Kegiatan Ramadhan yang sangat mencirikan perbedaan dengan malam-malam lainnya adalah adanya kegiatan Shalat Tarawih. Ada yang menggunakan 8 rakaat, ada pula yang menggunakan 23 rakaat. Perbedaan tentu bukanlah suatu masalah. Yang justeru perlu diperhatikan adalah kekhusyukan saat melaksanakannya. Baik 8 rakaat dan 23 rakaat, tentunya jamaah tidak ingin pula jika shalatnya menghabiskan cukup lama waktu. Apalagi yang tetua-tetua yang kebanyakan datang tentu cepat pegal jika terlalu lama, tapi terlalu pegal juga jika terlalu cepat.
Surat-surat yang biasa dibaca oleh Imam saat tarawih adalah surat-surat pendek dari mulia Al-Kautsar sampai An-naas, dan rakaat keduanya membacakan surat Al-Ikhlas, atau ada juga yang menggunakan ayat-ayat pilihan pada akhir surat. Dulu ketika di Pare, biasanya Imam menggunakan akhir surat Al-Kahfi yang dibacakan pada rakaat keduanya. Pilihan surat pendekpun sekali kali mencoba untuk lebih ditekankan pada kekhusyukannya. Tentu didukung dengan bacaan yang tartil pula.
Di Krapyak ini, aku menemukan hal yang cukup berbeda, baik di Masjid yang berada dekat pondok, maupun di dalam pondok sendiri. Karena warga di sekitar masjid ada yang Muhammadiyah dan NU, maka shalat tarawihnya dilakukan 2 tahap, tahap pertama dengan bilangan 8 rakaat dikhususkan untuk golongan warga Muhammadiyah, kemudian setelah itu dilanjut dengan sisa 12 rakaat tarawih untuk golongan warga NU. Namun para santri putri diwajibkan untuk jamaah tarawih di rumah saja. Dengan Ibu yang menjadi Imam jamaah.
Ada bacaan yang berbeda yang menjadi pemandangan pertama kali aku temukan saat ibu memimpin shalat tarawih. Setiap harinya akan dibacakan sebanyak 2 juz dengan dicicil dari mulai subuh, dan maghrib.
Bisa dibayangkan kan? 2 juz itu jumlah yang cukup banyak bukan? Jelas itu yang pertama kali terbayang dalam benakku. Tapi kemudian setelah dijalani beberapa hari ternyata selesainya tidak jauh berbeda dengan jamaah shalat tarawih biasanya, sekitar pukul 8.15 biasanya terawih sudah usai dilaksanakan.
Membaca 2 juz untuk 23 rakaat tentu menguji mental hafalan, kesabaran, dan keoptimalan suara. Dan ujian itu tiba-tiba aku rasakan ketika ibu tetiba harus mengajar ke pondok Gontor, akhirnya beliau memerintahkan aku untuk memimpin shalat tarawih pada malam itu. Tentu belum berani dengan hafalan sih, masih dengan membuka Al-Quran, dan memegangnya selama shalat. Entah karena kurang bisa mengendalikan kondisi dan suara, seusainya shalat suara langsung serak, dan bacaan saat shalat pun rasanya terlalu cepat sehingga diri sendiri merasa kurang khusyuk.
Ya, secara tidak langsung pengalaman ini mengajarkan dan menyadarkan bahwa kualitas hafalan harus terus ditingkatkan, dan membaca tartil adalah sebuah keharusan bagi tiap-tiap kita yang membaca Al-Quran.
Krapyak, 2 Juli 2014.