Kian kemari, semakin banyak orang-orang yang memiliki ketertarikan kuat pada hidup minimalis. Kejenuhan pada materi dan pikiran-pikiran yang memang tak seharusnya kita pikirkan membuat minimalis menjadi pilihan yang kurang tepat. Lalu, bagaimana seharusnya untuk memulai hidup minimalis?

Awalnya, saya pikir hidup minimalis berarti memiliki sedikit barang. Makanya, beberapa pengikuti minimalis bilang bahwa minimalis adalah hidup miskin gaya baru. Miskin gaya baru ini karena kitatidak memiliki banyak barang.
Hal tersebut sejalan dengan pendapatnya Joshua Becker. Dia bilang bahwa minimalis berarti hidup dengan barang-barang yang kita butuhkan saja.
Dengan memiliki barang-barang yang hanya kita butuhkan, fokus fikiran akan lebih leluasa untuk memikirkan hal lain yang lebih penting, seperti menambah pengalaman, pengetahuan baru, koneksi baru, dan lain sebagainya.
Pemahaman tentang minimalis memang sangat beragam. Baik Mari Kondo, Fumio Sasaki, Joshua Becker ataupun Francine Jay atau bahkan pendahulu kita pun memiliki definisi tersendiri dalam mempraktekkan gaya hidup minimalis.
Saya, sebagai orang-orang yang sedang mencoba mempraktikkan gaya hidup lebih minimalis ternyata tidak mampu mempraktekkan teori-teori sesaklek-sakleknya. Karena beberapa dari ajaran tersebu tidak sesuai dengan pola hidup saya, atau mungkin karena saya emang masih kurang sungguh-sungguh banget kali ya.
Baca juga : Minimalist Enthusiast
Saya masih sering kalap materi lihat pajangan baju baru, atau kalap waktu lihat printilan yang unyu-unyu menggemaskan, atau bahkan menumpuk barang-barang yang tidak minim sampah sama sekali. Menumpuknya berbagai pikiran pun masih sering saya lakukan.
Yup, hidup yang berkesadaran katanya harus menghubungkan kepentingan alam dan sekitar. Malah kemarin sewaktu saya dengar di podcast TED Talks Daily, Jane Goodall sebagai legenda ahli primatologi bilang bahwa segala apapun yang kita lakukan selama hidup, akan berdampak pada planet yang kita tempati. Terdengar biasa ya, tapi pas dengerin belio mengaitkannya sama kehidupan primata dari jaman ke jaman. Bakalan makdeg banget kita dengernya. Coba deh dengerin podcastnya.
Karena begitulah, mau nggak mau memang kita harus mengubah pola pikir tersebut. Gaya hidup itu untuk hidup, tapi hidup tak meminta gaya hidup yang tidak baik deh kayaknya. Emang berat, tapi demi alam, anak cucu, serta kehidupan yang akan datang, kita harus mencoba melakukannya. Nggak bisa ujug-ujug juga sih. Tapi kita bisa mulai dengan hal-hal kecil dari hal-hal yang ada di sekitar kita kok. Yuk, tengok!
Langkah-langkah Memulai Hidup Minimalis

1. Manfaatkan yang ada
Keterhubungan minimalis dengan kesadaran pada alam membuat sebagian besar penganutnya memilih produk yang ramah lingkungan, mengurangi plastik, dan barang-barang yang lebih eco-green nan mahal. Tapi, apa kita harus sebegitunya juga?
Hemat saya sih, nggak ya. Minimalis kan berarti seminim mungkin. Kalau demi lebih peduli pada alam terus banyak yang terbuang, misal foood storagenya ndadak menggantinya dengan merk t*ware yang lebih ramah lingkungan dan mahal, ya nggak bijak juga namanya.

Yang ada kita pakai saja dulu. Barang-barang yang ada tapi udah nggak eye-catching bisa kita permak dan hias-hias lagi. Baju-baju yang sudah nggak good looking, kita bisa permak atau refashion nih sambil meniru-niru baju dambaan kita. Coba buka youtubenya Sarah Tyau atau MadebyAya. Kali aja kamu dapat inspirasi buat ngerombak baju-baju lama kamu dari sana.
2. Pakai Sampai Habis
Kita pasti memiliki banyak barang untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Tapi, beneran karena butuh lho ya. Kalo udah punya satu tapi merasa pengen satu lagi dan satu lagi. Ya udah nggak karena butuh lagi toh namanya.
Yang ada, nanti beli karena lucu, beli karena sesuai warna, beli karena bosan. jadi deh numpuk. Yakin, barang yang sudah kita beli itu bakalan habis?
Pakai sampai habis itu berlaku buat barang-barang seperti ; kosmetik, alat mandi, dan bahan masakan ataupun makanan dll. Nah, yang perlu kita perhatikan, barang-barang tersebut memiliki batas akhir lho.
Jadi, jika kebanyakan dan jarang kita pakai, jangan-jangan masa pakainya udah habis. FYI, barang yang udah terbuka itu masa berlakunya udah nggak pake ukuran expired yang tertera di produknya ya, tapi biasanya 6 sampai 12 bulan setelah barang itu kita buka.
So, pakai barang satu persatu sampai benar-benar habis ini solutif banget. Selain lebih hemat, juga kita pasti akan mampu menghabiskannya sebelum masa waktu habis. Lebih hemat, lebih sayang bumi juga kan tentunya.
3. Bukan kuantitas, tapi kualitas
Nggak heran ya, kalau sekarang banyak barang tiruan yang bahkan KW-nya aja udah KW super alias mirip semirip-miripnya sama barang yang aseli. Kalau untuk hasilnya, bisa jadi mungkin tampilan dan hasilnya awalnya emang bagus, meski nggak tahu ya akhirnya kek mana. Tapi untuk ukuran kualitas dan jaminan keaslian, kamu pasti sudah tahu kan jawabannya?
Ada rupa ada harga, istilah ini hampir semua orang tahu ya. Hanya saja, masalahnya potongan diskon dan harga yang merosot banget bakal lebih membuat kita terkesima buat beli daripada melihat angka yang berat di kantong.
Dibalik kualitas suatu produk, tentu ada proses riset, data, dan pengolahan bahan yang nggak tanggung-tanggung juga. Semua itu bernilai lho. Kita apreasiasinya dengan membeli. Karena dengan begitu, kita menghargai usaha dan proses pada pembuatan produk tersebut, juga orang-orang yang membuat produk itu. Produk lokal juga udah banyak kok yang berkualitas.
Nah, keuntungan dari kualitas produk yang baik harusnya sih berdampak pada berkurangnya pengeluaran dan jumlah barang. Karena, ya karena produknya bagus. Jadi bisa tahan lama, Kita nggak bakal beli-beli lagi deh.
Kecuali emang hobi beli sih, eh bukan minimalis lagi ya namanya kalo gitu mah.
Oh iya, satu hal penting lainnya. Ketika kita ingin memulai hidup minimalis, terutama untuk isi lemari, ada beberapa pakar fesyen minimalis yang bikin istilah-istilah dengan kuantiti tertentu.
Semisal, projek 333, yang berarti 33 pakaian untuk 3 bulan, ada juga capsule wardrobe yang nggaj jauh beda juga, jumlahnya sekitar 35-37 pasang dan istilah lainnya. Tapi, balik lagi ya, semua tergantung pada kondisi dan situasi kita. Seberapa yang kita butuhkan hanya kita yang tahu. Patokan itu nggak perlu saklek kok.
Kesimpulan
Diantara ketiga hal tersebut, mana urutan tersulit hingga tergampangnya? Kalau aku sih paling gampang itu ya pakai sampai habis, tapi paling susah itu ngukur suatu benda dari kualitas, karena dasar matanya masih suka kalap aja sih. Tapi, bismillah ayuk sama-sama dimulai lagi hidup lebih teraturnya. Hidup minimalis salah satunya.
Terima kasih untuk langkah-langkahnya, mba Ghina π
Saya pribadi sedang berusaha bangettt untuk step no.2 yaitu pakai sampai habis karena terkadang, masih suka ada yang bersisa-sisa sedikit seperti pasta gigi, sabun dan sampo ehehehehe. Dan setuju dengan Jane Goodall, bahwa apapun keputusan kita akan berpengaruh besar pada planet tempat di mana kita tinggal. Semoga, setiap dari kita pelan-pelan bisa berproses menjadi lebih baik lagi ke depannya π
Sama sama kak eno. Lama ga nengok jg ya kita. semoga kak eno sehat2.
Iya, saya pun masih di tahapan pakai sampai habis nih terutama produk kecantikan. Lagi ngurangin malesnya biar produknya abis sebelum PAO-nya tiba.
Semoga kita menjadi bagian yang mampu menjaga planet ini dgn hal2 kecil tadi yaa. xoxo
Sekedar tambahan mbak. Kita bisa juga menambahkan option sewa dibanding membeli untuk hal-hal yang jarang kita pakai / gunakan, seperti sewa jas / pakaian mahal, sewa mainan anak, dll
Eh iya nih. Sewa juga bisa dilakukan yaa, biasanya buat acara2 resmi gitu, atau yg jangka pendek kek mainan anak yaaa. Maybe, next time bisa dipraktekkan nih
Berguna banget langkah-langkahnyaa, makasih ya mbaπ Sejujurnya aku kenal minimalism ini tahun lalu saat cari-cari referensi buat speech contest dulu yg berkaitan dengan hidup konsumtif. Dari sejak saat itu sebisa mungkin aku terapin hidup minimalis, kayak decluttering baju yg udah lebih dari 6 bulan gak dipake, terus tahan buat gak belanja online walaupun lg sale. Untuk penggunaan skincare pun alhamdulillah anaknya setia, jadi selalu pakai sampai habis. Cuma akhir2 ini jadi konsumtif lg, gara2 sering mantengin store langganan dan kepincut produk2 baru, hadeuhπ Makanya pas baca postingan mba Ghina berasa disadarkan lg buat balik ke niat semula, dan milih kualitas daripada kuantitas.π
Nah, mungkin hal tsb muncul karena kegiatan kita kurang bnyk kali yaa.jadi fokusnya pengen yg hepi2 aja kek scrolling social media atau shopee, hihi.
Aku coba sembunyiin bgt itu shopee dr aplikasi, meski kadang yaa masih keranjingan jg buat tengok2.
Duh, emang yaaa tantangan terbesar itu emang melawan ego sendiri. Huh!
Aku pun sama kayak kak Ghina, urutan paling mudah menurutku pakai sampai habis dan yang tersulit memilih dan membeli barang berkualitas bagus karena aku suka nggak rela sama harganya yang muahal walaupun tahu kualitasnya memang bagus. Mungkin dalam hal ini, solusinya adalah membeli barang yang kualitas dan harganya sesuai kemampuan kita ya.
Kalau pakai sampai habis ini, aku juga belum lama belajar. Benar-benar itu tube sunscreen dan sabun cuci muka, aku belah sampai aku korek-korek isinya biar bersih tuntas π
Kalau make-up gitu, untungnya produk make-up aku nggak banyak tapi dalam hal ini masih susah juga untuk pakai sampai habis karena jarang dipakai, bahkan bisa keburu expired duluan sebelum habis. Begimana ya π
Me too, sampe kubelah itu lotionnya. Tapi emang kudu dipastikan dlu kalo emang bener2 tinggal dikit ya.kmrn pas dibuka malah trnyta masih bnyk, yah kebuka terus malah kena debu.huhu
Kualitas berdasarkan kemampuan, i agree. Nggak usah ndaki2 yaa, diliat sama isi kantong kita masing2 kan yaa.
Semoga bisa istiqomah nih..
Haloo Mba Ghina, salam kenal yaa (:
Urutan pertama kalau aku di pemakaian sampai habis. Karena beberapa waktu lalu ketika decluttering, aku membuang banyaaak sekali produk makeup dan lotion yang nggak kupakai sampai habis. Makeup karena aku dikadoin dan kebetulan aku jarang pakai (emang nggak gitu suka makeup). Karena makeup paling lama setahun, mau nggak mau aku buang deh huhu. Harusnya bisa aku hibahkan aja ya, tapi nggak kepikiran waktu itu. Setelah dibuang, baru sadar, apa yang kubuang itu akan memberikan dampak pada bumi kita. So next time aku harus lebih mindful dalam menerima hadiah dan pemakaiannya (:
Kalau memakai yang ada, kebetulan karena aku masih tinggal bareng mertua dan ada begitu banyak barang yang bisa kupakai dulu, ya aku pakai aja dulu. Meski kadang pengennn sekali beli yang baru karena alasan estetik (biasa kann cewek π), tapi suka diingetin suami, pakai aja apa yang ada dulu. Supaya budget bebelian bisa ditabung untuk rumah sendiri hihi
Yang terakhir tentang quality over quantity, itu prinsip yang selalu aku pegang bahkan sebelum mengenal minimalist lifestyle. Kebetulan suamiku juga menganut prinsip yang sama, jadi kami bisa saling mengingatkan.
Ah jadi panjang deh, maap yaa Mba π terima kasih sekali udah nulis tentang minimalis ini, lumayan bisa dapet ilmu lagi dalam penerapannya π
Hai Mbak Jane. Salam kenal jg.. Senang kenal dgn Mbak Jane
Secara nggak sadar ternyata urutannya emang bnyk yg ngepas yaaa. Hihi
Kmrn aku liat bahkan skrg jika ingin memberi kado atau dikado, baiknya mengajukan pertanyaan ke yg dikado atau mengajukan apa yg ingin dikado lgsg ke orangnya. Itu lebih kepake sih drpd asal ngado ternyata nggak kepake, kan jadi waste thing. Mungkin next time kita bisa praktekin.
Meski agak pekewuh sih yaa, karena adat kita kalo gt kek ngelunjak. Hehe
mantap mbaak ghina
Maturnuwun mbak Ririn
Halo mba.
Saya juga sedang belajar hidup minimalis. Lagi mengurangi buku dengan mengadakan program tukar buku. Jadi nggak usah beli gitu. Haha.
Mba ghina tinggal di Belanda? Apa temennya mba mauriel? Founder zerowaste Indonesia.
Salam kenal mba. ^^
Hai mba Mirna, salam kenal.
Saya sedang stay d indo kok skrg. Nggak kenal mba mauriel, dia di amsterdam kan ya.. Kmrn saya mh di groningen. Cuma saya jg ngikutin youtubenya dr lama.
Iya nih pengen bgt nemu temen buat tukar buku, semoga nanti kalo dh balik ke jawa bisa mraktekin ini.
sepakat banget sih sama langkah-langkah di atas mbak Ghina, aku pun lagi belajar buat hidup minimalis. Tapi karena masih tinggal sama bapak ibu, rasanya masih sulit karena ibuku suka nyimpen2 barang yang kadang kurang bermanfaat, wkwkwk
konsisten memang perlu banget juga ya mbak
Iya, saya juga nggak kuat kalo kudu beres2 rumah orangtua. Satu lemari isinya udah ga kepakai itu dianggap biasa. Giliran saya mau declutter eh dibilang jangan nanti kali aja kepake, huhu. sad
sejak sering baca post soal hidup minimalis aku jadi ngaca sama diri sendiri, kayaknya hidup aku nggak minimalis banget hehehe
padahal pengennya kemana mana bisa pergi bawa barang yang simple aja, tapi kadang di pikiran ini banyak maunya, mau bawa ini itu, nanti kalau ini butuh gimana,, gitu aja terus pertanyaannya
bahkan tas aku berangkat kerja kok rasanya berat aja tiap hari, tas kosmetik isinya gitu gitu aja, tapi perkakas yang dibawa kok gede gede
nahh kalau liat printilan unyu aku juga suka tergoda mbak, padahal kalau dipikir ulang barang itu juga belum memegang fungsi yang bener bener dibutuhkan.
setuju kak, saya suka dengan yang berbau minimalis,bahkan uang gaji habis dengan gaya suasana modern. Haha salam kenal dan ini komentar perdana saya kak.
Selain itu hidup minimalis bisa belajar rasa cukup, seperti yang kita tau manusia memang punya rasa ga gampang puas,tapi dengan minimalsm kita belajar mengendalikan nafsu itu.
iya kak, bener banget. keinginan kita itu pasti ada aja terus. kalau dituruti semua kebahagiaannya cuma sebentar doank kok