Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Refleksi Maulid Nabi : Cinta Itu Tidak Buta

1 min read

Refleksi maulid nabi sholawat dan cinta

Lantunan maulid lebih sering aku setel di bulan kelahiran nabi ini. Intimasi cinta Nabi ini ingin kubawa dalam lingkup keluarga kecilku, sebagaimana dulu orangtua menanamkan. Kadang sembari masak, seringnya sambil ngelonin anak bungsuku yang sebentar lagi akan kusapih. Sembari mengelus-elusnya, tak jarang aku sambil mengikuti lantunan maulid. Kadang lirih, tapi seringnya lantang. Meski demikian, anakku tetap tidur dengan lelapnya.

Dengan turut serta melantunkan bacaan-bacaan maulid itu rasanya cukup banyak memberikan ketenangan, melepas kerinduan, dan memberi kekuatan tersendiri. Dengan menyengaja menaikkan nada, melenggokkan nada semaunya agar terasa merdu, sehingga saat aku melantunkannya terlihat seperti orang yang sedang konser, jika tidak dibilang sedang sedikit gila, saking meresapinya.

Entah apa yang sebenarnya aku resapi. Nada-nada yang kulantunkan, sholawat puja puji, atau kisah perjuangan Sang Nabi. Tapi kesemuanya seperti menyatu. Meleburkan rasa yang bergetar di jiwa, atas segala getir cerita Nabi dan nada-nada yang berpadu dibaliknya.

Baca juga Cerita Maulid dari Kalimantan yuk : Baayun Maulid

Tapi memang jika membaca makna-makna dari berbagai kitab maupun sirah nabawi yang ada, getirnya perjuangan hidup Nabi itu tak terperikan. Membaca sholawat yang dilantunkan dalam berbagai puja-puji dan cerita Nabi itu hanya sekelumit kisah, yang mencoba menyadarkan kembali bahwa kita sebagai umatnya tak boleh sedih berlarut-larut, maupun lelah lalu menyerah. 

Tak boleh.

Karena perjuangan Nabi itu lebih berat daripada kita. Sementara Rasul kita bakal sedih jikalau kita berada dalam kekalutan hidup dan jauh dari mengingat Tuhan dan kekasihNya. Selain itu, kita sebagai hamba Allah malah bisa mendapat shortcut lewat syafa’at. Iya, syafaat Nabi melalui sholawat itu tidak bisa tertandingi. 

Bayangkan, tidak hanya manusia yang disuruh bersholawat kepada Nabi junjungan kita itu. Tapi Allah pun yang menciptakannya bersholawat kepadanya. (Al Ahzab 56).

Baca juga tulisan Ghina yang ini yuk : Membangun Koneksi dengan Al-Qur’an

Mungkin itu sebabnya banyak yang melantunkan sholawat seperti lagu-lagu itu bagai orang yang sedang dimabuk asmara. Mendendangkannya sepenuh hati, kadang diiringi tawa dan air mata, nada-nadanya menggetarkan jiwa, melantunkannya penuh penghayatan, dan kita yang mendengar pun bergetar meski tanpa tahu maknanya.

Dengan segala keluh kesah yang ada pada diri seorang hamba, bagiku melantunkan sholawat apalagi dengan lantunan nada rasanya seperti sedang mengadu. Iya, lantunan nada yang memberikan tafsir pengaduan diri. Pengaduan hamba yang banyak dosanya, tapi dengan tanpa tahu malu meminta bantuan Nabi lewat sholawat, berharap agar mendapat syafa’atnya di hari kiamat kelak.

Tentu tidak seharusnya cinta berakhir di titik puja-puji semata. Karena sebagai seorang hamba dan pengagum besar kekasihNya, kita juga perlu memposisikan diri sebagai hamba yang layak. Layak dengan taat, layak dengan iman, layak dengan kelekatan pada dekapan Qur’an, sebagai wahyu yang Allah turunkan pada Sang Nabi.

Sholawat bisa jadi seperti jalan pintas untuk mendapatkan syafaat Sang Nabi. Namun semoga bukti cinta dan rindu kita pada Nabi lebih dari sekedar berdendang semata. Apalagi sampai joget-joget, harusnya tidak, ya. Karena mencintai itu tidak dengan buta, namun dengan kesadaran dan ketaatan. Sehingga harapannya kita sebagai hamba yang penuh dosa ini, lewat sholawat dan taat, mampu mencium, mencicipi atau bahkan menetap lebih lama di syurga karena ditarik oleh Rasulullah lewat syafaatnya. Aamiin.

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!