‘Mamah, kenapa sih kakak A kok nggak mau main lego sama Adek. Padahal kan main lego itu seru.
Keluh Nahla pulang dari bermain
Wah, jiwa-jiwa kritis pada anak usia 4 tahun mulai terlihat nih. Saatnya saya sebagai orangtua mengajarkan makna toleransi kepada anak. Penanaman sikap ini penting sekali, terutama buat sosialisasinya dia. Biar dia tahu bahwa ada keragaman dalam setiap aspek.

Menjelaskan makna toleransi pada anak tentu nggak bisa dengan sebuah definisi seperti yang kita dapatkan. Hal yang saya lakukan adalah melalui bermain dan mendongeng. Kebetulan sekali suami memang sedang melakukan riset tentang Gus Dur, Guru Bangsa Pluralisme Indonesia. Dan, alhamdulillah, ada lumayan banyak buku yang bisa membuat saya sebagai istrinya ikut belajar juga tentang hal tersebut.
Secara bahasa, toleransi itu sendiri berarti kan sikap yang menghargai/membolehkan adanya kepercayaan atau kebiasaan yang berbeda atau bertentangan dengan prinsip atau pendirian kita. Wah, kalau ngomongin keberagaman, Indonesia negara kita tercinta ini jelas salah satu negara dengan kultur yang beragam ya. Jadi harusnya semakin mudah menanamkan toleransi nih.
Kenapa perlu mengajarkan makna toleransi pada anak?
Ketika mendapati keluhan dia soal bermain, saya mulai menyadari bahwa pola pikir anak tentu saja perlu diasah. Anak usia 4 tahun memang sudah mulai tumbuh jiwa kritis dan suka sekali mencermati hal-hal baru di lingkungannya. Tentu hal tersebut perlu pendampingan dari orangtua dan lingkungannya.
Mengajarkan makna toleransi kepada anak menjadi penting. Penekanan bahwa kita sebagai manusia itu sendiri memberikan makna adanya sikap kemanusiaan bahwa kita itu tidak sama. Namun kita memiliki toleransi sebagai bentuk rasa hormat dan penghargaan terhadap ragam budaya dunia yang kaya, bentuk ekspresi kita dan cara kita menjadi manusia.Â
Baca juga : Bibliotheek Forum : tempat asyik untuk bermain dan membaca
Ada banyak kekhawatiran yang muncul dari efek tidak adanya toleransi/intoleransi. Kejadian yang muncul seperti pengucilan anak yang berbeda agama, pengucilan karena perbedaan kelas sosial, geng-geng anak yang bermunculan dan lain sebagainya adalah contoh bahwa intoleransi itu mengkhawatirkan dan toleransi itu sangat perlu ditanamkan.
Memaknai toleransi itu sendiri ternyata juga beragam. Bisa jadi saya membolehkan satu hal, namun orangtua lain tidak membolehkan hal tersebut. Sakingnya beragamnya penerapan toleransi itu sendiri, maka kita sebagai orangtua tentu menjadi contoh utama bagi anak-anak. Dan penekanan bahwa berbeda itu tidak apa-apa menjadi magic word yang perlu untuk selalu disoundingkan pada anak-anak.
Cara sederhana mengajarkan makna toleransi pada anak
1. Berbeda itu ada dan tidak apa-apa
Ada banyak sekali perbedaan yang berada di sekitar anak-anak. Ketika anak-anak tahu ada yang berbeda, dia bisa jadi bertanya-tanya kenapa begini dan begitu. Sebelum hal tersebut terjadi, pengenalan bahwa adanya heterogenitas/perbedaan itu manusia menjadi pelajaran pertama. Magic word ini menjadi penting agar dia lebih menerima dan mengakui bahwa tidak semua harus selalu sama dan berpikir lebih terbuka untuk menerima perbedaan.
2. Tidak semua harus seperti yang kita inginkan/lakukan
Anak seringkali menginginkan hal yang sama nih dengan teman ataupun saudaranya. Entah, mainannya, bajunya, ataupun crayonnya. Makanya, biasanya orangtua seringkali memenuhi kebutuhan yang seragam biar tidak terjadi keributan antar anak.
Nah, sebenarnya hal yang seragam pun rasanya tidak selalu perlu dipraktikkan. Mengajarkan bahwa porsi kita tidak harus selalu sama menjadi hal awal yang seharusnya ditekankan. Justeru memberi hal yang beragam malah bisa menjadi pelajaran awal untuk menerima perbedaan kan. Jadi anak tidak lagi ngambek jika ada yang tidak sesuai dengan keinginannya.
3. Biarkan anak-anak di lingkungan yang beragam dan percayai mereka
Dulu sekali, saya seringkali membuntuti Nahla saat bermain dengan temannya. Saya terlalu khawatir jika ada hal yang tidak baik yang ia dapat. Namun, saat dia sudah mulai bercerita tentang kejadian yang dialami, dan saya kroscek pada orang di sekitarnya dan ternyata ceritanya Nahla itu benar. Saya menyadari bahwa memberikan kepercayaan kepada anak itu adalah poin penting agar dia percaya pada dirinya sendiri.
Keberagaman yang ia dapatkan diharapkan menjadi bekal untuk menyelami perbedaan di masa depan. Pondasi yang kita tanamkan di atas, bahwa berbeda itu tidak apa-apa dan sesama manusia perlu saling berbuat baik dan menghargai sesamanya, menjadi bekal dia agar siap menghadapi keberagaman.
4. Memilah media/buku untuk anak
Saya memang tidak memiliki televisi. Acara televisi saat ini rasanya banyak memberikan tontonan yang kurang baik pada anak. Namun bukan berarti saya tidak memberikan screen time pada anak, saya kasih kok. Ada Youtube kids dan Khan academy yang menjadi pilihan aman saya untuk kebutuhan screen time anak.
Baca juga : Let’s Read : Menumbuhkan minat baca anak di era digital
Selain itu, kebutuhan buku juga saya penuhin. Meski karena keadaan, akhirnya kami lebih memilih dongeng/cerita yang ada di Ipusnas, let’s read, dan instagram. Namun keberadaan orangtua untuk memilah tontonan/bacaan menjadi poin penting. Poin penting selanjutnya adalah pendampingan. Selain anak tahu makna dibalik ceritanya, ini menjadi cara kami untuk meningkatkan bonding dengan anak.
5. Memberi contoh lewat respon kita
Nah, ini yang sedang saya wanti-wanti banget belakangan ini. Dengan adanya keberagaman yang ada di depan mata, anak melihat/mendengar langsung reaksi kita. Anak adalah peniru ulung, jadi jika kita salah merespon, dia akan mengikuti respon kita dengan baik.
Makanya, perlu hati-hati banget sebelum berkomentar terhadap sesuatu. Belakangan saya seringkali menyusun kata-kata dulu dalam hati sebelum diucapkan langsung kepada anak. Takutnya ada respon yang tidak tepat yang malah berujung intoleransi. Kan bahaya, sekalinya kita salah merespon, anak akan mengingat respon tersebut dengan kuatnya.
Pengalaman memaknai toleransi di Belanda

Selama di Belanda, anak saya ikut sekolah di Kindergarten dekat rumah. Di usianya yang baru berumur dua tahun, saya paham bahwa dia belum mengenal perbedaan. Yang ia tahu dan dia ceritakan adalah teman-temannya berwarna kulit berbeda dengannya, bahasanya berbeda dengannya, dan sikap temannya kadang ada yang tidak baik tapi banyak juga yang baik dan sayang kepadanya.
Saat berada di luar, tantangan menerapkan toleransi memang lebih besar. Meski di Indonesia sendiri sudah sangat multikultur, namun berada di sana toleransi kita akan lebih ditempa. Kita akan mendapati sikap dan selebrasi yang berbeda dan lebih menantang. Baik untuk urusan memilih makanan, mencari tempat ibadah, bersosialisasi dengan bermacam warga, dan lainnya.
Karena hal-hal demikian malah justru membuat kita untuk mencari tahu hal-hal yang kira-kira bisa ditolerir, kita hindari, atau kita terima. Kita jadi bertambah pengetahuannya. Perbedaan itu sendiri mengharuskan kita bersikap terbuka toh. Ya, efek dari dari toleransi itu adalah membuat pikiran kita lebih terbuka, mudah beradaptasi, dan tidak gumunan kan?
Baca juga : Belajar dari Ensiklopedia
Berbuat baik itu nyata. Saat berada di luar negeri, saya merasa bahwa poin utama untuk hidup itu memang saling menghargai dan berbuat baik kepada sesama. Perdebatan toleransi jika hanya sebatas urusan agama itu hanya lingkup satu lingkup saja, kita memiliki prinsip masing-masing untuk memaknainya. Masih ada banyak urusan lain yang perlu menanamkan sikap toleransi kita di dalamnya.
Kok tumben ngomonginnya serius ya. Hihi iya. Lagi ikutan ODOP dari Komunitas ISB. TeMa hari pertama adalah tentang makna toleransi. Tema agak berat tapi seru-seru sih. Pantengin tulisan-tulisanku selanjutnya yaa.
Aku juga lagi tahap ngajarin toleransi nih sama anak. Apalagi disekitar rumah mayoritas orang Bali, hehe.. kalo main ke rumah mereka, kadang bang rasyiid masih suka bilang salam, haha..
Aku nggak kebayang deh kalo hidup di luar negeri itu pasti sikap toleransinya lebih kerasa ya. Salut nih buat warga +62 yang berjuang di luar sana. Semangat mbak Ghinaa..
Makasih untuk sharingnya 😘
Kalo lingkungannya mendukung mh gapapa mbak. di Bali kayaknya moderat banget kan ya lingkungannya. Justru karena keberagamannya di depan mata jadi malah lebih mudah untuk mempratikkannya.
Awalnya aku jg kikuk banget pas adaptasi di sana. Untng orang di luar sangat menghargai private. Sebagai org yg suka private gt sih aku suka malah. Nggak bnyk ngurusin urusan orglain. haha
Nah itu dia bedanya..
Warga luar yang menjaga privasi, dan warga +62 yang menjaga pendengaran buat menyerap segala macam privasi dan lalu menyebarkannya, haha..
Jauh beud ya bedanyaa..
Aku kadang kepikiran, dari anak2 aja di sana emang seragam gitu disiplinnya, do and don’tnya. Nah, pas nahla ikutan sekolah di sana emang pelajaran mendasar tentang privasi, disiplin gt emang udah ditanamkan, sementara toleransi apalagi urusan agama, yaa udah urusan masing-masing. Pertanyaannya, kenapa di Indo yg basically kaum beragama, merasa bahwa almost everything is public thing. huhu
Saya setuju dan sependapat banget
Anak harus diajarkan dan dikenalkan cara bertoleransi
Perbedaan adalah wajar, dan orang tidak harus menuruti keinginan dan kamaun kita.
Iya uda, bisa jadi bekal nih nanti buat ngajarin anaknya. hihi.
Toleransi menurut saya sangat diperlukan, mba. Dan sangat penting untuk diajarkan. Agar kita bisa menerima perbedaan. Ketika saya pindah ke Bali dan Korea kemudian menjadi minoritas tuh rasanya kaget diawal dan tentu awkward 😂 untungnya orang-orang di Bali dan Korea toleran dan respect pada pendatang 🙈
Saya jadi sadar kalau kita harus belajar toleran karena nggak selamanya kita menjadi mayoritas. Bisa jadi one day karena keadaan atau pilihan hidup, kita masuk ke bagian minoritas. Disitu kita akan paham bagaimana rasanya apabila ada seseorang yang nggak toleran ke kita. Pasti menyakitkan 😅
Oh kirain mbak Eno asli Bali. hihi. sepertinya saya kelewat tentang cerita asal mba eno ya.
Menjadi mayoritas selalu membuat kita merasa bangga tapi juga lupa bahwa ada kaum minoritas di luar sana. Kemarin, saat menjadi kaum minoritas di belanda, saya merasa sekali, betapa beruntungnya menjadi orang yang mampu beradaptasi dengan mudah dan menerima segala perbedaan yang ada. Karena ternyata tidak mudah, apalagi buat yang terbiasa menjadi bagian dari kaum mayoritas.
Berbicara mengenai keberagamaan, sejujurnya saya ingin merasakan bagaimana rasanya hidup di lingkungan seperti itu mbak. Skill Toleransi saya harus diuji. Maksudnya, saya dari kecil, SD-SMA satu kelas isinya muslim semua. Pun di kampus, satu angkatan di Prodi isinya muslim semua, tidak ada anak yang aneh2 pula. Relatif taat, lurus2 saja, padahal kalo ada anak yg liberal atau berfaham aneh yg lain pasti asyik ya diajak berteman n diskusi 😅
Oh ya, ini ceritanya saya sekolah di sekolah negeri. Bukan sekolah Islam. Tapi emang, kalo tidak salah di daerahku lebih dari 90% penduduknya muslim. Jadi wajar sih, aku tidak punya teman yg “beda” 😅
Coba keluar dari sangkar mas dodo, hihi. Saya juga baru merasakan bertemu dengan teman berbeda agama ya kuliah. Tapi belajar toleransi tidak hanya sekadar urusan agama kok. Bisa jadi pendapat mas dodo dengan pendapat teman lainnya juga berbeda, disitu letak toleransi kita diterapkan.
Bagus tulisannya, neng-
Memang baiknya toleransi diajarkan dari sejak dini, mengenalkan perbedaan agar fondasinya kuat.
Saya sendiri datang dari keluarga yang cukup beragam, etnis dan agama.
Untuk sebagian orang mungkin menganggap haram datang ke perayaan agama lain, tapi buat kami ini hanya sekadar bentuk silaturahmi, terlebih lagi karena yang merayakan adalah grand parents.
Menurut saya sendiri,
Paham akan toleransi juga membuat anak tidak mengeneralisasi, kalau yang asalnya dari daerah apa pasti orangnya begini, kalau yang darimana pasti begitu.
Ini penting, karena semakin dia dewasa, semakin banyak dia menemukan perbedaan.
Wah, berarti sudah diajarkan toleransi tanpa disadari ya teh. Iya, toleransi bagi satu orang dengan orang lainnya juga pasti berbeda. Saya juga masih menggunakan silaturahmi sebagai tujuan utamanya. Toh, keimanan masing-masing tidak cukup terpengaruh hanya dengan mengucapkan selamat dll. Tentu, pendapat yg lain akan berbeda.
Generalisasi akan stigma itu tantangan banget yaa teh. Padahal masing-masing individu jelas memegang nilai dan prinsip yang berbeda dengan yang lainnya. Semoga dimampukan utk mengajarkan toleransi dan menciptakan generasi yang peduli dan toleransi dengan lingkungannya.
Memang banyak sekali perbedaan ya mba dan kita harus pintar-pintar memberikan penjelasan ke anak tentang makna tolerans
Pertama kali aku merasakan toleransi saat masih anak-anak. Punya temen sekolah yang beda keyakinan. Dan itu jadi terbawa sampai sekarang.
Sejak dini memang harus sudah paham tentang toleransi, agar mengerti perbedaan, tapi bukan berarti perdebatan.
Bagaimana orangtua saat itu memperkenalkan perbedaan mbak?
Saya sendiri berasal dari lingkungan yang sangat homogen. Awal bertemu dengan lingkungan yang heterogen itu ya pas kuliah.Agak kikuk dan sempat culture shock jg sebentar. Ternyata tidak mudah, dan kerasa banget memang pikiran yang terbuka akan lebih memudahkan adaptasi kita dalam perbedaan tsb.
Bener banget ini ka Ghin, beberapa anak yang pernah aku temui saat mereka main pernah banget suatu hari nanya agama si anak baru. Lalu tiba-tiba dijauhi hanya karena dia berbeda. Mungkin ini cerita jadul banget, tapi nyata ada di sekitar kita. Aku selama ini juga ngga nyadar sih karena nggapernah punya temen yang begitu. Tapi masih adaaaa lho yang begini. Bahkan usia TK aja udah tau-tauan aja bullybullyan hanya karena ada yang “berbeda” dari mayoritasnya
sedih yaa. Dulu pas aku ke ponakanku jg nemuin hal kayak gitu. Tante rumah yang di pojokan itu agamanya kristen sendiri lho. ‘eh lah so what? agama itu urusan masing2 kan. Main mh ya main aja dek, ku bilangin gt. Itu anak umur paud lho padahal.
Kalau di luar negri memang lebih berasa lagi ya mba. Memang banyak sekali perbedaan dan kita harus pintar-pintar memberikan penjelasan ke anak tentang makna toleransi ini.
ini peer terbesar mbak kmrin itu. Alhamdulillah ada lingkungan yg sama seperti yg kita ajarkan jg, komunitas deGroemist yg ngadain pengajian anak, kegiatan main sama anak2 indo lumayan membantu pengenalan tauhid.
Toleransi memang harus di pupuk sejak anak-anak masih kecil ya. Biar saat dewasa mereka bisa lebih terbiasa dengan perbedaan dan menjaga Toleransi.
Wah teh ghina aku dot insight baru. Aku pribadi ngebangun fitrah iman dulu di anakku smp hari ini. Tahun ini usia 5 tahun sudah mulai nalar lebih besar br kukenalkan kergamanan, apalagi semenjak punya adik. Jadi tambah paham org2 berbeda
Menarik juga ttg penekanan membangun fitrah iman terlebih dahulu ya teh Ina. Memang, jika bekal sudah kuat, insyaAllah biasanya tidak akan mudah goyah. dan tantangn goyah nggaknya itu biasanya nemu hal yang bertentangan dengan yang diajarkan
Sejak dini memang sebaiknya diberi pemahaman tentang makna toleransi ini. Sebab hidup di dunia ini, penuh dengan banyak sekali perbedaan.
Wah selama di Belanda, tantangan terberat dalam hal toleransi bagi diri Mba, apa ya?
Tantangan terberat selama di belanda y, hmm mgkn seperti urusan ibadah, mau ngikut imam siapa aja ternyata meski sesama org indo udah beda juga. Urusan makanan juga gitu. Ada toleransi utk jenis makanan tertentu, ada juga yg strick bahkan utk yg sejenisnya. begitulah
halo teh ghina,
toleransi diajarkan pada anak mungkin awalnya harus dimulai dari ortunya dulu kali ya, hal sederhana aja misal gak rasis agama atau suku. dari sini anak akan mencontoh si ortunya sih. misal ortunya sering bilang…” iiih orang dari daerah itu mah suka a b c d ” hal kaya gini tuh pasti melekat di dalam diri anak selamanya sampai si anak sadar sendiri kalo itu salah. nah kalo gak sadar gimana? hehehe
Nah iya teh. Orangtua adalah contoh terbaik anaknya yaaa. Kalo nggak sengaja, yaa minta maaf dan diralat, hihi. orangtua jg ga mgkn ga pernah salah kan. Waktu itu sya jg pernah begitu teh, akhirnya saya ralat dan saya kasih penekanan dan sounding lebih, untuk menghapus ingatannya akan hal yang aku lakukan sebelumnya. Begitu mgkn kira2.
Toleransi sdah agak jarang ditemui di jaman milenial ini ya mba, tugas kita bgt nih sbg parent utk mengajarkan me anak sjak kecil
Hallo Mba Iva, keberagaman di sekitar padahal bekal banget tuh mbak buat mengajarkan toleransi. Orangtua bisa mengajarkan hal tersebut dimulai dari sikap toleransi orangtua itu sendiri. Yuk, menjadi orangtua yang toleran
Bener ini mbak, menanamkan sikap toleransi kepada anak. Apalagi anak itu tipenya suka bertanya-tanya, rasa keingintahuannya tinggi. Soalnye saya ada adik kecil sih, suka bertanya hehe