Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Melepas Rindu pada Jogja

3 min read

IMG 20190402 063411 01
' Na, kenapa turun di Jogja sih? Nggak Semarang aja, kan ada Ceuceu di Semarang..

Telepon Mimih beberapa kali menanyakan hal sama terus menjelang kepulangan saya kembali ke Indonesia. Iya, kami memang berrencana untuk pulang kampung dan transit terlebih dahulu di jogja, untuk beberapa hari yang belum ditentukan. Sekitar 3-4 hari.

Jelas sih Mimih bertanya terus. Soalnya di Jogja kan nggak ada saudara, nggak punya tempat tinggal juga. Jadi yaa, dengan tinggal di penginapan, jika dikalikan sekian hari akan lumayan juga budgetnya. 😆

Tapi ya gimana, kangen jogja e.

Kenapa harus mampir ke Jogja dulu? Mau melepas rindu dulu. Wkwk. Mau kulineran yang sangat-sangat dirindukan semasa di luar sana. Selama di Belanda, yang paling bikin ngilerya kuliner ala jogja-nya. Apalagi sekarang semakin banyak tempat makan baru.

Selain target kulineran, ada banyak sekali alasan untuk singgah di Jogja terlebih dahulu. Karena jogja adalah tempat berjuang semasa kuliah dan juga tempat perjuangan awal-awal menikah.

Nostalgia sedikit sembari memperhatikan perubahan Jogja dengan seksama. Kini ada banyak perubahan, selain semakin banyak hotel, juga jalanan Jogja semakin ramai dan seringkali macet.

Sesampainya di Bandara Adisucipto kami disambut oleh para supir taksi. Anehnya, suami langsung saja menerima tawaran seorang supir tanpa bertanya terlebih dahulu soal harga. Padahal saat itu jelas-jelas saya sedang ngantri beli C*C karena perut sangat lapar belum sarapan, akhirnya ditunda dulu deh makannya.

Shock juga, saat ditanya harga, tiba-tiba si Bapak menawarkan harga di atas seratus ribu untuk perjalanan taksi dari bandara menuju jalan monginsidi. Ini taksi biasa sih, bukan yang online. Jadi mereka bilang butuh uang parkir buat nunggu kami di dalam Bandara, yang nggak bisa dimasukin taksi online.

Saya bingung, ini harga kemahalan, atau mindset saya tentang rupiah versus euro belum benar nih. 🤨Terakhir kali yang diingat perjalanan naik taksi bayarnya sekitar lima puluhan ribu. Tapi ya karena saya menggunakan taksi online sih. Ya, mungkin memang rejeki si bapaknya kok.


Jadi, saya memiliki banyak rencana selama di Jogja nih. Baik buat bertemu dengan teman-teman yang sudah menyempatkan untuk diajak ketemuan. Dengan guru yang harus disowani, makam yang hendak dikunjungi, ada bayi imut yang ingin dikecupi, ada tempat untuk mengenang perjuangan awal menikah, melepas rindu pada santri-santri yang ceriwis, dan alasan lainnya.

Segitu banyaknya alasan, 3 hari di sini ternyata belum cukup rasanya. Ya sudah tambah sehari lagi. #eh

Bertemu dengan orang-orang seperti mereka adalah pengingat sendiri bagi saya. Setidaknya meski belum punya tempat untuk berpulang (red: rumah) tapi tetap menjadi tempat nyaman untuk berpulang (sahabat) saat ke Jogja.

Menginap di Guest House Monginsidi

Sebagai ganti tempat tinggal, karena belum memiliki rumah sendiri, maka pilihannya jatuh pada Penginapan. Bisa saja sebenarnya tinggal di rumah orang lain, tapi kebutuhan akan privasi dan kenikmatan berada dalam hembusan AC adalah sebuah kenikmatan di tengah panasnya bumi Endonesa ini. 😆


Tampak depan kamar hotel

Selama di Jogja, kita tinggal di Guest House. Bukan tanpa alasan, kita tidak ingin suasana penginapan yang terlalu ramai, terlalu mewah, dan tidak ramah anak. Selain itu, yang terpenting tentu saja biaya. Hehe

Untungnya kita mendapati sebuah guest house yang bangunannya layaknya rumah. Kamarnya tidak begitu banyak, sekitar 10 kamar sepertinya. Yang bikin nyaman dan asri, depan kamar langsung disambut pepohonan dan pancuran air.

Paling penting lagi, tentu saja ada layanan untuk sarapan sih. Ini menjadi poin penting. Selain menghemat, juga suasana pagi itu terlalu mager jika harus berburu sarapan ke luar rumah. Meski menu sarapannya ya cuma dua pilihan doank. Kalau nggak nasi goreng ya mie goreng.

Kualitas pelayanan juga standar dan saya nyaman aja. Nggak bisa review banyak juga, karena pengalaman saya dalam hal penginapan atau pun hotel juga sedikit. Kalau saya mah, ada sarapan, kamar dibersihkan setiap hari, dan ada WiFi juga udah cukup kok.

Oh iya, meski ini adalah penginapan, uniknya pemilik juga buka warung di ruang depannya. Makanya tempat ini le ih dikenal dengan sebutan Warung Mie Ayam Monginsidi daripada guest house-nya. Jadi, jika ada tamu datang, tinggal pesan makan dan minum aja ke depan. Rasa Mie Ayam Ceker enak banget lho. Meski harganya lumayan sih, karena harga hotel masuknya.

Selama di Jogja cuaca lumayan panas juga, dan jalur transportasi umum lebih sulit. Jika mengandalkan gojek bisa jebol juga kantong kita. Terimakasih banyak buat Nisa yang sudah meminjamkan kita motor selama di Jogja. 😘

Napak Tilas Jogja : Pandanaran, Krapyak dan Mlangi

Hal yang paling terasa saat di Jogja adalah saat mengunjungi ketiga tempat di atas. Kenangan yang melekat saat beberapa tahun menetap memang tidak akan mudah luput.

Pandanaran, tempat pertama yang disinggahi selama 3 tahun. Pertama kali merasakan berangkat kampus naik angkot, nebeng motor teman sekamar, sampai akhirnya dikabulkan beli motor gegara telat ke kampus dan nangis di toilet?!! Tempat di mulai juga merasakan pondok rasa kos-kosan tapi dengan persaingan prestasi akademik dan ngaji bersaing ketat bersama teman seangkatan yang rajinnya subhanallah banget.

Krapyak, tempat berhiatus dan menyibukkan diri kala skripsi di depan mata. Karena waktu kuliah udah selo banget, maka kudu disibukkan biar hidup tetap terrasa hidup kan? Bertemu dua sosok guru utama yang begitu mengayomi. Mendidik dengan penuh cinta bak orangtua. Melatih kami disiplin dan terampil agar kelak menjadi istri yang mumpuni. maturnuwun sanget, Pak, Bu.

Mlangi, tempat bermula biduk rumah tangga mandiri. Diawali dengan hari pertama tidur hanya beralaskan karpet dari rumah sebelah. Tempat pilihan saat terjadi perebutan tempat melahirkan, juga tempat untuk mendewasakan diri saat menjadi istri dan ibu baru.

Eh kok benar-benar nostalgia ya. Tapi memang sih jogja itu terdiri penuh candu dan rindu. Jelas saja, yang pernah tinggal di jogja bakal susah buat move on dari jogja.

Kamu kangen nggak sama Jogja?

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

5 Replies to “Melepas Rindu pada Jogja”

  1. Seru bacanya ih hehe… Artikel bahas Jogja lagi kan yg kukomen. Jangankan orang yang pernah tinggal di Jogja kak. Yg cuma sekali dua kali main kesana aja kangen!!!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!