemaparan dari Bu Ayu dari YPBB. Beliau bilang, program ZWC ini meski sudah berjalan cukup efisien untuk mengurangi sampah ternyata masih ada banyak kendala yang dihadapi, seperti : regulasi, kelembagaan, operasional, pembiayaan, sertanya tentunya pelibatan masyarakat

1. Perlu regulasi terkait sanksi

Selama ini memang sudah ada peraturan yang mengatur tentang pengelolaan sampah di kota Bandung ini, yaitu Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Sudah ada juga Perwalnya sebagai aturan pelaksananya.

Namun dalam praktiknya ternyata pemerintah kota masih mengalami kesulitan untuk menerapkan peraturan ini disebabkan oleh isu kelembagaan.Di lembaga bawah, peran-peran untuk mengelola sampah masih ada yang belum terbentuk sehingga pemberian sanksi masih kesulitan untuk diterapkan. 

2. Beban ganda lembaga DLH

Peranan pemerintah belum begitu banyak menyentuh pengolahan sampah. Selain itu, sayangnya pelaksanaan pengolahan sampah ini masih lebih membebani pemerintahan kota. Bahkan menurut Bu Ayu, belum ada kerjasama kuat dengan kawasan terkait maupun pemerintah desa/kelurahan serta TPA/TPS terkait. 

DLH sebagai lembaga yang mengurusi persampahan pun menapuk beban ganda. Bukan hanya sebagai regulator tapi juga sebagai operator demi jalannya program pengolahan sampah ini.  

3. Operasional masih belum teratur

Saat ini, sampah-sampah yang ada di Kota Bandung sistem pengumpulannya masih ada di satu TPA Regional saja, yaitu TPA Sari Mukti yang sudah rawan juga ternyata kondisinya. Kinerja untuk pengelolaan sampahnya pun jadi cukup panjang, dan tentunya hal ini membutuhkan waktu dan tenaga serta biaya yang cukup besar.

Selain itu, rencananya menurut Bu Deti TPA ini akan berpindah pada tahun 2024 dari TPA Sari Mukti ke TPA Legok Nangka. Namun penyetoran sampah pun dibatasi, hanya 800 -1025 ton per harinya. Maka tentunya membutuhkan sarana serta kontinuitas dari segala aspek agar lebih terintegrasi antara kawasan dengan TPA maupun TPS terkait agar lebih mampu mengurangi sampah.

4. Pembiayaan terlalu membebani

Jangan salah gais, kita membuat sampah itu membuang uang juga lho. Nggak cuma makannya aja yang butuh mengeluarkan sampah!

Seperti biaya yang dibutuhkan untuk mengelola sampah ini, ternyata bisa mencapai milyaran rupiah per tahunnya. Tahun 2020 saja menghabiskan 31 milyar untuk memenuhi tipping fee, biaya pengangkutan, serta biaya dampak negatifnya. 

cara pemilahan sampah

Belum lagi ternyata di lapangan pelaksanaan pengolahan sampah ini masih belum berjalan secara mandiri meski sebelumnya sudah ada pendampingan selama setahun. Belum lagi ternyata para petugas juga sangat bergantung sama insentif dari pemerintah. Sementara DLH Kota Bandung sendiri masih belum memberikan insentif pada semua petugas sampah. Belum lagi sistem retribusi sampah pun masih tumpang tindih, padahal perjalanan sampah dari kawasan menuju TPA pun tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 

5. Pelibatan masyarakat

Memang idealnya setiap warga memiliki kesadaran sendiri untuk mengolah sampahnya. Toh, kita yang menghasilkan sampah, maka seharusnya kita juga yang mengelolanya. Sampahmu tanggung jawabmu, lho!

Masih banyak masyarakat yang belum manut untuk mengolah sampah meski para petugas sudah rutin memberi edukasi. Beberapa dari masyarakat perkotaan masih saja ada yang buang sampah sembarangan. Ya masih ada. Bahkan ada juga yang manut kalau ada petugasnya datang atau tokoh masyarakat semisal RT/RW lebih berwibawa biasanya berpengaruh sama jalannya pengolahan sampah ini.

Tapi kan nggak melulu petugas serta para tokoh RT/RW ini juga semisi serta tegas terhadap warganya. Seperti studi kasus yang terjadi di dua RW di Babakan Sari. Mereka hanya setor sampah organik untuk memenuhi syarat ZWC saja. Bahkan ada yang hanya menyetor sampah tapi ternyata sampahnya belum dipilah sama sekali.

Takut karena sanksi, takut karena tokoh masyarakat yang galak, maupun takut karena sosok itu tidak akan mengubah pribadi kita lebih mandiri. Karena kesadaran itu berasal dari diri, bukan dari orang lain, ya toh?

Penutup

Perjalanan pengelolaan sampah di Kota Bandung sudah selangkah lebih maju tentunya daripada kota-kota lain yang belum melaksanakan sama sekali tentunya. Saya saja sampai berandai-andai agar Kota Yogya tempat saya tinggal misalkan, atau kota Brebes tempat saya lahir bisa ikut serta membuat gerakan Zero Waste Cities ini.

Tentunya permasalahan terkait regulasi, kelembagaan, operasional hingga pembiayaan ini masih harus terus digodok agar mampu menghasilkan tata kelola persampahan yang lebih baik.

Kerja sama dari kita sebagai warga tentu tak kalah pentingnya. Pengurangan sampah dari sumber memberikan sumbangsih besar dalam mengurangi beban biaya maupun beban kerjanya  sendiri.

So, yuk jadikan pilah sampah dari rumah sebagai habit barumu!

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!