Sudah hampir tiga minggu Ramadan berlalu, apakah rutinitas saat ramadan masih terbentuk atau sudah bubar jalan nih, saudara-saudara?
Kalau saya sendiri sih banyak yang udah bubar jalan programnya. Ternyata seberat itu ya untuk konsisten melakukan hal-hal yang bersifat ritual. Padahal katanya suatu kegiatan itu bisa berjalan dengan konsisten jika sudah dilakukan berturut-turut selama 21 hari. Lha, ramadan kan malah lebih.
Baca juga : Habit Tracker : Cara Membangun Habit
Kenapa bisa begitu ya?
Mindset Godaan Giat saat Ramadan vs Pasca Ramadan
Jangan-jangan kita adalah budak dari pahala? Mungkin kita giat sekali untuk melakukan berbagai amalan sunnah, amalan kebaikan, sedekah, mengaji Qur’an yang banyak itu karena iming-iming pahala yang berkali-kali lipat banyaknya?
Atau jangan-jangan karena setan sedang dikerangkeng selama Ramadan, makanya kita merasa lebih enteng beribadah dibandingkan dengan saat bukan Ramadan? Eh, terus yang masih malas-malasan, berbuat kejahatan, berprasangka buruk itu macam mana sebabnya?
Pertanyaan satir ini tiba-tiba muncul saat saya merasa bingung dengan kondisi diri yang mempertanyakan konsistensi diri yang mengendur paska Ramadan. Tapi teringat lagi dawuh-dawuh yang pernah saya dengar, katanya sebagai hamba awam memang tidak apa-apa jika kita mempertimbangkan pahala untuk melecut semangat beribadah kita. Memang kadang kita butuh lecutan dan paksaan untuk melakukan suatu hal. Apalagi ini hal besar yang akan dilakukan berulang-ulang selama kurang lebih 30 hari.
Tapi mungkin sayangnya seusai Ramadan berlalu, ibadah kita seringkali tidak segiat itu. Cenderung sangat berkurang dan merasa biasa-biasa saja. Mewajarkan hal-hal itu karena…. waktu yang dijalani bukan saat Ramadan? Karena pahala yang didapat tidak banyak? Karena gangguan setan lebih giat? Atau karena diri malas-malasan aja?!
Makanya saat saya baca postingan Gus Nadhirsyah Hosen yg mengutip pernyataan Rumi bahwa :
‘Tuhan yang kamu sembah di bulan Ramadan itu sama dengan Tuhan yang kamu sembah di luar Ramadan. Lantas mengapa caramu beribadah berbeda?’
Jalaluddin Rumi
Kayaknya memang mindset kita terbiasa menerapkan kondisi demikian deh. Semangat beribadah karena Ramadan, sebelum dan setelah Ramadan ya ibadahnya bare minimum saja.
Baca juga : Membangun Koneksi dengan Al-Qur’an
Tapi masa kita akan begitu-begitu saja. Padalah tubuh kita saja kalau tiba-tiba lari terus larinya kencang sekali itu bakal membuat detak jantung berdenyut sangat kencang, dan itu ternyata tidak bagus untuk metabolisme tubuh kita. Eh malah setelah diajak lari kencang terus tiba-tiba pelan-pelan banget.
Yuk, Ciptakan Suasana Ramadan Setiap Hari Dengan Trik Ini!
Tidak salah jika kita sebagai manusia merasa down dan hilang semangat. Dengan demikian harusnya kita jadi punya kesempatan untuk melatih diri lebih maksimal lagi. Hal negatif tidak melulu bernilai negatif, toh. Memang tantangan menjadi manusia yang ibadanya istiqomah itu berat, makanya orang yang istiqomah dalam beribadah adalah yang paling dicintai Allah.
Meski masih terseok-seok, tapi kita bisa mengupayakan semampu kita. Kemarin saya coba mengikuti salah satu kelas Bu Iim Fachima tentang ‘Recharge Setelah Ramadan’ dan berikut hal yang saya tangkap dari pembahasan kemarin :
1. Temukan Big Why kenapa kita beribadah
Sebagai muslim kita sudah terbiasa dengan rutinitas ritual seperti sholat, puasa, sedekah, zakat atau kabar orang berhaji. Namun pernah nggak kita mempertanyakan atau memperbarui kembali alasan besar kita melakukan hal tersebut?
Kadang obat dari kemalasan itu adalah alasan kuat yang menggiring kita untuk semakin semangat. Menyegarkan kembali keimanan tentunya dengan belajar pada guru yang kompeten. Ingat, mencari ilmu itu lebih utama daripada sholat 1000 sholat. Meski setelah berilmu ketidaktahuan kita gugur, maka jangan tergiur godaan syetan bahwa lebih baik tidak tahu sehingga kamu tidak berdosa, karena keutamaan orang yang hadir dalam majelis ilmu itu luar biasa besar pahala dan tentu saja manfaat karena ilmu yang didapatkannya.
Dengan berilmu, kita bisa jadi menemukan alasan kuat dibalik rutinitas ritual kita. Hingga pelan-pelan bisa menguatkan kembali keimanan yang goyah maupun kemalasan yang acapkali datang menggoda kita. Tentu hal ini disertai pula dengan niat yang tulus sebagai hamba yang menyembah Tuhannya.
2. Ada keutamaan waktu yang berlipat pahala dan maqbul selain Ramadan
Jika kita tancap gas kencang untuk beribadah saat Ramadan karena pahala yang besar dan waktu yang maqbul untuk merapal doa, ingat-ingat bahwa selain Ramadan juga ada. Seperti di bulan bulan suci lainnya, sya’ban, dzulhijjah, rajab.
Bahkan untuk urusan mustajabnya doa dan diterimanya sedekah juga setiap hari kita bisa mendapatinya. Untuk doa, waktu-waktu seperti seusai sholat rowatib, sholat malam, sholat dhuha, dan lainnya. Maka tahan-tahanlah dulu kaki agar tidak segera beranjak dari tempat sujudmu setelah salam, ya. Langsung tengadahkan tangan dan ajak mulutmu untuk merapal berbagai dzikir dan doa. Sementara sedekah di hari jum’at maupun sedekah subuh menjadi hal yang ramai juga dilakukan sekarang ini.
3. Ramadan itu medan ujian, Persiapannya itu sebelas bulan sebelumnya
Seperti olahraga lari yang perlu pemanasan dulu, puasa pun demikian. Maka pola pikir kita perlu menjadikan sebelas bulan menuju Ramadan sebagai bekal untuk memaksimalkan Ramadan dengan sebaik mungkin.
Biar kita, tubuh kita, dan kebiasaan kita tidak kagetan. Karena hal ini sangat berpengaruh dari mulai cara kita yang mengelola pola makan saat buka dan sahur, memaknai ngabuburit, menikmati ibadah, serta menghidupkan rumah dengan lantunan Qur’an, dll.
Dengan kebiasaan baik yang kita tanamkan sehari-harinya bisa menjadi bekal kita lebih ringan saat akan menjalankan Ramadan. Begitupun juga dengan akhlakul karimah kita.
Menurut Mba Iim, kenapa ada orang yang tetap berbuah jahat, korupsi, dan perbuatah lainnya di bulan Ramadan yang mana padahal setan dilkerangkeng? Itu semua karena laku keseharian kita menjadi akumulasi yang tanpa sadar tertancap dalam benak kita sebagai manusia.
4. Memaknai Ibadah dengan lebih luas dan berkesadaran
Ibadah itu apa sih? Sholat, iya. Mengaji, iya. Tapi kadang kita suka bahwa tersenyum, berprasangka baik, tidak ghibah, memberi tanpa mengharapkan imbalan, memenuhi kebutuhan keluarga, menyayangi anak-anak atau bahkan diam pun juga ibadah.
Baca juga : Menjalankan Ramadan secara Berkesadaran
Kadang kacamata kita melihat ibadah itu seringkali mewah. Dzikir ratusan kali, ngaji berjuz-juz, sering puasa sunnah, shalat sunnah puluhan roka’at. Tapi kalau saya teringat dawuhnya Gus Baha, orang yang tidur juga bisa beribadah dibandingkan jika dia melek dan waktunya dipakai untuk scroll hp terus scroll kemana-mana, suudzon menilai sebuah postingan, sampai hati dan pikirannya memikirkan hal-hal yang buruk. Sederhana tapi seringkali tidak kita sadari.
Selain itu jangan pula penuhi ibadah dengan nafsu. Semisal puasa sunnah tapi padahal tubuh lagi sakit, kita malah mengabaikan hak tubuh untuk terpenuhi nutrisinya.
Hal-hal demikian memang perlu penuh kesadaran dan juga ilmu.
Semoga Allah mampukan kita menjadi hamba yang taat dan bisa istiqomah dalam kebaikan sehari-harinya. Aamin
16.14 CEST.
Groningen, 23 April 2025.