Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Berlomba, Penting juara atau prosesnya?

3 min read

tumblr mvezieu6fw1r89emko1 1280

Tulisan kali ini adalah sebuah persembahan terima kasih kepada para mentor menimba ilmu saya di luar kelas perkuliahan selama masa-masa kuliah. Diingatkan oleh facebook, dan belum diabadikan dalam blog ini. Maka cerita ini bermaksud untuk mengenang kejayaan masa-masa kuliah. 😀 

Malam ini saya belum mengantuk, otak muter terus ingin menulis sesuatu entah apa itu. Seperti biasa, sebelum melakukan tulis-menulis saya blogwalking, ig-walking atau fb-walking terlebih dahulu. Berhubung IG sedang dinonaktifkan, saya iseng buka FB. Maklum lagi sering buka fb sejak gabung di Komunitas blog. Cuma grup fb itu doank sih yang dibuka. 

Eh, tapi tetiba pas buka wall fb kok muncul gambar di atas. Duh, jadi teringat masa-masa tersebut. Masa dimana sering pulang malam, berdebat membicarakan suatu topik, kalo tidak salah, ini adalah lomba legiIslative drafting UU Pengadilan HAM.

Sempat mengikuti lomba-lomba bukan berarti saya benar-benar mumpuni, atau bahkan hebat. Saya ikut lomba ini semata karena kebetulan saja. Kebetulan berteman dengan orang-orang hebat, dan kebetulan kok ya diajak ikutan hal-hal beginian. Otak nggak nyampe juga mungkin jika harus dikerjakan sendirian. Untungnya, ini adalah lomba berregu. 

Beberapa kali ikut lomba ada banyak cerita baru, teman baru, tempat baru, dan pengalaman baru. Dengan lomba yang berregu, tentu kekompakan, keselarasan, keidealismean, serta pemikiran kita perlu disatukan. Tidak mudah, euy! Ini inginnya ini, itu inginnya itu. Jadi, diawal-awal pertemuan tentu saja lebih banyak ngobrolnya daripada nggarap-nya.

Sangat beruntung tim kami memiliki sosok para pembimbing yang sangat menyayangi dan mensupport kami. Ada Kak Agung, Mba Nanda, dan Kak Akbar. Mereka adalah kakak angkatan -sekarang jadi dosen semua- yang selalu mendobrak keilmuan hukum kami. Tak tanggung-tanggung, ada banyak ide baru justeru bermunculan dari mereka. Saya mah masih planga-plongo aja kerjaannya.

Dian Agung Wicaksono's photo.
lomba terakhir yang diikuti selama masa kuliah

Dibalik penggarapan Naskah

Saya yang saat kuliah sambil mondok tentu harus sering ijin. Sering pulang malam, sering melewatkan ngaji malam dan nggak dapat jatah makan malam, heuheu. Untungnya, Ibu dan Bapak selalu support, selalu mengizinkan, dan tetap dapat jatah makan malam dari kampus, dengan dana talangan komunitas. 

Tim yang seringnya lebih banyak perempuan daripada laki-laki mengharuskan kita berani melewati suasana kampus saat malam hari. Jadilah kita seringnya kemana keroyokan, apalagi kalo ke Mushola. Jika perut sudah lapar, nyari warung makan yang bisa  delivery deh (dulu belum ada go-food sih). 

Tempat yang paling bersejarah untuk setiap penggarapan naskah ini adalah ruangan Mimbar -sekarang entah katanya udah dipindah- tempat kerjanya para mentor. Para Mentor fokus mengerjakan kerjaan kampus, kita fokus mengerjakan naskah. Tentu saja, dengan fasilitas wifi kampus, kita sepuasnya muter lagu-lagu di youtube.  

Kalau sudah bosan, ada aja sih bercandaan garingnya. Entah ngomongin dosen baru, lagu jadul pada masanya, lagu terbaru, cerita teman saingan lomba, dan lainnya. Tentu sih, yang paling bikin suasana tetap renyah ya anak-anak cowok ya. Kita para cewek emang kebanyakan spaneng kalo lagi nggarap tugas nih. Makanya ya cewek cepet keliatan tua nih.

Hal paling penting diantara cerita dibalik penggarapan LD adalah proses pengajuan proposal  mengemis duit kepada Dekanat. Percaya atau nggak, gegara duit proposal yang di-ACC cuma sepersekian, kita pernah berangkat malam, pulang pun malam. Hampir dipastikan, duit mengalir memerlukan koneksi dan integritas yang bagus kepada para atasan. Untuk perlombaan tingkat Nasional masih dianggap sebelah mata sih, karena Kampus yang udah bernama ini sudah sering pula mengikuti lomba Internasional. Ya begitulah, heuheu

 Proses penggarapan Naskah

Lomba ini terbilang baru pada saat itu. Jika mencoba melihat ke belakang, lomba ini baru muncul sejak disahkannya UU No. 12 tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang tersebut mewajibkan perlu adanya Naskah Akademik untuk setiap peraturan perundang-undangan.

Saya coba cerita sedikit ya, sambil mengingat-ingat nih. Jadi begini, dahulu ketika mau mencari sebuah peraturan ya peraturannya saja yang muncul kan ya? Sementara itu, apa saja yang melatarbelakangi munculnya peraturan tersebut tidak diceritakan. Nah, disinilah fungsi dari adanya Naskah Akademik tersebut. Agar masyarakat tahu, apa latar belakang dari munculnya peraturan tersebut. Entah itu landasan filosofis, sosiologi, dan yuridis.

Singkat cerita, dibagilah tim yang terdiri dari 5 orang tersebut. Ada yang mendapatkan bagian untuk identifikasi masalah, Kajian teoritis, evaluasi peraturan, arah dan jangkauan serta kesimpulan. Sebenarnya masih agak-agak sama ya langkahnya kayak pembuatan skripsi gitu. Tapi jelas isinya harus lebih berbobot donk. Berbobot dan ideal bahkan. 

Nah, dalam proses penggarapan naskah akademik, para mentor mendobrak segala keilmuan kami untuk dikerahkan. Pernah suatu ketika, saat beberapa hari menjelang lomba, kita melakkan gladi bersih yang langsung ditonton oleh Pak Fajrul Falaakh almarhum (Allahu yarham). Dan kita dibabat habis-habisan oleh beliau, sedih tapi terus senang donk, kita sudah mendapat masukan luar biasa sebelum dibabat oleh para juri.

Dalam penggarapan naskah, kita benar-benar memaksimalkan diri, tenaga, ilmu dan idealisme kita. Ingin menegakkan setegak-tegaknya hukum dalam peraturan tersebut. Pokoknya sampai benar-benar tidak ada celah untuk segala penyimpangan. Tentu saja kita dapat melakukannya, lah wong buat lomba kok.

Dalam kenyataannya, sudah bisa ditebak kan kek gimana? Lihat saja itu sidang DPR-MPR. Ada banyak mulut, banyak kepala, dan tentu saja banyak kepentingan. Saya pernah mengalaminya, dan saya lelah sendiri. Idealisme tidak dapat dibawa di meja lingkar tersebut. Hufft!

Juara itu bonus, yang penting proses belajar kalian.

kak agung

Nah, yang selalu diwanti-wanti oleh para mentor ini yang masih sangat membekas dalam ingatan saya. “pokoknya juara itu bonus ya. Bonus dari belajar kalian selama mengikuti proses tersebut”.

Benar saja, kegigihan kita sendiri yang akan membawa kita kepada keberhasilan. Namun tidak berarti tidak gigih maka tidak berhasil. Ada mereka yang berhasil meskipun tidak gigih. Tapi yakin saja, proses perjalanan untuk meraih suatu hal akan lebih dikenang, lebih memberi arti, lebih memberi wawasan baru, dan lebih dihargai.

Terimakasih, Suhu. Jasamu tiada terlupa!

 

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

8 Replies to “Berlomba, Penting juara atau prosesnya?”

  1. Setuju bangeeett, apapun hasilnya, sesungguhnya prosesnya lah yang lebih berarti.
    Rasa senang karena juara itu akan segera hilang, sedang masa-masa perjuangannya gak bakal hilang dari ingatan dan meninggalkan kesan yang mendalam 🙂

    reyneraeadotcom

    1. Wah iya mbak, saya jg dlu saat puyeng skripsi malah lebih rajin blogging, tp isinya galau gt. Hehe. Saya jg beruntung nih kenal mbak ainhy yg sgt rajin baca dan nulis nih..

  2. Saya juga.. lomba-lomba itu saya ikuti karena sebenarnya pingin ngalamin proses belajarnya bukan semata-mata menang lombanya saja. Syukur2 kalo bisa menang mah.. lebih bahagia.. 😁😁😁 hihi..

  3. Katanya, proses tak mengkhianati hasil. Hanya hasilnya itu bisa kelihatan sekarang atau nanti, semuanya tergantung pada suratan :p, kita manusia hanya bisa berbuat sebaik-baiknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!