Setelah kemarin melewati nishfu sya’ban, tradisi menyambut ramadhan semakin terasa. Saya jadi teringat hutang yang terus menghantui, mereview buku salah seorang teman sekolah dulu. Dengan judul Silang Budaya Muslim Perkotaan.
Sekilas Tentang Silang Budaya Muslim Perkotaan
Membaca buku ini kembali membuat saya menemukan hal-hal yang relate dengan berbagai kehidupan sebagai muslim perkotaan atau muslim urban. Beberapa poin penting dengan relasi hibriditas dan muslim urban mencoba dipaparkan oleh Cahyono dengan berbagai pendekatan. Namun, dengan tempat penelitian tertentu, yaitu Kota Semarang, membuat saya paham bahwa memang hibriditas di satu kota dan lainnya tentu akan berbeda. Tergantung pada budaya dari tempat yang kita singgahi.
Baca juga : Tips Menikmati Membaca Al-Qur’an dengan Khusyuk
Kota Semarang sendiri merupakan daerah yang subur. Dahulu, Ki Pandan Arang sebagai utusan kerajaan Demak datang ke Semenanjung Pulau Tirang (sekarang Mugas dan Bergota) lalu ia mendirikan pesantren. Di lahan sekitarnya, ia tanami banyak tumbuh pohon asam yang masih jarang (jawa: arang) pada masa itu.
Karena itu orang-orang kemudian menyebutnya asam arang, lalu lama-kelamaan diucapkan jadi Semarang.
Sebagai salah satu daerah di pulau jawa, Semarang juga dari dulu telah memiliki hybrid culture. Penduduknya terdiri dari etnis imigran, keturunan Cina, Arab, dan dan berbagai etnis yang ada di Indonesia. Beberapa tradisi dan peninggalan bersejarah yang masih terawat di sana menunjukkan hal demikian. Termasuk untuk budaya muslim sendiri, karena adanya penyebaran islam dari Arab, (Pandan Arang berasal dari Arab yang memiliki nama asli Maulana Ibnu Abdullah) sehingga nuansa relijiusitas di sana masih lumayan terasa.
Semarangan menjadi salah satu bentuk budaya lokal yang tercipta dari pergumulan budaya dan beragam etnis yang tinggal di sana. Nuansa budayanya pun lebih kental dengan islami dan tradisional. Dari cara ibadahnya teridentifikasi corak keagamaan lebih menonjol pada amaliah yang diajarkan Nahdlatul Ulama dibandingkan dengan yang lainnya.
Kaum urban yang datang ke Kota Semarang tidak mengalami pergumulan yang signifikan terhadap budaya lokal semarang yang ditemukan. Spirit Jawa Pesisiran menjadi bagian dari budaya lokal yang banyak dipegang teguh oleh masyarakat. Meski bergaya hidup lebih sederhana namun tetap berorientasi pada kemapanan.
Dengan kentalnya spirit jawa pesisiran, beberapa budaya keislaman terutama tradisi saat menyambut Ramadhan menjadi momen penting bagi masyarakat Kota Semarang. Terdapat beberapa adat yang biasa dilakukan masyarakat sana untuk menyemarakkan Ramadhan yang mulia tersebut.
Tradisi Keagamaan Masyarakat Semarang Menyambut Ramadhan
Sebagai salah satu bulan islam yang sangat dinantikan oleh setiap muslim, Ramadhan menjadi sebuah momen berharga. Maka, untuk menyambutnya pun umat muslim di berbagai belahan dunia memiliki tradisi tersendiri. Muslim urban di Kota Semarang pun ternyata turut meramaikan budaya tersebut. Dari beberapa budaya masyarakat Semarang yang saya baca di buku ini, ada 3 tradisi ramadhan yang cukup unik dan tradisional yang mampu meningkatkan relasi sosial masyarakat Semarang.
Tradisi Dugderan
Dugderan adalah tradisi tahunan milik masyarakat Semarang. Tradisi ini seperti ini pesta rakyat. Pesta kebahagiaan untuk menyambut Ramadhan ini biasa ramai dengan arak-arakan masyarakatnya, festival kuliner, serta pertunjukan seni yang hadir untuk menyatukan berbagai lapisan masyarakat.
Tradisi Dugderan ini bermula pada tahun 1881 saat Kota Semarang berada di bawah kepemimpinan bupati KRMT Purbaningrat. Setelah melaksanakan shalat Ashar, suara meriam meluncurkan di halaman pendopo kabupaten. Suara meriam inilah yang menjadi asal mula dugderan. Bunyi dug yang berasal dari bunyi bedug dan der yang berasal dari meriam.
Baca juga : Oase Haul Guru Sekumpul
Dulu, masyarakat melakukan arak-arakan sembari membawa Warak Ngendog, ikon hewan bertubuh unta, berkaki kambing dan berkepala naga, diiringi pentas seni serta tari Semarangan di Balaikota. Acara ini langsung berada di bawah kawalan Bupati Semarang. Sementara dugderan berlangsung, para ulama dan habaib berkumpul di Masjid Besar Kauman untuk membahas tentang permulaan puasa dengan menggunakan dasar ilmu perhitungan (ilmu falak).
Kini bunyi meriam tersebut sudah berganti dengan bunyi sirine saja. Arak-arakan dan pementasan pun lebih beragam. Selain sebagai cara penyambutan jelang Ramadhan, Dugderan juga menjadi bagian pemersatu masyarakat Kota Semarang.
Warak Ngendog

Seperti sudah saya paparkan di atas, Warak Ngendog adalah ikon hewan yang dibawa dalam acara Dugderan. Sebenarnya, agak aneh ketika saya membaca keterangan tentang Warak Ngendok ini. Kepalanya berbentuk naga, badannya seperti unta, tapi kakinya empat seperti kambing. Dan yang lebih ajaib lagi, hewan ini bertelur alias ngendog??
Well, ini hanya sebagai sebuah ikon ya. Dulu Warak Ngendog sendiri terbuat dari kayu, bambu, dan sabut kelapa. Kini banyak menggunakan bahan-bahan seperti kertas karton, gabus, dan lainnya. Dan bentuknya juga ternyata mengalami beberapa perubahan.
Warak Ngendog klasik memiliki gigi yang tajam, telinga tegak atau tanduk, mata melotot, leher dan keempat kakinya tertutup bulu yang terbalik dan berwarna warni dan memiliki ekor panjang. Tentu saja ada endhog yang berada antara apitan kaki-kakinya.
Selanjutnya bentuk tersebut telah mengalami modifikasi. Perubahan terjadi di bagian kepala yang lebih mirip kepala naga seperti naga Cina atau Jawa, dan moncong yang mirip buaya, bertanduk, dan kulit bersisik. Sementara Warak Ngendog yang ada sekarang ini bulunya tidak terbalik dan kulitnya tidak bersisik.
Warak Ngendog ini tentunya memilik makna filosofis. Menurut H. Kholid yang mengaku punya sanad pada Warak Ngandogm menyatakan bahwa kulit yang bersisik, gigi bertaring, serta muka seram adalah representasi dari nafsu manusia yang harus dikalahkan dengan puasa. Kalau telur tentu saja sebagai simbol pahala. Jika orang mampu bersikap wirai atau warak dan mampu mengalahkan nafsunya sendiri, pahala adalah ganjarannya.
Gebyuran
Kampung Bustaman adalah satu kampung di Kota Semarang, menjadi tempat membudayanya tradisi Gebyuran. Gebyuran adalah tradisi menyambut bulan Ramadhan, seminggu sebelum puasa, masyarakat kampung Bustaman merayakannya dengan mengguyurkan air alias Gebyuran.
Kiai Kertoboso Bustam adalah seorang yang membuka Kampung tersebut. Mendapati tanah dari hasil warisan Belanda karena telah mendamaikan orang Tionghoa dengan Belanda pasca Geger Pecinan abad-18. Karenanya, kampung tersebut bernama kampung Bustaman.
Awal mula Gebyuran sendiri terinspirasi dari kebiasaan Kiai Bustam memandikan anak-anaknya di sumur tua dekat rumahnya. Masyarakat melestarikan budaya tersebut kali ini bukan lagi tentang simbol kesucian, namun lebih dari itu, menjaga dan melestarikan budaya yang bisa mempersatukan seluruh masyarakat adalah yang utama.

Kesimpulan dan Saran
Muslim Urban kota Semarang menjadi representasi bahwa budaya tetap harus lestari dan terjaga meski gempuran zaman kian meruntuhkan esensi budaya itu sendiri. Tradisi ramadhan yang masih rutin dijalankan menjadi bukti representasi tersebut.Tulisan dari buku ini memang secara spesifik membahas tentang keberagamaan muslim urban pasca reformasi, which means, sampai buku ini terbit (2020). Jadi menurut saya, akan lebih menarik jika kemudian mencoba menelaah perkembangan masyarakat yang polanya lebih banyak mobile termasuk juga dalam menyikapi agama dan budaya itu sendiri.
- Judul buku : Silang Budaya Muslim Perkotaan
- Penulis : Cahyono
- Penerbit : ELSA Press Semarang
Lucu warga ngendognya.. hahaha… Kayaknya kalau lihat fotonya itu juga ada perpaduan berbagai budaya yah.. Mirip sama Barongsay, tapi dipadukan dengan unta dan ayam (ngendog).. wkwkwkw keren…
Baru tahu saya ada tradisi tradisi unik seperti ini. Bahas terus dong Ghin yang kayak gini. Menarik banget buat disimak.
Warak, mas. Bukan warga. 😄
Benar memang, ini perpaduan tiga budaya, Tionghoa dan Arab juga. Ada yg bilang sih warak ngendog ini hadiah dr warga Tionghoa, tp kurang valid katanya.
Memang agak aneh jug awal aku baca ini, cuma secara kesakralan skrg mgkn ga bgtu bnyk org yakin yaa, lebih ke menjaga tradisi aja.
Wkwk, iya mas. Semoga nanti ada ide lagi bukan bikin tulisan beginian ya, edisi ramadhan maybe.. 😁 ini pun review buku yg udah lama bgt ditunggu temen reviewnya. Hoho
Yang namanya tradisi memang sudah seharusnya dilestarikan agar generasi selanjutnya bisa meneruskan. Sayangnya gak semua paham ini penting dan perlu
iya, Bli. Generasi sekarang ni kayaknya sudah dimanjakan dengan hal yg instan, jadi untuk hal kayak gt lebih ke ikut2an aja, jarnag yg tahu maknanya..
Ramadhan udah menanti di ujung pintu.
Duh, indaaahh banget kalo bahas tradisi Ramadhan ya
Apalagi di SMG, yg indah dan menyenangkan bgt tradisinya
iya nih mba nurul.. sudah seminggu lagi ya nggak kerasa.. Aku juga jadi kangen tradisi ramadhan. Surabaya tradisinya biasanya apa mbak?
Saya baru tau ada tradisi ini, waah tradisi tiap daerah memang unik-unik dan juga punya khasnya masing-masing.
iya, mbak raneey. Menarik juga ini untuk diulik. Kalau pandemi gini nggak tahu ada perayaan nggak yaa… soalnya mengumpulkan orang banyak
Seru ya mbak. Sayangnya di sini nggak ada tradisi2 tertentu untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan
Cuma pernah dan selalu dengar istilahnya tapi belum menyaksikan langsung
Suatu saat I will report them too
Gebyuran ini menarik ya. Mandi rame2 gitu kah? Soalnya baru tau jg. Aku udah lama ga ke semarang
Selama ini baru nyadar ada tradisi-tradisinya sendiri hahaha.
Ternyata asal Semarang berasal dari kata Asam Arang ya mba, hahaha. Baru tahu aku. Emang ya kalau kita telusuri satu persatu asal kata dari sebuah kota membuat kita lucu, kayak Pontianak berasal dari nama hantu Ponti yang mempunyai anak, haha. Btw dulu waktu aku ke Semarang aku ada dikasi wayang Warak Ngendog, sempat bingung juga sih makhluk apa itu. Namun, itu cukup unik menurutku perpaduan dari beberapa binatang.
wah seru2nih tradisinya, klo di sini mah biasa aja
ramadhan2 ya ramadhan aja