Ketika aku mengupayakan untuk lebih sering wudhu di ramadan 2025 ini, aku jadi teringat cerita ibunya Imam Syafi’i. Pernah dengar ceritanya kan, yang mana kalau ibunya Imam Syafi’i itu selama hamilnya Imam Syafi’i selalu menjaga wudhunya. Bayanginnya aja, berarti kan bisa berkali-kali dalam sehari untuk kembali ke toilet.
Coba bayangkan 1500-an tahun yang lalu bangunan rumah tuh kayak apa. Padahal kan orang hamil itu apalagi hamil besar bakal sering ke toilet. Mana nggak tahu kan toilet zaman dulu itu kayak gimana. Jangan-jangan jauh banget dari rumah, atau mungkin harus ke sungai, atau malah menyebrangi hutan dulu.
Masya Allah, nggak bayangin betapa besar perjuangan beliau.
Memang perjuangan dan tirakat orang tua zaman dulu benar-benar effortnya lebih besar tentunya daripada zaman sekarang ini yang sudah cukup banyak kemudahan fasilitas yang tersedia. Tapi, usaha kita, terutama aku sendiri sih rasanya memang masih jauh banget dari orang-orang terdahulu. Tapi izinkan kali ini aku mau cerita pengalamanku tentang pembiasaan wudhu ini.
Selama bulan ramadan, beberapa pagi aku mencoba merutinkan untuk wudhu terlebih dahulu sebelum mengantar anak-anak sekolah. Niat awalnya itu karena mau pakai skincare dan biar sepulang anter bisa langsung mengaji lagi. Kan enak suasananya lebih sepi karena anak-anak sekolah, tinggal si bontot aja di rumah.
Realitanya tidak selalu sampai rumah langsung mengaji. Tapi pada suatu pagi tepat di selasa ketiga ramadan kala itu aku merasakan manfaat dari wudhu, menahan amarah.
Selasa pagi setelah subuhan aku menerima pesan bahwa suamiku akan pulang lebih telat, jadi nggak bisa antar sekolah satu anakku. Maka aku dan anak-anakku bergegas lebih awal karena mengantar dua anak ke sekolah yang berbeda arahnya. Tiba-tiba baru sampai di tengah jalan perempatan ternyata ban sepedaku kempes. Padahal belum sampai ke sekolah kedua anakku. Berarti harus menempuh jalan kaki yang lumayan untuk bolak balik ini. Mana ini masih pagi sementara aku kan puasa. Huhu
Tapi pagi itu sebelum berangkat, aku sempatkan dulu untuk wudhu. Niatnya memang mau nderes seusai antar anak-anak. Tapi di saat ban sepeda bocor dan aku harus berjalan kaki sambil membawa sepeda yang ditumpangi kedua anakku menuju tempat gym anak pertamaku, pikiranku tiba-tiba bergumam : tumben aku nggak kemerungsung, kesal, dan marah dengan situasi ini. Padahal pekan ini adalah pekan menuju PMS. Apa karena wudhu yang aku lakukan tadi sebelum berangkat?
Bisa jadi iya, bisa juga tidak. Wallahu a’lam.
Baca juga : Menjalani Puasa dengan Berkesadaran
Saat aku harus mendorong sepeda yang ditumpaki kedua anakku aku menikmati jalanan, menyapa orang yang kukenal, dan pikiranku pun tidak khawatir akan telatnya anak kedua ke sekolahnya. Padahal jelas bakal telat. Aku yang nggak suka telat bakalan merasa kesal kalau anak-anakku pada telat ke sekolah. Tapi belakangan aku mulai berdamai juga apalagi untuk anak keduaku, karena masih kindergarten juga jadi memang tidak apa-apa jika terlambat ke sekolahnya.
Rasanya saat membawa sepeda itu pikiranku damai. Tiba-tiba merapalkan dzikir, menikmati perjalanan saja.
Aku jadi teringat hari di mana aku menyampaikan materi tentang wudhu kepada anak-anak. Ceritanya kala itu bermaksud untuk menyemangati anak-anak terutama anakku agar semangat wudhu. Memang wudhu sendiri kalau di saat musim dingin seperti sekarang ini tentunya cukup berat dilakukannya. Meski tidak dipungkiri manfaat dari wudhu itu sendiri luar biasa banyak. Tidak hanya untuk sahnya sholat. Bahkan bisa mengampuni dosa-dosa kecil kita.
Dalam prakteknya kan kita seringkali berwudhu hanya karena mau sholat aja. Aku pun acapkali malas untuk melakukannya jika bukan karena mau sholat. Bahkan mengupayakan untuk wudhu saja aku sering menimbang-nimbang maksud, tujuan, manfaat bahkan keutamaan dari suatu hal yang akan aku lakukan :(‘
Jadi dengan pengalaman ini, semoga aku pun bisa mengupayakan untuk lebih semangat saat mau wudhu dan sering-sering berwudhu ya. Untuk kamu yang baca tulisan ini juga. Yuk, semangat untuk lebih sering menjaga wudhu juga. Bismillah.