Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Perempuan Sunda membaca Hati Suhita

3 min read

IMG 20190609 110846 01
Sebagai perempuan sunda seperti saya, membaca novel Suhita bukan hanya sekadar memaknai kisah percintaan Gus Birru dan Ning Alina Suhita. Lebih mendalam lagi, kisah pewayangan dan falsafah Jawa yang selalu diselipkan menjadi hal menarik sendiri. 

Saya, seorang perempuan berdarah sunda. Meski memang daerah tempat tinggal saya berada di wilayah provinsi Jawa Tengah, tapi budaya Sunda sangat kental dengan kehidupan saya sehari-hari. Meski demikian, saya sendiri hanya sedikit mengetahui tentang sejarah sunda itu sendiri.

Sementara itu, hubungan sunda dan jawa bahkan hanya secuil yang saya ketahui. semisal pengetahuan tentang hubungan baik Jawa dan Sunda konon katanya dihindarkan pasca Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit yang membantai Kerajaan Sunda. Mungkin itu sebabnya, tentang Jawa hampir semua ditutupi di Sunda, begitupun sebaliknya. Bahkan untuk urusan pernikahan pun stigma negatif muncul ketika terjadi pernikahan orang Sunda dan Jawa. Nampaknya hanya hal itu yang masih melekat dan itu pun baru saya ketahui juga saat di bangku kuliah.

Justeru, tentang Jawa mulai saya akrabi saat saya tinggal di Jogja dan tinggal di pesantren, sedikit demi sedikit saya memahami unggah ungguh dan beberapa falsafah jawa yang sering diselipkan Gurunda saat berdawuh. Lalu, saya menikah pula dengan orang Jawa. Setidaknya stigma tersebut mencoba saya abaikan. Karena memang baik dan buruk tergantung pribadinya, bukan suku dan daerahnya, kan?

Mempelajari Sejarah memang seringkali membosankan. Apalagi mengenal nama-nama asing yang jelas saat ini hampir sulit diucapkan. Nama yang menggunakan bahasa arab lebih akrab di telinga saya ketimbang nama yang berasal dari bahasa sansekerta.

Sempat membaca buku-buku sejarah, tapi saya mudah bosan. Tentu gaya penulisan memang berbeda. Dan minat baca saya memang tidak semenggebu mereka para pecinta baca. Minat baca saya memang biasa-biasa saja. Kecuali ditawarkan sebuah novel, beberapa hari tentu cepat habis. Selesai.

Eh, nyatanya  benar saja. Suami saya tiba-tiba menyodorkan 2 buah buku berlatar pesantren, jawa, dan perempuan. Tidak asing lagi, karena buku-buku tersebut adalah bagian dari  daftar buku yang ingin saya baca. Ingin saja sih. Tidak terlalu menggebu juga.

Perempuan, Jawa dan Pesantren

Saya sendiri mengenal buku ini karena teman-teman sepondok dan teman-teman santri di media sosial menghebohkan karya ini. Sangat menggema dan responnya sangat heboh. Para Ibu kesal dengan Rengganis. Para gadis memuja kegantengan Gus Birru. Beberapa Ibu memuji kesabaran Alina Suhita. Sementara itu, saya justeru masih terpekur dengan berbagai istilah filsafat jawa yang banyak diselipkan dalam setiap cerita. Saya kebingungan, tapi saya sangat tertarik.

Sebenarnya cukup mustahil orang mengobrolkan suatu hal kemudian menyambungkan dengan materi yang ada di buku Babad Jawa. Kita ngobrol saja kadang tanpa isi. Bahkan sumber obrolan kita sekadar kata orang kebanyakan. Kata orang yang kemudian diobrolkan banyak orang. Opini yang kemudian menjadi fakta. Hal yang sangat disayangkan, tapi kini begitu merajalela.

Novel Hati Suhita memang diramu sedemikian cantik dan menarik oleh Mbak Khilma Anis. Tidak heran juga isinya sangat kental dengan latar Jawa, pesantren dan tentu saja perempuan. Karena memang Mbak Khilma Anis memiliki ketiganya.

Beliau banyak menghasilkan karya yang memang kebanyakan karyanya selalu bersinggungan dengan budaya jawa, perempuan, dan pesantren. Maka semua tokoh, hampir digambarkan oleh Mbak Khilma sebagai orang-orang yang Jawa banget, bahkan dalam segi obrolan mereka.

Sekadar bocoran, novel Hati suhita adalah cerita seorang putri kyai yang bernama Ning Alina Suhita yang dijodohkan dengan seorang putra kyai yang bernama Gus Birru. Mereka menikah. Ning Alina menerima dengan ikhlas perjodohan tersebut. Sementara itu, Gus Birru menolaknya mentah-mentah. Karena Gus Birru sudah memiliki seorang kekasih. Namun akhirnya Gus dan Ning tersebut menikah karena kehendak kedua orangtua mereka.

Baca juga : Qiro’ah Mubadalah : Resiprokal dan tantangan kemandirian perempuan

Lika-liku perjalanan pernikahan mereka sangat tidak mulus. Apalagi kalau bukan karena Gus Birru yang memiliki Rengganis. Namun, lelaku yang ditampakkan oleh Ning Alina-lah yang sengaja dilekatkan dengan sosok lelaku perempuan Jawa. Kesabarannya pada Gus Birru, Baktinya pada Bapak dan Ibu Mertua, serta giat mencari ilmunya karena bakti pada pesantren dan orangtuanya.

Ada beberapa ungkapan Jawa yang menunjukkan sisi tawadhu-nya seorang Alina yang menjadi seorang  perempuan, istri dan juga seorang santri. Wanita yang katanya merupakan kepanjangan dari wani tapa, harus berani bertapa, menyepi dari keramaian. Mikul duwur mendem jero; yang berarti harus selalu menjaga harkat dan martabat keluarga. Bekti, Nastiti, ati-ati; yang berarti harus berbakti, harus teliti dan juga harus berhati-hati dalam berperilaku. Tapa-tapak-telapak; Tapa yang menghasilkan keteguhan diri, Tapa akan mewujud dalam tapak. Tapak adalah telapak. Yang artinya bahwa kekuatan wanita ada di telapaknya, atau kasih sayangnya. Maka sesungguhnya di bawah telapak wanita eksistensi dan esensi surga berada. Digdaya tanpa aji yang artinya harus kuat dengan bentuk kekuatan kasih sayang, dan berbagai ungkapan lainnya.

Dalam novel tersebut, kita disajikan dengan kisah jawa klasik yang banyak ditampilkan oleh para dalang dalam pewayangan. Baik itu Gatot Kaca, Pandawa, Gadjah Mada, Rara Ireng, Subadra dan tokoh lain yang masih sangat asing bagi saya.  Inti dari memasukkan cerita wayang tersebut tiada lain agar kita meneladani hal-hal baik dari cerita tersebut. Belajar tentang kebaikan disambi dengan belajar sejarah tentu akan mengasikkan. Seperti Mbak Khilma Anis yang bahkan mendapati cerita-cerita tersebut dari kakeknya saat masa kecilnya dahulu.

Ada banyak hal baik yang disematkan dari novel ini. Bakti dan sabarnya Alina Suhita. Semangat mencari ilmunya Suhita. Kepekaan sahabatnya, Aruna dalam menemani Alina Suhita. wawasan ya klon Gus Birru untuk menghargai Alina dengan mengumpulkan keberanian menjadikan Alina sebagai pengabsah wangsa-nya, Kecerdasan Gus Birru dalam mengembangkan pesantren yang tidak hanya fokus mengaji, tapi juga mengembangkan kemampuan jurnalistik dan wawasan lainnya. Serta keakraban hubungan Bapak Ibu-nya Gus Birru dengan Ning Alina yang seperti anak sendiri.  

Sebagai perempuan sunda, saya bersyukur sudah dikenalkan dengan buku-buku karya Mbak Khilma Anis ini. Selain saya belajar tentang pewayangan, falsafah Jawa dan perempuan, saya juga belajar tentang hal-hal baik dari lelaku wanita Jawa yang dapat diterapkan. Sedikit banyak nasihat ya hampir sama, meski bahasanya berbeda. Keduanya Masih terkesan sangat patriarki memang. Bahkan untuk urusan bakti dan tirakat, memang banyak dilakoni oleh seorang isteri. Meski, tidak dipungkiri, lelaki juga seharusnya melakukan kedua hal tersebut, bukan?!

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

12 Replies to “Perempuan Sunda membaca Hati Suhita”

  1. sepertinya novel ini sangat cocok untuk di baca cwe ya mbak, tapi meski begitu cwo juga gak ada salahnya untuk membaca, karna banyak pelajaran yang bisa di ambil dalam kehidupan rumah tangga suami istri

    1. Oh iya tentu sajaaa. Ada bnyk pelajaran betti di sini. Karena Mubadalah atau ketersalingan hubungan an suami istri, maka jelas keduanya harus belajar. Termasuk mengambil pljr dr buku novel tsb.

  2. Novelnya bukan genre yang aku suka sih kalau dilihat dari reviewnya. Tapi, semoga banyak teman-teman yang suka genre ini, menemukan artikel ini dan tertarik untuk baca novelnya.
    Terima kasih ya Kak.
    Ditunggu review-review selanjutnya ya Kak.
    Semangat!

  3. Ini kelihatannya sebuah novel yang sangat serius. Lumayan berat dicerna bagiku. Butuh waktu untuk memahami secara khusus. Maklumlah. Aku bukanlah orang yang paham dunia pesantren dan dunia jawa.

  4. auuwww beraaddh ini novel waktu ngehype semua orang ngomongin Gus Birru… aku nggak baca waktu di KBM dan sampai skrg juga belum kesampaian baca bukunya. baca review ini saja sudah berasa ikut “membaca”, apalagi kalau teman-teman lulusan pesantren pasti relate banget ya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!