COVID-19 memperkenalkan sebuah budaya baru, bahkan mengubah budaya lama. Beberapa hal yang tadinya dianggap sopan, tiba-tiba setelah virus datang, hal-hal tersebut dianggap berbahaya. Adaptasi terhadap suatu keadaan memang diperlukan. Satu hal tidak bisa selalu diletakkan pada tempat dan keadaan yang sama. Kita, sedang mencoba untuk menerapkan budaya baru, social distancing.
Social distancing mula-mula digaungkan oleh WHO sebagai pencegahan penularan virus corona. Kita diminta menjaga jarak. Eh, tapi karena dikhawatirkan makna akan menjauhkan sesama, jauh secara sosial, akhirnya digantilah dengan physical distancing.
Hanya fisik atau raga kita yang berjarak. Hati tetap satu, menyatu, tak terpisahkan. *eaaaaa
Betewe, ini tema dari Blogger Perempuan ngasihnya tentang social distancing, jadi selanjutnya saya akan menyebutkan social distancing saja, ya.
Bagaimana laiknya penerapan Social Distancing?
Penerapan social distancing merupakan hal baru bagi kita. Kita harus menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain. Itu berat. Nggak cuma di Indonesia aja, di beberapa negara pun ternyata penerapannya sangat susah. Bahkan, karena jika sekadar himbauan saja, mereka tidak takut. Akhirnya, banyak negara yang melakukan usaha berupa lockdown, memberikan denda bagi yang keluar, atau bahkan menurunkan angkatan militer mereka ke lapangan.
Kenapa sih harus Social Distancing?
Kemarin, sewaktu nonton video Nihongo Mantappu jelasin tentang kurva dan pentingnya social distancing itu secara mengingatkan kembali manfaat belajar Matematika yang tidak dibilangin oleh guru-guru Matematika dulu.
Jadilah, ketika saya dan suami melihat tersebut, kita bengong. Bukan karena penjelasan matematika yang masih perlu dicerna berulang-ulang. Suami kesal sekali, karena ternyata belajar matematika itu ternyata sangat berguna. Apalagi dalam hal memperkirakan suatu hal yang akan terjadi di masa depan.
Memperkirakan masa depan memang tidak ada yang pasti. Tapi, dengan adanya pengetahuan seperti ilmu matematika, perkiraan itu tidak hanya sekadar kira-kira. Memperkiraannya menggunakan rumus, melihat situasi, dan beberapa kemungkinan yang terjadi.
Jika ingin melihat lebih jelasnya penjelasan pentingnya social distancing terhadap persebaran covid-19, teman-teman bisa lihat langsung videonya di sini. Tapi, intinya, kegiatan berupa social distancing ini digalakkan untuk dilakukan agar kurva persebaran virus semakin melandai. Efeknya, tentu tidak hanya jumlah orang yang terkena semakin sedikit, tapi juga itu berarti kita membantu para dokter, perawat, dan fasilitas kesehatan agar optimal melayani para pasien covid-19.
Tantangan Social Distancing
Wah, ini adalah tantangan yang sangat menantang. Menantang karena hal ini agak berkebalikan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia pada umumnya. Budaya kita mah apa-apa ngumpul, sih.
Budaya Indonesia : Party for anything
Anything happens here celebrated by party.
Miss Rhena
Ingat banget, saat ada speech di pagi hari, Miss Rena tetiba ngobrol tentang party. Party nggak cuma defininya pesta, ya. Segala kegiatan yang agendanya ngumpulin orang banyaklah. Di Indonesia, nggak cuma hal yang membahagiakan yang mengumpulkan orang banyak, bahkan kematian pun iya.
Sementara itu, larangan social distancing menjelma menjadi suatu aturan baru yang mengharuskan kita berjauhan, tidak bersalaman, tidak berkerumun, dan sebagainya. Beraaaat banget. Tentu saja.
Social Distancing menjadi budaya baru. Budaya karena dibaliknya ada alasan kuat kenapa hal ini perlu dilakukan. Jadi, bukannya ketika kita nggak mau salaman, nggak mau deketan, nggak mau main itu karena nggak sayang atau nggak peduli. Tapi karena sebaliknya.
Omongan Orang itu Berat di Telinga
Gegara COVID-19 ini, orang-orang menjadi sangat parno. Tapi, omongan orang lebih bikin parno, bahkan menyusup ke hati. haha.
Sekalinya uhuk, satu orang yang ngomongin ke orang lain, lalu sekampung bisa menghindar. Sedih banget kalau dengar berita. Bahkan, gegara omongan yang kemudian menimbulkan, ada muncul banyak penolakan mayat, penolakan bagi dokter dan perawat yang merawat pasien covid-19, dan bahkan sampai dikucilkan.
Bukaaan, social distancing itu bukan untuk menjauhkan, kok. Hanya untuk menjaga jarak, tapi tidak menjauhkan rasa cinta dan kasih sayang kita kepada sesama.
Sudah ada beberapa daerah di Indonesia yang meniru sikap baik yang dilakukan di negara lain, seperti : memberi support kepada kepada pada para Garda Terdepan, memberikan dukungan kepada mereka yang terpapar virus, dan membantu mereka yang membutuhkan.
Tidak Terbiasa Disiplin
Ya, tidak terbiasa, tapi bukan berarti tidak bisa bukan?
Menjaga jarak jelas perlu kedisipilinan, kerjasama, dan kepahaman dari setiap orang. Kalau ada yang sok-sokan merasa sehat, masih ingin dihormati dengan harus salaman, masih nggak sabaran, yaa bubar jalan.
Tapi, please deh. Masa manusia kalah sama semut yang kecil seuprit itu!
Menerapkan ini membutuhkan kerjasama setiap masing-masing kita untuk memahami dan ikut serta mensosialisasikannya kepada siapapun.
Kita perlu memahamkan, bahwa kita perlu menjaga jarak, dan itu nggak apa-apa. Itu baik dan dianjurkan.
Pada akhirnya, ketika manusia memahami keadaan, otak manusia akan mecoba berfikir untuk melewati keadaan dengan cara yang berbeda.
Kita menjadi penentu, kapan akan berakhirnya covid-19 ini. Maka, kita perlu menjadi agen untuk penghentian persebaran virus ini. KITA BISA!