‘Melahirkan di Belanda itu enak nggak enak sih. Tapi kamu bakal dibiarkan untuk mengusahakan persalinan secara alami. Para nakes bakal sering meninggalkanmu di ruang bersalin sebelum waktu bersalin itu datang. Melahirkan di rumah pun nantinya bidan suka santai banget padahal kita yang mau bersalin merasa udah nggak kuat kayak hampir brojol gitu lho’.
Saya mendengarkan cerita-cerita tentang melahirkan di belanda jadi horor sendiri sih membayangkannya. Menakutkan, tapi penasaran. Eh, ini ndilalahnya balik lagi ke Belanda pun dalam keadaan hamil 6 bulan.
Jreng, jreng.
Takut nggak takut, mau nggak mau saya pun harus menghadapinya, toh.
Inilah Cerita Persalinan Nurayya di Belanda
Kamis pagi adalah waktu yang sangat saya tunggu dan saya harapkan menjadi hari kelahiran anak kedua saya, Nurayya. Pokoknya paling lambat hari Kamis. Jangan sampai Jumat.
Kondisi kehamilan trimester ketiga yang penuh kejutan hingga melebihi HPL menjadikan Jumat sebagai waktu yang diputuskan dokter untuk melakukan tindakan. Tepat 41 minggu di hari Jumat, jika sampai hari itu belum ada tanda-tanda melahirkan, maka persalinan akan dilakukan dengan cara induksi.
Antara ingin pasrah, tapi penuh harap. Saya pun tetap mengusahakan sekuat mungkin untuk melakukan segala macam induksi alami. Ya Allah, saya tidak ingin diiunduksi. Saya ingin lahiran sebelum Jumat.
Kekhawatiran akan induksi entah kenapa begitu menghantui saya. Dengan segenap ketakutan dan mencoba menguatkan diri, akhirnya saya pun menelpon teman yang juga seorang dokter. Inginnya kala itu mendapat kejelasan soal induksi dan mencurahkan gundah gulana yang saya rasakan.
Baca cerita tentang kejutan trimester tiga, yuk.
Menjelang akhir telponan, teman saya ini melihat cuaca di luar yang sangat cerah, lalu dia nyeletuk bilang ‘Gin, di luar lho cerah gitu. Kamu nggak mau jalan kaki muterin komplek tah. Masa di Jogja aja sering pamer jalan kaki, saiki malah sepi’.
Lha, langsung tersulut lah diri ini untuk jalan kaki. Kebetulan Kamis ini bertepatan dengan hari Kelahiran Isa al Masih, si kakak yang libur pun saya ajak jalan kaki muterin komplek. Lumayan 30 menit lebih muter-muter sampai sempat-sempatnya main dulu di taman bermain yang kami lewati.
Melahirkan di rumah sakit
Pilihan melahirkan di Belanda bisa di rumah juga selain di rumah sakit. Dengan syarat jika di rumah maka kondisi kehamilan baik-baik saja. Tidak memiliki masalah yang membutuhkan bantuan dokter atau pun alat tertentu.
Sebenarnya saya juga inginnya melahirkan di rumah. Namun bidan dan dokter meyakinkan karena kondisi kehamilan saya yang cukup bermasalah, apalagi pernah sungsang, maka saya pun diharuskan melahirkan di rumah sakit.
Diawali dengan flek merah
Saat menemani si kakak main saya merasa celana saya agak lengket. Kami pun pulang.
Saya cek, ini lendir tapi kok agak merah ya. Karena belum begitu berdarah dan tidak ada rasa sakit, saya pun lanjut ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.
Usai sarapan baru saya cek lagi, kali ini lendirnya ada darahnya. Langsung saja kami telpon ke rumah sakit.
Tapi saya cukup santai menyikapi ini. Lagi-lagi karena tidak ada rasa sakit. Kontraksi pun belum saya rasakan saat itu. Sebelum ke rumah sakit, saya sempatkan diri untuk mandi dulu. Pukul 11.25 Kami pun berangkat ke rumah sakit bertiga naik bus.
Iya, bertiga. Si kakak katanya siap menemani mamahnya lahiran.
Sudah bukaan tiga
Pukul setengah dua belas suasana di rumah sakit sangat sepi. Maklum ini tanggal merah juga soalnya. Untungnya para bidan, perawat, dan dokter tetap ada.
Kami datang langsung disapa hangat oleh para petugas kesehatan di rumah sakit tersebut. Tanpa perlu mengurus adminitrasi apapun saya langsung diarahkan ke kamar bersalin yang lumaya besar ruangannya. Enaknya lagi satu kamar untuk satu orang yang akan bersalin. Jadi tidak ada distraksi ya.
Bidan pun datang menyapa sembari memperkenalkan diri. Dia izin untuk mengecek dilatation/bukaan saya. Ternyata hasilnya sudah bukaan tiga.
Alhamdulillah, saya senang karena persalinan kali ini ditandai dengan flek dulu, bukan pecah ketuban seperti persalinan pertama. Saya masih bisa jalan-jalan, pergi ke kamar mandi, serta makan makanan yang disediakan oleh rumah sakit.
Setelah dicek bukaan, bidannya bilang nanti kalau bukannya nggak nambah-nambah saya bisa pulang dulu. Wah, repot juga nanti kalau harus pulang segala. Semoga sih nanti bisa nambah ya, Nak.
Lampiran permintaan persalinan (birth plan)
Saat pemeriksaan terakhir kemarin saya dikirimi email oleh dokternya seputar persalinan. Selain itu, ada juga email berupa lampiran birth plan yang perlu saya isi.
Lampiran birth plan ini memberikan kesempatan kepada kita untuk bisa menikmati proses lahiran dengan nyaman. Ada teman yang minta diputarkan murottal, ada juga yang minta diputarkan musik, bisa rikues juga posisi persalinannya mau kek mana.
Nah, lewat lampiran tersebut, kalau saya sendiri mengajukan untuk mendapatkan pemeriksaan dari para nakes perempuan, memperbolehkan untuk tetap jalan atau melakukan gerakan induksi alami untuk mempercepat persalinan, memperbolehkan si kakak ikutan, minta di-reminder untuk melakukan pernapasan yang baik, terutama saat kontraksi tiba. Trauma kayak persalinan pertama yang salah cara malah dimarahin, heuheu
Suami antar anak ke rumah teman
Momen ini tuh adalah momen yang paling kocak sekaligus ngeselin. Sejak awal si kakak masuk ke ruang bersalin memang bidannya agak gimana gitu. Tapi dia seakan bilang yes. Eh nggak tahunya pas aku udah bukaan empat, bidannya nyuruh suami untuk membawa si kakak keluar.
Karena dari bukaan tiga ke bukaan empat aja butuh satu jam, jadi saya santai saja membolehkan suami untuk mengantarkan si kakak dititipkan ke temannya. Perjalanan menggunakan bus kurang lebih butuh satu jam sih bolak balik gitu.
Saya kira anak bisa menemani ibunya bersalin. Sebelumnya saya pun sempat ngobrol dengan pegawai di rumah sakit, katanya boleh saja asal anaknya tidak takut melihat darah atau kondisi ibu saat melahirkan. Tapi nyatanya memang tidak begitu disarankan ya.
Bukaan lima ditinggal sendirian
Sementara suami mengantarkan si kakak ke rumah teman, jadilah saya sendirian. Perawat dan bidan hanya datang sesekali saat ada yang harus diperiksa. Mereka hanya menyuruh saya untuk menekan tombol emergency jika ada apa-apa.
Eh, ternyata belum sampai setengah jam setelah suami keluar mengantar, saya sudah mulai merasakan kontraksi dahsyat. Bukaan bertambah lebih cepat dari perkiraan bidan.
Bidan pun langsung menyuruh saya untuk menghubungi suami.
Saya kirim pesan singkat, belum dibaca-baca juga. Telpon pun nggak diangkat. Bidan pun menghubungi suami tidak diangkat juga telponnya.
Yang bikin kesal, ternyata hp suami saya masih menyetel model hening di tengah kondisi darurat kek gini. Jelas saja nggak angkat telepon. Zzzztt.
Cukup dengan bidan dan perawat saja
Di Belanda, jika persalinan normal, tidak ada kendala, tidak ada masalah yang cukup berat, maka dokter tidak perlu turun tangan. Jadi malah kudu bersyukur ya kalau nggak sampai ditangani dokter.
Sewaktu saya di rumah sakit, dokter hanya datang menengok untuk memastikan kondisi saya baik-baik saja, posisi bayi dengan kepala di bawah, setelah itu dokter nggak datang lagi. Hanya bidan dan perawat yang bolak balik datang dengan orang yang berbeda sesuai shiftnya. Uniknya mereka bakal memperkenalkan diri tiap baru masuk kamar bersalin.
Melatih pernapasan secara sadar saat kontraksi
Di tengah ketidakjelasan kapan suami datang dan saya lebih sering ditinggal sendiri (bidan hanya sesekali datang baik untuk mengecek atau saat saya memencet tombol darurat) saya lebih mengupayakan belajar bernapas secara sadar saat menghadapi kontraksi. Mencoba mengingat-ingat cara bernapas yang saya pelajari dari youtube.
Justru momen sendirian ini jadi membuat saya lebih sadar untuk mempraktikkan metode pernapasan. Ah, kalau saja dulu saat persalinan pertama saya sadar untuk mempraktikkan ini. Ternyata bernapas dengan metode khusus untuk persalinan itu bikin sakitnya terasa nikmat.
Senangnya lagi, saat saya lepas kendali karena merasa kesakitan dan lupa tekniknya, bidan atau perawat yang datang mengingat saya untuk menggunakan teknik pernapasan yang benar secara sadar. Enak banget, karena mereka mengingatkannya dengan lembut dan penuh support. Mereka pun sambil ikut mempraktikkan pernapasan tersebut.
Rasa sakit yang berkurang, otot-otot lebih rileks, pikiran lebih tenang dan fokus, serta tenaganya jadi lebih terkendali saat kita menerapkan teknik pernapasan untuk persalinan dengan baik.
Kerasa banget, saat ambil napas panjang lalu mengeluarkannya saat kontraksi datang itu entah kenapa rasa sakitnya beneran berkurang. Saat menerapkan teknik tersebut bahkan tangan saya tanpa sadar ikut meliuk-liuk gitu. Wkwk.
Jadi saat ambil napas dengan hidung, tangan saya ikutan angkat ke kepala. Sementara saat keluarkan napas dengan mulut, tangan saya pun saya turunkan. Kadang sambil diikuti dengan berhitung, kadang baca sholawat, kadang wiridan yang lainnya. Sempat tangannya sambil elus-elus punggung tapi malah rasanya bikin pengen ngeden aja.
Kehadiran suami saat persalinan
Akhirnya saat saya sudah melewati bukaan 5 suami pun datang. Tepat banget, kontraksi pun jadi semakin kuat. Kalau dulu saya genggam tangannya dia erat banget (sampai merah-merah) sekarang untungnya dengan teknik tangan saya yang naik turun itu saya cuma minta dia pegang tangan kiri aja. Sekarang jadi lebih terkendali lah yaa. Haha
Momen yang cukup terbantu itu saat saya sudah harus mengeluarkan bayi. Sudahlah itu teknik napas yang tadinya saya praktikkan jadi nggak bisa dikendalikan karena saking sakitnya. Jadi serba salah dan ingin menyerah rasanya.
Padahal sebelumnya suami sering ikutan mendengarkan youtube tentang cara pernapasan, dia pun saya pinta untuk mengingatkan saya saat posisi ini terjadi. Benar saja, di momen begini malah saya benar-benar lupa. Diingatkan pun saya nggak bisa mikir saat itu.
Untungnya para bidan dan perawat pun ikut memberikan contoh, jadi saya coba mengikuti cara mereka hingga akhirnya terdengar suara bayi menangis. Terharu sekali rasanya. Masya Allah.
Melahirkan dengan sekali dorongan
Saat bayi keluar dari perut, para bidan langsung memuji saya. Mereka bilang, saya mampu mengeluarkan bayi dalam sekali mengejan. Padahal berat bayi saat itu lumayan besar kalau menurut saya, 3,2 kg.
Saya nggak ngeh juga, apa iya saya sekali mengejan doank saat melahirkan itu. Tapi apapun, yang penting terlahir selamat ibu dan bayinya kan.
Pelibatan suami dalam proses persalinan
Setelah bayi keluar, suami tidak hanya mengadzani bayi semata. Di sini suami dilibatkan dalam perawatan awal terhadap bayi juga, lho. Setelah bayi keluar, suami langsung diminta oleh bidan untuk memotong plasenta bayi.
Saya yakin suami cukup takut. Dia mencoba memegang gunting dan memotong plasenta dari perut bayi agak gemetar. Kala itu bayi menangis tapi lirih sekali suaranya.
Setelah bayi dibersihkan, bidan pun menawarkan suami untuk memakaikan pakaian bayi langsung. Lalu setelah itu bayi diletakkan di dada saya untuk IMD. Sambil IMD, suami pun mengadzani si bayi.
Baca juga yuk tentang Minimalist Pregnancy
Saat suami akan mengadzani, kala itu saya sedang dijahit oleh bidan. Ketika kami meminta izin untuk mengadzani, malah para bidan tersebut langsung diam dari aktivitas dan mengheningkan suasana. Momen adzan setelah melahirkan untuk kali ini jadi terasa khidmat sekali.
Siapkan nama bayi
Sekitar satu jam setelah melahirkan, bidan menanyakan nama untuk si bayi. Meski kami sudah punya beberapa nam, namun sebenarnya itu belum fix. Tapi ternyata mau tidak mau kami pun harus merumuskan nama pada saat itu juga. Nama yang diminta akan digunakan sebagai pengantar sertifikat anak untuk membuat akte lahir.
Nama yang perlu banget kita siapkan di sini itu achternaam (nama belakang). Untungnya kita udah menyiapkan nama belakangnya : Nurayya.
Langsung disuruh pulang
Beres dengan urusan jahitan, bayi dipastikan berada dalam suhu hangat 36,7 derajat celcius. Hal ini supaya bayi tidak begitu kaget dan masih merasakan suasana hangat seperti di dalam perut.
Sayangnya saat itu Nura suhunya turun 36,4 kayaknya. Jadi dia perlu dihangatkan dulu di inkubator sekitar satu – dua jam. Sambil menunggu, saya diminta mandi juga oleh nakes tersebut. Nggak berani mandi sih, tapi saya cuma lap-lap saja dan ganti baju. Hehe
Setelah beres semuanya, sekitar pukul sembilan malam kami pun diminta untuk pulang. Nggak heran sih, saya sudah dapat cerita ini sebelumnya. Selama tidak ada masalah, sudah bisa jalan, ya sudah pulang aja.
Tapi bidan membolehkan pulang dengan syarat ada Kramzoorg (perawat persalinan). Oke, kita pun langsung menelpon Kraamzorg, tapi mereka bilang tidak ada perawat yang available.
Kita lapor ke bidan bahwa tidak ada perawat yang bisa datang malam ini, tapi bidannya bilang bahwa kami bisa pulang kalau ada Kraamzorg. Mereka pun lalu memastikan untuk dapat Kraamzorg yang bisa datang malam itu.
Saya sih sudah cukup capek sebenarnya. Pengen tidur aja rasanya. Dalam hati sih bilang, kenapa nggak disuruh menginap saja di rumah sakit, kan ga dapat juga Kraamzorgnya. Wkwk.. (ingat asuransi woy).
Akhirnya pukul 23.30 bidan pun mendapatkan Kraamzorg yang bisa datang malam itu juga. Kami pun pulang dengan taksi. Benar saja, tidak lama kemudian Kraamzorg pun datang. Saya sudah lelah, jadi langsung tidur waktu itu. Tapi kata suami, kraamzorg di rumah sampai pukul satu. Dia mengajarkan suami cara merawat bayi di box tidurnya, cara menghangatkan bayi agar tetap hangat, menata kasur bayi, dan pengecekan rutin pada bayi, seperti cek suhu, cek popok, jadwal menyusui yang perlu dilakukan per-tiga jam. Nantinya perlu dicatatkan di buku Rapport yang dikasih Kraamzorg.
Yaaaa,.. Realitanya mah kadang lebih dari tiga jam, kadang lupa cek suhu, kadang lupa suhunya berapa pas mau mencatat. Begitulah.
Berapa biaya melahirkan di Belanda?
Gratis.
Eh nggak gratis juga denk. Kan kita bayar asuransi. Hohoho.
Jadi asuransi yang saya bayar per bulan itu yang membiayai persalinan saya. Nggak hanya persalinan yang ditangani asuransi. Biaya selama saya bolak-balik menghadapi kejutan trimester ketiga, biaya periksa ke bidan, Kraampaket (kebutuhan persalinan untuk ibu : pembalut, kasa, dll) biaya ke rumah sakit, usg (free 3x), cek darah, dan lain sebagainya hingga ada Kraamzorg yang datang selama seminggu itu ya dicover sama asuransi.
FYI, saya menggunakan asuransi Menzis yang tipe 1. Sebenarnya ibu-ibu Indonesia di sini banyak yang menggunakan tipe 2 untuk meng-cover persalinan yang takutnya kenapa-kenapa. Meski sebenarnya di sini itu kalau melahirkan karena kasus, dengan tipe Basic pun tetap akan ditangani dan tidak perlu ada biaya tambahan. Kalau persalinannya kita request ingin operasi (bukan karena ada masalah) serta ada tindakan medis lainnya baru kita perlu bayar sendiri atau ada tambahan sendiri..
Penutup
Begitulah gais ceritanya persalinan Nura kemarin. Setelah mengalami sendiri, alhamdulillah kehorroran cerita melahirkan di belanda menurut pengalaman saya nggak begitu mengerikan. Malah jadi punya pengalaman berkesan. Ya, tentunya lain ibu lain juga ceritanya.
Alhamdulillah, Ghina, ikut seneng bacanya.
Kalau di Indonesia, induksi gitu mesti diperiksa langsung oleh dokter. Tapi wajar sih kalau di Belanda nggak dipartusin dokter, karena bisa jadi karena jumlah bidan juga sudah sebanding dengan jumlah persalinan yang ada.
Sungguh menyenangkan melahirkan di negara yang peduli pada kesehatan ibu melahirkan.
Iya mbak, alhamdulillah.. mesiki sempat deg-degan kan kita pengennya mengantisipasinya ya jadi pengennya ya ada dokter dan bidan juga. Untungnya semua siaga dan pelayanannya merata.
Di sana kalau melahirkan wajib pakai asuransi kah?
Bacanya sambil deg2an udh mau nambah bukaan tapi awalnya ga ditunggu Ama bidan. Beda jauh Ama di sini kan ada bidan, dokter, dll.
Tapi salut juga mereka ngusahain lahiran normal.
Anyway, selamat atas kelahiran anak kedua 🙂
kalau nggak pake asuransi kulihat list biaya sekali usg aja sama dengan bayar asuransi buat sebulan mbak. Tentunya jadi mahal bgt. Itu yang bikin aku telat periksa2 jg sih, karena urus asuransi dulu.
Makasih mba avizena. alhamdulillah lancar persalinan di negeri orang tuh bikin lega bgt ya.
Terima kasih atas cerita dan pengalaman lahirannya di Belanda. Welcome Nurayya semoga jadi anak yang soleh(ah) ya, dan berbakti pada orangtuanya. Sehat-sehat selalu untuk Ibu Ghina, suami, dan sekeluarga.
sama-sama mas Raja. Sholehah insya Allah.. aamiin
MasyaAllah, kenangan indah ya Mbak, lahiran di Belanda, jauh dari keluarga tapi Alhamdulillah terlewati dengan mulus walau ada kejadian kocak juga ya 😀
jadi tahu juga nih orang di Belanda lahirannya seperti itu ya.
Barakallahu fiikum, kak Gina..
Ikut seneng baca ceritanya kak Gina yang ada senengnya, kadang ada yang bikin deg-degan dan ditutup dengan kesan manis selama melewati proses persalinan.
Kak Gina juara!
Sehat-sehat selalu kak Gina dan keluarga. Baby Nura, mashaAllah~
Cantik sekali.
Setiap ibu selalu punya cerita spesial untuk persalinannya yaa. Semoga adik bayi tumbuh menjadi anak yang cantik rupa dan akhlaknya, Amiiin
Wahhh salut banget sama perjuangan dan segala proses yang dilalui, saya ijin save dan bagikan tulisannya yaa.. Jadi pengalaman banget apa-apa yang harus dipersiapkan, terus bagaimana solusi mengatasi kalau ada sesuatu hal yanf timbul dan lain sebagainya.. Terima kasih sudah berbagi yang sangat detail banget dari awal sampai akhir
maturnuwun mas andri..