Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Pulang Kampung saat Adaptasi Kebiasaan Baru

3 min read

pulang kampung saat adaptasi normal/new normal

‘ Adek kapan pulang?’ pertanyaan itu semakin sering terucap saat Agustus sudah mulai berakhir. Aku tahu, mereka rindu. Tapi aku tak yakin, apakah dengan adaptasi kebiasaan baru (new normal), pulang kampung untuk melepas rindu harus selalu dijawab dengan temu?

pulang kampung saat adaptasi normal/new normal

Tidak selalu. Tapi kali ini kami mau tak mau harus pulang kampung. Masa penelitian suami diakhiri saja, karena tempat penelitian ditutup dan di kalsel sendiri jumlah penderita covid-19 paling tinggi sendiri se-kalimantan. Saat kami melakukan perjalanan naik pesawat, 29 Agustus tepatnya, jumlah penderita naik hingga 3000 orang se-Indonesia.

Baca juga : Ramadhan, Al-Qur’an, dan relijiusitas kita saat Pandemi

Bismillah, dengan segenap ikhtiar yang kami lakukan semoga kami terlindungi dari hal-hal yang berbahaya.

Sepanjang perjalanan pulang

Ini kali pertama juga kami keluar rumah dengan perjalanan yang cukup jauh. Sepanjang jalan, saya lebih sering memperhatikan maskernya anak yang masih cukup longgar, jaketnya dia yang suka dilepas pakai, dan face-shieldnya dia yang kurang tepat pemakaiannya, serta memastikan tangannya tidak ke area muka.

Baca juga : Mengenalkan masker pada anak

Melihat ke jalanan menjadikan fikiran saya frustrasi. Himbauan-himbauan untuk melakukan protokol sudah terpampang di mana-mana. Tapi pemakaian masker saja kebanyakan dilletakkan di dagu. Bahkan, di bandara saya melihat gerombolan tim yang melakukan sesi foto dengan kampanye pakai masker tapi mereka sendiri malah baru memakai masker sebelum difoto.

Fasilitas untuk mencuci tangan pun tak selalu sesuai prosedur. Ada airnya, namun sabunnya habis atau sudah dicampuri air. Ada sabunnya, tempat airnya tidak bersih atau malah tabung airnya tidak diisi kembali. Sedih sekali melihatnya.

Kendala Adaptasi Kebiasaan Baru di perjalanan

Sungguh, perjalanan jauh saat pandemi dengan menggunakan moda transportasi umum itu tantangan banget. Kita mungkin sudah berusaha sebaik mungkin untuk menerapkan protokol. Namun masih banyak juga yang mengabaikannya.

Meski himbauan untuk lebih baik di rumah aja, namun dengan berbagai kepentingan yang ada, kini transportasi umum pun ramai kembali. Di Kereta yang awalnya sepi, setiap berhenti selalu bertambah penumpangnya.

Menghadapi virus ini nggak bisa berjuang sendiri. Perlu kerjasama dan disiplin semua pihak, karena dia persebarannya sangat cepat dan tidak terlihat. Yang sudah kena aja banyak yang tanpa gejala. Makanya, kita harus menganggap kita dan siapapun yang kita temui itu sebagai suspek. Sehingga lebih mawas diri dalam keadaan apapun dan bertemu siapapun.

Kendala dalam perjalanan tentu banyak banget. Antara lain:

Susah jaga jarak

Jaga jaraknya dua meter lho bagusnya. Ih, susahnya minta ampun. Kita udah coba ngantri dengan berjarak, eh yang ada kita disalip. Atau yang depannya mundur-mundur. Kalau ada tanda atau ada petugas aja baru mayan teratur jaraknya.

Nggak disiplin maskeran

Saat ada di area wajib masker, iya sih pada makeran semua. But, ya itu tadi, pakai maskernya ada yang dibawah hidung ataupun di dagu. Saya sendiri masih suka kelupaan untuk nggak megang daerah luar masker, apalagi kalau lagi makan. Emang lebih baik di rumah aja ya.

Nggak selalu nemu tempat cuci tangan

Ya itulah sebabnya kita diminta untuk selalu bawa hand sanitizer sendiri. Meskipun flyer berseliweran agar masyarakat melakukan protokol, tapi fakta di lapangan memang tidak selalu optimal.

Bingung makan di kendaraan

Nah, ini nih kendala tersulit untuk dihindari. Otomatis di kendaraan kan tempatnya tertutup ya. Pas kemarin itu, tanyalah aku sama tim Kawal Covid-19 soal makan di kereta. Ya, tentu saja jawabannya nggak boleh ya, karena ruangannya tertutup dan ada AC pula. Haduh, habis itu langsug aja banyak baca-baca dan semprot-semprot hand sanitizer.

saya tanya ke kawal covid tentang makan di luar meski pake face shield, masih belum terlindungi katanya

Pulang ke kampung : Ada seperti tidak ada itu nyata

Nah, kan perjalanan kali ini kita mau silaturahmi ke rumah orangtua dan mertua. Kami berdua berasal dari kampung. Ketika niat banget bakalan tetep ngelakuin protokol dengan baik, karena kami adalah orang yang sudah melakukan perjalanan jauh dan berasal dari dareah zona merah. Lingkungan ternyata kurang mendukung.

Di desa saya dan suami memang tidak ada kasus yang terkonfirmasi. Jadi rasanya memang seperti tidak sedang ada yang membahayakan. Jarang sekali nemu orang-orang pakai masker. Kegiatan kumpul-kumpul juga masih banyak dilakukan.

Kita sebagai orang yang sedang pulang kampung itu beneran pengennya di rumah aja. Eh, susah juga. Tetap juga ada banyak tamu yang datang. Kita pastikan aja buat benar-benar melakukan jaga jarak dan pakai masker.

Baca juga : Kebersihan : Ikhtiar untuk mencegah COVID-19

Dan yang paling menantang untuk melakukan protokol ya anak kami sendiri. Dia pasti pengen banget main bersama kakak-kakaknya. Ya kami nggak bisa juga ngurung dia di kamar aja. Stres nanti yang ada. Akhirnya kami hanya bisa sounding untuk selalu menggunakan masker dan jaga jarak saat main dan mengawasi mereka bermain dari jauh.

Tips Pulang kampung dalam Adaptasi kebiasaan Baru

Nah, mengambil dari perjalanan kemarin, berikut tips perjalanan biar lebih aman dari coronavaganza ini ya :

  • Perbanyak diam; Keluarnya droplet kan kalau kita ngomong. Jadi mending kita perbanyak diam dan jangan mulai ngajak orang asing ngobrol.
  • Pastikan perut kenyang sebelum perjalanan; Karena makan di tempat tertutup itu persebaran virusnya lebih besar dan nggak tahu juga kondisi kebersihannya, jadi mending perut kenyang dulu sebelum naik kendaraan deh.
  • Hindari menyentuh barang-barang di tempat umum; kekep tangan sedekap aja mendingan deh. Dan kalaupun perlu, pastikan tangan kita tidak menyentuhnya. Gunakan sikut ataupun kaki untuk membuka pintu dan lainnya. Kalau perlu banget, habis itu langsung aja cuci tangan.
  • Taruh gawai di tas aja; Paling kan kita buka gawai buat cek media sosial doank kan. Mending bisa buat baca shalawat, dzikir atau memperhatikan hal-hal di sekitar kita.
  • Bawa perlengkapan makan dan sholat sendiri; Karena kita tidak tahu ada atau tidaknya virus di dalam tubuh kita, maka menggunakan peralatan sendiri adalah hal terbaik.
  • Pertahankan protokol demi orang-orang tersayang; Setelah semua langkah dalam perjalanan kita lakukan, sesampainya di kampung pastikan kita tetap konsisten untuk melaksanakan protokol. Berkumpul dengan orangtua ataupun saudarapun harus tetap pakai masker dan jaga jarak kalau mau ngobrol.

Sekian pengalaman pulang kampung kami kali ini.Semoga manfaat, kita semua sehat terjaga dan tetap sehat waspada. Aamiin.

Nah, tips perjalanan selama new normal menurut kalian apa nih?

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

21 Replies to “Pulang Kampung saat Adaptasi Kebiasaan Baru”

  1. Sayang banget ya kak, masih banyak banget masyarakat yang nggak sadar akan pentingnya memakai masker 🙁
    Terus yang antri sambil dempet-dempet itu juga, aku pribadi kurang nyaman sih. Aku hanya menyayangkan aja kenapa masih banyak ya yang kurang sadar akan protokol kesehatan ini :’)
    Tapi, akhirnya kak Ghina bisa pulang kampung dan bertemu keluarga besar ya. Syukurlah 😀
    Sehat selalu untuk kak Ghina dan keluargaa.

    1. Iyaaa, ni udah sampe jogja dan beli peralatan rumah tangga liat ke luar ya ampun itu angkringan2 pada rame bgt aja ternyata.

      Emang paling aman ya di rumah aja yaa.

      Lia sekeluarga jg sehat selalu yaaa. Tetep waspada 🤗

  2. wah makasih ya tips pulang kampungnya ^^
    aku juga kemarin2 sempet pulang sebentar ke kampung, aku memilih naik kapal karena aku bawa anak2, kalo cuma berdua suami sih aku better pilih pesawat xD
    di kapal ternyata ruame! aku balik lagi ke mobil, buka jendela aja. untung parkirnya di atas dan menghadap laut, jadi dapet udara segar, hihi..

    1. Iyaaa mbak. Emang paling enak nih kalo naik kendaraan sendiri yaaa. Kalo pake kendaraan umum ya begitu tantangannya. Yg pntg tetep waspada dan sering2 cuci tangan yaaa.

  3. Ini pulang kampung pindahan ya mba~? Pasti pusing banget ketemu banyak orang selama perjalanan. Saya pribadi saat nggak ada Corona pun paling kesal kalau antri terlalu berdempetan, apalagi saat sekarang ada Corona, seharusnya social distancing 1 meter kan 😞

    Thankfully mba Ghina sudah sampai di rumah, semoga sehat dan area tempat tinggal mba dalam keadaan baik semua. Kalau di kampung memang kebanyakan nggak pakai masker mba, mungkin karena jarang terpapar masyarakat luar, apalagi apabila kampungnya betul-betul pelosok seperti rumah simbah saya hehehe. Harapannya semua bisa sehat 😍

    Tips dari saya nggak ada mba kecuali patuhi protokol kesehatan yang ada itu sudah paling benar dan selalu waspada. Karena meski kita sudah patuh pasti banyak orang yang nggak patuh di luar sana 🙈

    1. Iyaaa mbak. Kmrn habis muter-muter ke kampung saya dan mertua dlu. Menengok makam bapak mertua yg ga bisa temui kepergiannya saat pesawat dihentikan karena pandemi kmrn. Alhamdulillah skrg udah stay d jogja utk memulai hidup baru lg.

      Iyaa, memang di kampung alhamdulillah masih aman. Jd emang bener2 kita sendiri sbg pendatang yg abis bepergianlah yg kudu bener2 praktekkin protokol yaa.

  4. Saya juga sempat di posisi mbak Ghina, ingin jumpa keluarga, tapi sedang pandemi. Gak jumpa, kangennya udah berat banget kalau dikiloin. Iya prihatin, masih banyak banget yang mengabaikan aturan padahal itu untuk kepentingan bersama. Sehat terus ya mbak Ghina

    1. Kita ga bisa mengkondisikan orang lain tapi kita yang bisa mengkondisikan diri kita sendiri yaa..

      Rindu itu emang berat yaaa. Tapi rindu demi org tercinta memang selalu identik dgn balasan pertemuan. Meski utk corona, dia meminta kita utk menjaga rindu dengan tidak bertemu malah.

  5. perjalanan jauh selama pandemi palingan ke Kebun Raya Bali, itu juga di cuma di temp sama maskeran aja pas bayar tiket masuk. Setelah itu ya bebas di dalem, ada yg kerumunan malah. Ya bismillah aja sih yg penting.

    Kalau di Bali sih alhamdulillah udah langsung di bikin wastafel gitu mbak, paling sering sih sabun abis di isi air memang, sampe dalem hati ini niat ngasih fasilitas nggak sih, hiih..

    staysafe ya mbak Ghina dan keluarga :*

    1. Aamiin Mbak Ki. Wahaha, iya itu salah satu ciri khas wong Indonesia yaaa. Sabun ato samponha kalo udah sisa dikit biasanya dikasih air biar masih bisa dipake. 😀

      Iya, bismillah sehat-selamat..

  6. Bener ya mba emang susah pas di rest area. Waktu itu bapak ibu saya jg terpaksa pulkam karena simbah meninggal. Udah deh gak ada mampir ke rest area biar aman dan di mobil dipenuhi makanan biar aman. Paling mampir untuk sholat aja dan ke kamar mandi masjid karena lebih sepi

    1. Iya mbak emang paling enak itu kalo ada kendaraan sendiri yaa. Jadi kita bisa memastikan segalanya. Kemarin kita galau karena pakenya kendaraan umum. Jadi kudu lebih ekstra pengawasannya.

  7. Saya kalo di area kerumunan yang lumayan banyak orang, suka maksa diri sendiri buat nahan untuk tetap pakai masker. Rasanya tuh ya risih memang pakai masker, pengennya dibuka aja teruh di dagu. Tapi, balik lagi harus tegas pada diri sendiri sih itu kuncinya :’)

    1. aku beberapa kali negur pedagang yang naruh maskernya di dagu nih mbak. Merasa perlu banget lho negur itu. Lah kmrn di al*amart gt kan. Udah ruangannya tertutup berAC pula, eh petugasnya pada ga pake masker bener terus ngobrol2. Kan serem yaaa

  8. Awal-awal covid emang cukup ketat dalam penggunaan masker. Namun sekarang, sedihnya, udah banyak yang menanggalkannya.. Apalagi skrng di tempatku udah sering orang ada acara hajatan pernikahan. Jadi ngeri kalo mau hadir ke sana, orang pada berkerumun dan jarang pake masker. Gimana mau pake masker, kan ceritanya lagi makan, hehe.
    Jadi serba salah, sih

    1. Halo mas dodo. Iya, kemarin pas musim nikahan orang2 tetep banyak yg datang yaa. Nah, iya kaaan, permasalahannya adalah pas makan. Pasti kan buka masker dan biasanya acara nikah gitu ya rame dan di ruangan terbuka. Hmmm, emang paling bener ya mending di rumah aja ya.

      Stay healthy yaa.

  9. Hai Mba Ghina,
    Terima kasih untuk tips-nya. Ini sangat membantu.

    Hmm siapa menduga ya, Covid-19 membuat segalanya berubah. Kebiasaan sehari-hari yang mungkin sudah dilakukan puluhan tahun harus berubah, beradaptasi dengan keadaan.

    Tidak mudah memang mengubah kebiasaan, sepertihalnya menggunakan masker setiap saat, menjaga jarak ataupun kebiasaan cuci tangan.

    Awal-awal pandemi memang hampir semua orang benar-benar mengikuti protokol, tepi semakin kesini kok semakin losss begitu saja ya, padahal jumlah kasus semakin menanjak.

    Sepertinya kita tidak diberi harapan lain, atau pilihan lain selain menjaga diri sendiri dan keluarga tercinta.

    Semoga kita semua, Mba Ghina dan keluarga selalu dalam keadaan baik dan bertahan dari Covid-19.

    Selepas pandemi, kita bisa pulang kampung dengan lebih menggembirakan.

    🙂

    1. sama-sama Mas Ardhi. Semoga ingat yaaa untuk dipraktikkan.

      Betul sekali, kebiasaan baru ini memang agak aneh pas awal-awal. Tapi sekarang udah 6 bulan berjalan, dan kurva indonesia semakin meningkat yaa. Seharusnya kita jadi terbiasa dan semakin mau untuk melakukan protokol tsb.

      Apa protokol semakin kendor ini karena merasa bosan juga yaa? Kalo udah gini memang hal yang bisa kita lakukan adalah melindungi diri kita terlebih dahulu seperti yang Mas Ardhi bilang.

      Semoga Mas Ardhi sekeluarga juga sehat selalu dan tetap bertahan untuk menghadapi hari-harinya. Perjuangan melawan covid masih panjang nih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!