Semalam, ketika makan malam berlangsung, saat itu pula kami yang awalnya berdiskusi tiba-tiba bersitegang. Obrolan zero waste yang sedang saya minati belakangan ini saya coba ceritakan dengan suami. Sayangnya respon dia bukan langsung bilang ; great, i agree dan semacamnya. Tapi dia langsung membuat saya diam dan kalah dengan pernyataan : Mereka itu pasti sudah selesai dengan urusan dirinya sendiri. Hmm?

Hai semua, di penghujung tahun ini, kontemplasi apa yang kalian resapi nih?
Kalau saya ini karena kebetulan tahun ini lebih banyak di rumah, mencoba untuk lebih melihat rumah secara keseluruhan. Dari segala kebutuhan, keinginan, hingga urusan printilan kecil mencoba untuk dilihat secara lebih mendalam.
Masalah yang paling krusial yang teraba ternyata adalah : SAMPAH.
Oh iya, saya jadi teringat, postingan saya di awal tahun ini pun adalah tentang sampah. Selangkah Menuju Bebas Sampah. Tentu perjalanannya memang tidak mudah dan banyak sekali memang tantangannya.
Perjalanan saya untuk menjalani hidup lebih minim sampah masih sangat sedikit. Padahal ternyata ada banyak yang bisa dilakukan. Seperti mencoba mengurangi sampah dengan membuat sendiri sabun, sampo, kompos, eco brick, dan lainnya.
Semalam, ketika makan malam berlangsung, saat itu pula kami yang awalnya berdiskusi tiba-tiba bersitegang. Obrolan zero waste yang sedang saya minati belakangan ini saya coba ceritakan ke suami. Saya cerita juga tentang seorang praktisi zero waste yang bahkan udah nggak pernah ke toko lagi karena semuanya dibuat sendiri.
Sayangnya respon dia bukan langsung bilang ; great, i agree dan semacamnya. Tapi dia langsung membuat saya diam dan kalah dengan pertanyaan : Orang itu pakai mobil nggak?
Obrolan ini semakin masif kami obrolkan karena saya yang memancing duluan. Semua terjadi gara-gara saya yang mendapat giliran buang sampah sendiri, melihat TPS langsung, dan keadaan Jogja kemarin yang sampahnya sempat sampai menggunung mendadak menjadi fokus saya.
Saya sedih, gelisah, tapi kok saya sendiri ternyata tidak begitu banyak perbuatan ataupun langkah untuk mengurangi keadaan tersebut.
Saya teringat ceritanya Francine Jay yang dikenal sebagai Miss Minimalis yang dia hanya mengumpulkan sampah satu botol doank selama 1 bulan. Lah, ini saya seminggu doank kok banyak banget.
Makanya saya minta kerjasama juga dengan pasangan untuk bisa mengurangi penggunaan plastik juga. Dia paham sih, tapi sering juga karena lupa jadi kalau belanja bawa plastik banyak dari jajanannya.
Tapi obrolan semalam ini menohok sih, pertanyaan dia tentang mobil maksudnya adalah mengaitkan gaya hidup dan kelas sosial.
Kontemplasi Zero Waste : Gaya Hidup dan Kelas Sosial
Coba dipikirkan baik-baik, apa para pedagang di pasar dan orang-orang yang ekonominya pas-pasan itu sempat mengurusi hal-hal seperti itu?
Itu adalah pertanyaan selanjutnya yang dia ajukan. ‘Mereka yang memikirkan tentang gaya hidup minimalis, menjadi vegan/vegetarian, hidup zero waste, dan pola hidup yang terkonsep itu hanya miliki orang-orang yang sudah selesai dengan urusannya sendiri!!!
Baca juga : Hidup Minimalis di Belanda
Makjleb sekali saya mendengarnya. Ah iya, ya. Tapi,… tapi.
Urusan plastik ini tidak hanya sekadar urusan plastik. Ini adalah hasil dari industrialisasi yang rantainya panjang.
Dulu, leluhur kita bisa hidup tanpa plastik karena semua didapatkan dari lahan mereka di depan rumah. Semua tinggal dipetik. Industrialisasi datang, semua terasa dimudahkan untuk didapatkan, tapi terasa tidak mudah saat harus merogoh kocek. Tapi memang, instan itu enak. Jadilah kita memiliki jiwa konsumerisme tanpa sadar.
Plastik itu dari berbagai macam produk. Berarti pula menyangkut perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik, ekspor-impor, dan kebijakan yang dibuat oleh para pejabat. Kalau mau gerakan ini masif, harusnya merekalah yang melakukan hal tersebut terlebih dahulu. Memotong rantai harus dimulai dari hulu.
Sampah juga tidak hanya sekadar dari plastik. Sisa makanan atau food waste kita ini juga kedua tertinggi di dunia. Aneh kan, negara berkembang dengan kondisi orang miskin banyak tapi kok food waste-nya peringkat kedua?
‘Lah, coba aja dilihat dari pola makan kita, kalau makanan masih banyak aja aku mulu yang ngabisin? Makanya nih perut jadi gede!’ Pernyataan dia terakhir jadi pengen ketawa tapi kok sedih karena emang benar.
Tapi tapi, apakah yang kita lakukan itu nothing?
Tidak Ada Hal Baik yang Sia-sia, tapi …
Tepat pukul 6.22 PM kami memutuskan untuk mengakhiri diskusi rasa debat tersebut. Pertanyaan terakhir di atas, apakah yang kita lakukan itu sia-sia, saya rasa tidak. Tentu tidak berhenti di situ.
Memiliki gaya hidup pilihan kita sendiri itu saya rasa perlu. Perlu sekali. Karena berarti hidup kita sudah terkonsep, kita memiliki tujuan, dan pilihan tersebut menjadi ritme dalam keseharian kita.
Bagaimana dengan pernyataan ‘Memiliki gaya hidup itu adalah benar bagi orang-orang yang sudah selesai dengan urusannya sendiri?’
Setiap kita tentu memiliki urusan masing-masing. Yang dimaksud dengan urusannya sendiri di sini berarti adalah ekonomi seseorang sudah terpenuhi, tinggal kita menjalani saja. Sementara orang tidak mampu, bahkan besok makan apa saja harus dipikirkan.
Hmm, i totally agree. Dari berbagai pembicara maupun orang-orang yang gemar menyuarakan tentang pilihan gaya hidup, diet, zero waste, minimalis, vegan/vegetarian, itu kelihatannya memang sudah selesai dengan urusan finansial mereka. Tapi, tidak dipungkiri juga bahwa mereka juga kadang memiliki masalah juga.
Jadi, selagi kita bisa menjalaninya kenapa juga tidak. Catatan pentingnya, tidak ada yang perlu dibanggakan dari menjadi seseorang yang memiliki gaya hidup tertentu, namun seharusnya memilih suatu hal seharusnya lebih bermata/peduli dan melihat lebih luas pada hal kecil yang tak tersentuh.
Diberikan kesehatan ditengah pandemi ini juga hal yang perlu sekali disyukuri. Untuk menjaga kesehatan tubuh, belajar dari ayah mertua dan ayah sendiri yang terkena penyakit karena pola hidup, akhirnya kami pun belajar untuk menjadi lebih aware terhadap apa yang dimakan.
Saya jadi teringat, belakangan podcast yang sering saya dengarkan itu adalah tentang sains. Hal yang dulu rasanya berat banget untuk dipelajari. Saat mendengar para ahli berbicara, saya menyadari meski kita bukan ahli, tapi kita adalah pelaku yang memberikan dampak pada alam, termasuk urusan makanan dan sampahnya.
Ah, semoga tahun depan segala pilihan berkesadaran ini menjadi pegangan yang lebih kuat dan tentunya diri ini menjadi lebih peka terhadap hal-hal kecil yang dihadapi.
Bismillah, semoga setiap hari esok kita lebih baik dan lebih baik lagi. Amiin. Tetap semangat belajar, investasi ilmu tak pernah mengecewakan!
Masalah sampah dan lingkungan ini, IMO mirip dengan masalah kesejahteraan suatu negara. Selain dimulai dari diri, juga harus ada sistem yang memfasilitasi juga. Mungkin kita bisa mulai dengan membawa kantong belanja sendiri untuk mengurangi plastik, tapi pasti tetap bakal ada bungkus makanan atau snack yang terbuat dari plastik yang tidak bisa kita olah sendiri.
Belum lagi untuk penggunaan bungkus kertas. Mungkin dianggap lebih ramah lingkungan karena lebih mudah diurai. Tapi proses pembuatannya tidak bisa dibilang ramah lingkungan juga.
Dan hal-hal yang seperti ini, ga akan kepikiran sama mereka yang buat makan besok aja masih was-was bisa atau nggak.
Serba-salah sih emang ya, mba… Huhuhu.
Kita juga nggak sampai kepikiran sejauh ini kalau nggak dipaparkan , nggak mau tahu, nggak teredukasi dengan baik ya Mbak.
Memang begitulah serba salah. Jadi semampu yg bisa kita lakukan saja sementara ini, sedikit demi sedikit mengurangi sampah sebisanya
Kesadaran lingkungan hidup harus menjadi “mindfulness”. BUkan hanya sekedar gaya hidup, tapi sudah jadi kebiasaan. Sulit sekali untuk bisa melakukannya. Terima kasih sudah diingatkan lagi.
Orang yang aware dengan gaya hidup zero waste adalah orang yang sudah selesai dengan urusannya sendiri? Hmm…could be. Atau mereka terpapar lebih banyak dan akhirnya aware tentang pentingnya gaya hidup zero waste.
Jadi, mungkin bukan tentang sudah atau belum selesai dengan urusannya sendiri, tapi lebih pada paparan edukasi tentang zero waste.
Bisa jadi kalau orang2 di luar sana teredukasi dengan baik tentang zero waste, mereka bisa berubah.
Bukan begitu?
Naaaah, edukasi kan ya mas. Org yg cukup secara finansial pun kalau gatau edukasi ttg sampah bakal lebih membahayakan jg, karena punya finansial cukup bisa beli ini itu lebih leluasa.
Aku bingung sebenarnya menanggapi ini Mba.. Misalnya dibatasi ga dikasi kantong plastik di minimarket, tp klo belanja di pasar orng2 masih pake plastik semua. Jd mungkin benar kalau ada kelas sosial terkait ini..
Tapi aku yakin, ga ada yg sia2. Usaha Mba Ghina sekecil apapun pasti berefek positif. Mungkin sampah yg dikurangi dlm sehari ga seberapa, tp coba diakumulasi dlm sebulan, setahun, pasti signifikan juga 😘
Iyaaa mbak. Masa cuma mall doank, aku malah kalo ke mall sengaja minta plastik karena plastiknya udah biodegradable, buat tempat sampah. sementara kalo ke pasar aku pake kantong belanja sendiri.
Memang masih belum signifikan, tp usaha kecil tetap akan memberi hasil ya mbak.. Cheers 🤗
Aamiin. Lagi2 berbbicara soal sampah memang ga akan ada habisnya, mau meminimaliskan sampah dengan berbagai cara, semoga saja terwujud ya.
YAng penting semoga saja ga lelah mengedukasikan tentang zero waste, makin sering dan bikin enek tandanya berhasil.
Dan semoga saja masyarakat pun punya kesadaran untuk memilih soal pilihan hidupnya. Harus ada dukungan semua pihak ya.
Duh, aku pun bingung kalau ngomongin sampah. Masalah yang dekat dengan kita. Terlebih gaya hidup yang bikin kita jadi penghasil sampah. Meski nggak disadari.
Terima kasih udah ngingetin lagi, mbak Ghina.
Wooow, sebulan cuma ngasilin 1 sampah botol, aku Amazed sih :o.
Ada benernya yang dibilang suamimu mba. Kadang aku ngerasa udh mau nyerah dengan segala sampah2 ini, ntah itu plastic waste atopun food waste. Ga Sampang memang utk ngerubah ini. Makanan kucing2ku aja masih dlm plastik. Lah klo disuruh bikin sendiri supaya ngurangin plastiknya, jujur aku emoh. Ga praktis soalnya.
Jd bisa jadi, masalah ini baru selesai ya kalo orang2nya udh ga ada urusan lain yg hrs dipikirin. Ato memang, hrs dr pihak pemerintah, pemilik pabrik ato orang2 yang punya kekuasaan untuk merubah cara pandang, ato memproduksi barang2 yang nantinya cepet hancur sehingga ga mengotori bumi kalo dibuang. Seperti penemuan yg dulu sempet hitz walopun aku ga yakin itu bakal diproduksi massal ato ga, plastik yg lgs larut saat direndam air, dan samasekali ga merusak kandungan airnya juga. Bagus kan kalo beneran bisa dibuat seperti itu.
Sudahlaah, yg ptg walo ga bisa membantu banyak, setidaknya usaha yg udh aku lakuin utk ngurangin sampah, ttp aja aku pertahanin. Mungkin kliatan sia sia, tapi setidaknya ada usaha 😀
Iyaaa mba fan. Sedikit yg bisa kita lakukan tentu akan membantu mengurangi kok yaaa. Memang nggak dipungkiri, masih ada hal2 yg membuat kita terlena pada kepraktisan dan kemudahan cara namun masih menghasilkan sampah. Tapi tentu kita juga bisa mengurangi sampah di aspek yg lain. Yaaa begitulah..
Happy new year ya mbak fani
Happy New Year Mbak Ghina dan semoga tahun ini membawa kebaikan bagi semua, termasuk mbak Ghina dan keluarga.
Termasuk salah satunya supaya suami mbak membuka pikiran sempitnya dan bisa melihat lebih luas . Sorry to say ya mbak, pandangan bahwa yang bicara soal zero waste atau lingkungan hanya orang yang sudah mapan urusan finansial saja, menunjukkan kesempitan cara berpikir. Maaf kalau tersinggung, tapi itu pendapat saya..
Saya maklum karena di Indonesia banyak yang seperti itu, tapi izinkan saya mengatakan dengan jelas-jelasan pandangan saya soal itu. Menjadi ramah lingkungan tidak harus menunggu sampai “urusan” selesai. Kalau ada yang mengatakan itu, berarti cara berpikirnya memang sempit. Kuno, usang.
Perlu diubah.
Btw, untuk menuju zero waste itu butuh waktu yang panjang sekali, tidak bisa serta merta merubah secara drastis karena melibatkan banyak faktor. Diri sendiri, pemerintah, perubahan pola pikir, perubahan gaya hidup, dan banyak lagi hal lainnya.
Jadi kalau mengatakan menerapkan zero waste bisa dalam setahun, itu juga mimpi dan mengkhayal. Terkadang kehidupan kita harus berinteraksi dengan orang-orang yang tidak peduli dan selalu mencari alasan untuk tidak menerapkan. Contohnya, ya apa yang suami mbak katakan tadi.
Perjalanannya akan berat dan penuh rintangan. Harus dimulai sekarang juga, dari diri sendiri.
Untuk menuju ke arah sana, butuh jutaan perubahan kecil dalam tingkah dan kebiasaan kita. Misalkan yang sederhana saja, buang sampah pada tempatnya, sudahkah dilakukan dengan benar? Menaruh tempat sampah di mobil, menolak menggunakan kantong plastik sekali pakai, membagikan baju tak terpakai kepada orang lain dan memakai secukupnya? Sudahkah? Tidak memanaskan mobl berlebihan? Memilih bahan kemasan yang mudah terurai, sudah dilakukan? Menghabiskan makanan di meja, sudahkah?
Setiap orang pasti punya urusan dan tidak akan pernah selesai urusan itu. Semua orang butuh makan dan cari nafkah, tidak berarti kalau sudah mapan tidak perlu cari nafkah kan? Makanya saya sebut bahwa berargumen kalau yang mengatakan hal ini urusannya sudah selesai, dia tidak berpikir jauh dan mau enaknya saja. Sorry to say..
Kalau menunggu urusan selesai, maka ramah lingkungan tidak akan pernah terjadi karena pada dasarnya, manusia itu egois.
Konsep ramah lingkungan dan kelestarian lingkungan harus dilakukan semua orang, kaya miskin, pandai bodoh, semua harus mau demi kebaikan bersama. Banyak hal kecil dalam kehidupan yang bisa diubah untuk menjadi lebih ramah lingkungan, meski belum mencapai zero waste.
O ya, menjadi miskin bukan berarti kewajibannya berkurang terhadap dunia. Menjadi kaya juga begitu, kewajibannya sama terhadap dunia dan lingkungan.
Mungkin ada baiknya suami mbak membaca gerakan “Friday for Climate”, di sana akan terlihat bukan cuma orang kaya (yang “urusannya” sudah selesai) yang berpikir seperti ini, tetapi bahkan anak-anak (dari negara kaya dan miskin) mereka berjuang untuk membantu perbaikan lingkungan di berbagai belahan negara. Karena mereka menganggap ini urusan mereka juga..
Kata siapa kalau sibuk nyari makan dan mengerjakan urusan perut kita tidak bisa berpikir soal lingkungan? Cuma orang males berpikir saja yang berpikir begitu. Justru selama mencari nafkah itu tindakan kita harus sebisa mungkin tidak merugikan lingkungan
Sudah seharusnya kita melakukan sesuatu (sambil tetap berjuang mencari makan buat perut sendiri) karena ini urusan kita juga, urusan yang harus coba diselesaikan..Bukan demi kita saja, tapi demi anak dan cucu..
Dan, salah satu tantangan terberat menyelesaikan urusan ini adalah berhadapan dengan orang-orang yang berkata bahwa “urusan perut” saya belum selesai, jadi saya tidak perlu berpikir tentang lingkungan, zero waste, dan segala macamnya..
Pikiran seperti itu harusnya dibuang ke tempat sampah saja…
Happy New Year.. Dan, maaf kalau tersinggung..
Wah waaaaah, terimakasih mas anton, mas anton mendukungku berarti nih. Akan kusampaikan nanti sama dia soal ini. Wkwkwk
Small things can give effect too ya kaaan bener. Aku yakin jg org2 yg mampu dan sudah slse dengan urusannya sendiri itu dalam artian finansial mereka jika nggak pengen dan nggak tahu ttg zero waste ya nggak bakalan melakukan hal tsb ya.
Happy new year juga mas anton. It’s okee, kita biasa berbeda dlm diskusi, malah lebih suka gini karena akan menambah wawasan yg lebih luas dan menerima perbedaan.
Menunggu postingan mas anton di tanggal 8 Januari 2021 nih 😆
Duuhh, terkadang saya merasa jenuh melihat sampah-sampah berceceran sembarangan di pinggir jalan, apalagi banyak tumpukan botol-botol plastik di tempat sampah. Sayang banget sih botol dan plastiknya yang masih bagus itu malah di buang percuma :((
Kebetulan saya menekuni bidang persampahan ini Mbak Ghina
Kita ngga harus bikin sendiri kok, beli aja product curah /isi ulang
Di semua kota besar ada product curah ini.
Trus tentang pedagang pasar masalahnya ada di regulasi
Wah bisa panjang lebar kalo kita ketemuan dan bahas sampah 😀😀😀
Saya jadi ingat suami yang pernah vegetarian sekitar 15 tahun an karena melihat bagaimana perlakuan produsen untuk mendapatkan daging mass production, yang lebih terkesan men”slaughter” , belum lagi ditambah dengan suntik rekayasa genetik yang membuat mereka lebih besar dari normalnya.
Soal sampah, saya pernah menonton discovery tentang pertimbangan lebih baik membeli kemasan besar atau kemasan kecil. Ternyata tidak disangka kemasan besar, yang kita pikir akan hemat, justru menghasilkan sampah yang sedikit lebih banyak.
Selama perusahaan tetap memproduksi produk kemasan, sangat sulit untuk menahan tingginya sampah ini. Sementara perusahaan terus memproduksi, tentunya ada demand dari konsumen sendiri.
Saya pikir, Indonesia dapat mencontoh negara maju yang sudah menerapkan pemilahan sampah dan tempat pembuangan sampah yang lebih teratur dan teregulasi. Adanya pemilahan sampah organik, non organik, kertas, botol dan barang elektronik di dalam rumah tangga.
Program lainnya adalah restaurant atau fast food menjual makanan yang masih tersisa dengan harga murah ketika akan tutup toko. Sehingga makanan tidak terbuang dengan percuma.
Masih banyak lagi best practices yang bisa dicontoh dari negara maju termasuk kebijakan dalam menangani serta mengelola sampah ini.
Beda rumah tangga, beda topik ya. Kalo rumah tangga kalian ngomongin zero waste lifestyle, saya dan suami malah sibuk ngomongin problematika pembalap cadangan yang ternyata mengalahkan anak bossnya di Formula One. :))
Setuju Mba, menurutku tidak perlu menunggu urusan dengan diri sendiri selesai, kita lakukan saja hal yang bisa dilakukan saat ini, sesedikit apapun itu, demi Bumi yang lebih sehat dan terawat. Hal kecil yang pastinya berarti besar. Semangaaat, Bismillah 2021 lebih baik.
Iya mba Hani.. Bismillah, sedikit demi sedikit lama lama menjadi bukit kan yaa.
halo teh ghina, kadang kalau sama suami aku juga suka agak bersitegang…maka bener2 harus cari momen dan kondisi perut yang tepat. pastikan suami kenyang dan tenang.
ga akan ada habisnya ngmgin sampah. suamiku jg rada senada deh sama teh gina.
beberapa waktu lalu aku pernah berusaha keras supaya suami juga rada less waste gitu, tapi ya daripada berbusa ngmg terus akhirnya pake action juga. aku nyediain kantong belanja, ke warung bawa kantong, beli makanan bawa tempat makan dsb. at least, walaupun belum selesai bgt sama diri sendiri, ya lakukan yang bisa dilakukan hehe. semangat
Urusan sampah ini rasanya memang serupa rantai gajah. Pannang dan berat. Sesederhana mengubah kebiasaan masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya saja masih menjadi masalah besar.
Bagi saya, memulai zero waste nggak masalah. Dimulai dari mengelompokkan sampah saja dulu. Pelan. Bertahap. Bertahun tahun.
Kalau bahas soal zero waste, jujur msh susah bgt diterapin di rumahku. Sehari aja sampahnya banyak. Aplg sebulan. Aku jg bingung cara ngatasin fenomena ini. Hiks
Selamat Tahun Baru Mbak Ghina, perkara sampah ini memang tiada akhir, perlu konsistensi dan kekuatan mencapai tujuan supaya bisa mengurangi dan mengelolanya secara signifikan. Kalau Saya belum Zero waste, tapi mengurangi nya lumayan lah, masih progres
Saya juga paling nggak suka kalau ada orang yang nggak menghabiskan makanannya.
Makanya memang saat makan itu ambillah secukupnya, kalau memang kurang kan bisa nambah, daripada banyak-banyak di awal tapi akhirnya terbuang.
Aku pun merasa makjleb dengan pertanyaan suami Mbak Gina. Tapi memang itu faktanya. Akupun mengalami. Aku punya prinsip hidup minimalis, bergabung grup donasi/hibah/barter barang kupikir semua nya Minimalis. But the real? Not exactly bahkan bisa dibilang 90% itu orang dengan less financial : ‘) meski begitu gapapa banget kita tetep menjalani prinsip hidup ini karena bisa ditularkan ke circle kita yg pastinya lebih potential menerapkannya
Zero waste ini kalau diturunkan bisa jadi kebiasaan baik, tapi memang bukan hal yang mudah misalnya tiba-tiba bisa sejalan langsung breekk gitu zero. Butuh kesabaran memang, dan harus SemangatCiee karena usaha tidak akan mengkhianati hasil
Masalah sampah memang sudah menjadi masalah dunia, seandainya semua kota bisa seperti Surabaya yang bisa mengolah sampah dengan benar betapa indahnya Indonesia
Sekarang ini aku dan suami malah lebih banyak masak ga banyak biar habis dan ga jadi sampah. Soalnya kalau makanan banyak terbuang malah mubazir. Apalagi kita lagi banyak berhemat.
Andai semua orang lebih aware tentang masalah ini ya, susah banget ya ngajak.orang lain aware ttg sampah, bahkan orang terdekat kita , aku juga mulai menguranhi dikit-dikit , paling ngga mulai dari diri sendiri, mudah-mudahan jd contoh buat suami dan anak-anak di rumah
Zero waste ini harus ada mata pelajaran khusus yang harus diajarkan di sekolah. Bukan hanya bagian dari suatu mata pelajaran. Sadar atau ga sadar, anak-anak kita kelak yang akan merasakan dampak sampah (sampah apapun).
Juga harus diajarkan juga pada orangtua. Selama pengalaman saya, orangtua yang lebih ga peduli dengan sampah yang nyatanya akan berdampak bahaya bagi anak-anak nanti.
Sampah, adalah pekerjaan rumah yang tiada ujungnya, karena tiap hari kita menghasilkan sampah 🙁
Aku juga kepikiran sampah makanan ini semenjak pandemi pasti tambah banyak luar biasa, belum lagi plastik dan tempat makan karena kemudahan bungkus pesen online. Huhuhu. paling tidak dari kita dulu ya keluarga terkecil ngajari kurangi sampah walau belum bisa zero waste