Ghinarahmatika.com – Saat saya tinggal di Mlangi, Jogjakarta, saya memiliki tetangga yang juga seorang pembuat kain dengan metode dyeing. Orangnya sudah cukup sepuh, sembari memberi warna dan merebus kain, anak-anak kampung di sekitarnya turut menemani si Bapak yang dengan senang hati ikut menemani mereka ngobrol sembari bekerja.
Saya yang sambil menemani anak main, ikut juga ngobrol tentang pewarnaan dan penjualan kain tersebut dengan Bapak tersebut. Ini kali pertama saya tahu model kain dan cara pewarnaannya.
Ternyata cara mewarnai kain yang dilakukan secara manual itu penuh dengan sentuhan tangan, banyak air, dan kalau pakai pewarna seperti yang dilakukan si Bapak, pewarnanya lumayan banyak juga.
Jadi kepikiran, pakaian yang sedang aku pakai juga berarti jangan-jangan prosesnya begitu ya. Mungkin nggak ya ada pewarnaan kain yang menggunakan bahan alami? Minim air? Memberdayakan masyarakat?
Tenun : Cara Perempuan Suku Dayak Iban Bercerita dan Merawat Budaya Lewat Kain dan Alam
Dengan belajar, berpikir dan mengupayakan hal-hal di sekitarnya, ternyata bukanlah hal yang mustahil bagi manusia untuk menciptakan suatu produk yang sangat bermanfaat. Bukan hanya untuk kalangan sendiri, tapi juga memikirkan kelestarian alam juga.
Ibu Margareth, seorang keturunan suku Dayak Iban yang merasa gelisah dengan kain tenun dan regenerasinya mencoba mencari jalan keluar. Tenun adalah salah satu bentuk karya dari budaya suku Dayak Iban yang melibatkan banyak tradisi sakral di dalamnya. Tapi semakin ke sini semakin minim generasi yang tertarik untuk melakukan kegiatan menenun dan bahkan tidak tahu bagaimana prosesnya.
Keresahan pun berbuah manis. Ia berhasil menciptakan sebuah perkumpulan. Kegiatannya pun beragam. Dari mulai workshop, pelatihan, hingga penjualannya pun berjalan dengan baik. Ternyata meski dengan proses alami, panjang, dan tentunya harga untuk tenun itu tidak murah, tapi ada pangsa pasar tersendiri untuk penjualannya.
Proses pewarnaan alami sediri tidaklah mudah. Karena membutuhkan berbagai macam tanaman dengan proses pewarnaan manual. Hal ini tentu saja bermuara pada teguhnya pendirian mereka untuk tetap menjaga kelestarian alam dan konservasi lingkungan.
Menenun dan Pesan Nenek Moyang Suku Dayak Iban

Dahulu kala, menurut Ibu Margareth, menenun adalah kegiatan wajib yang perlu dikuasai perempuan suku Dayak Iban. Perempuan yang mau menikah, maka ia harus sudah menguasai cara menenun ini. Selain itu, orang yang mengadopsi tenun orang lain juga tidak hanya langsung serah terima saja. Konon, tenun itu memiliki napas yang bisa memilih siapa yang layak untuk memilikinya. Syarat adopsi itu jika kainnya dibawa oleh orang yang mau, ikut tidur bersama dan jika mimpi yang tidak baik, maka tenun itu berarti tidak berhak ia adopsi.
Dalam proses menenun ini ada yang namanya Nakar. Nakar adalah proses perminyakan dengan pemberian protein pada benang dengan tujuan mengikat warna sehingga lebih awet. Nah, dalam proses Nakar ini ada hal-hal magis yang tidak boleh dilewatkan oleh penenun. Seperti :
Saat menstruasi dan hamil tidak boleh Nakar. Jika ada orang yang meninggal tidak boleh Nakar nanti benangnya bisa mudah putus. Saat mau menenun juga beberapa polanya tidak boleh sembarang, inspirasi biasanya lewat mimpi baik. Benang yang sudah dinakar harus dijaga tidak boleh ditinggalkan. Selain itu yang mencampur ramuan Nakar harus yang sudah sepuh, usia 60 tahun.
Sampai saat ini meski kain tenun sudah diperjualbelikan, mereka tetap merawat tradisi tersebut dengan menyelipkan pesan-pesan tertentu kepada pembelinya.
Cara Suku Dayak Iban Melestarikan Budaya Menenun dan Merawat Alam
Dari sejak dulu, lewat kegiatan menenun, nenek moyang suku Dayak Iban senantiasa melestarikan budaya sembari menjaga alam. Buktinya berbagai bahan untuk pembuatan kain tenun, terutama bahan pewarnanya menggunakan bahan pewarna alami.
Jenis kain tenun seperti Pile, Sidan, Songket, dan Pilih banyak menggunakan jenis tumbuhan untuk pewarnanya. Tumbuhan tersebut seperti : rengat akar, rengat padi, kepapak, engkerbau, mengkudu, sibau, tengkawang, durian, buah pinang, kemunting, pepaya. Dll.
Warna biru biasanya didapat dari rengat padi. Warna coklat kehitaman dari biji buah pinang. Warna hijau dari kulit pohon mundu. Dll.
Hayo, dari nama-nama tersebut banyak yang familiar nggak, guys?
Hebat banget ya. Salut sama suku Dayak Iban yang masih melestarikan budaya dan tanaman ini dengan baik. Bahkan mereka melestarikannya dengan menghadirkan Kebun Etnobotani di dusun Sadap, desa Menua Sadap, kecamatan Embaloh Hulu, kabupaten Kapuas Hulu.
Tidak hanya tanaman pewarna saja yang ditanam di sana. Tapi juga tumbuhan obat, tumbuhan bumbu masakan rempah, tumbuhan buah-buahan, perkebunan, kekayuan, hingga tumbuhan komoditas seperti aren, bambu, dan tengkawang juga mereka tanam.
Para penduduk siapapun boleh menggunakan dengan sadar dan secukupnya untuk kebutuhan mereka. Meski demikian mereka juga memiliki kewajiban untuk turut serta menjaga tanaman-tanaman di sana tetap lestari juga.
Bermain dengan Warna-Warni Alami dari Kain Perca dengan Dyeing dan Ecoprinting
Selain budaya dan adat masyarakat yang turut serta menciptakan suatu karya sembari menjaga alam. Kita sebagai masyarakat pada umumnya pun tentu tidak kalah saing untuk juga bisa berkontribusi dan berkreasi dengan kain-kain yang meski tidak menenun.
Lewat kain perca seperti yang dicontohkan oleh teman-teman Cinta Bumi Artisans misalnya. Saya sendiri merasa bahwa bisa jadi ini hal yang paling dekat dengan keseharian kita. Tiada hari tanpa busana, bahkan pariwara busana semakin ke sini kian ramai, lemari kita pun pasti banyak busana tertumpuk.
Sementara yang sudah usang, paling ujung-ujungnya kita jadikan keset. Sudah!
Padahal ya ternyata ada banyak kreasi yang bisa kita buat dari pakaian yang sudah tidak layak pakai tuh. Salah satu dengan membuat ecoprinting dan dyeing.
Metode dyeing menggunakan kain produk berbahan kain dan serat alami seperti sutra, tencel, rayon, cupro, serat nanas, kain kulit kayu, heritage cotton, dan kain sejenisnya. Jenis dyeing dan printingnya kini sudah beragam juga ya. Dengan memadukan teknik pewarnaan tradisional dan kontemporer akan menghasilkan hasil karya yang luar biasa. Meski dari kain-kain sisa ternyata bisa disulap menjadi hasil yang cantik dan menawan
Proses pembuatan dyeing dan ecoprinting ini sepenuhnya dilakukan secara manual penuh dengan sentuhan tangan dari mulai menaruh berbagai bahan, melipat, mengikat kain, hingga menggodognya. Makanya proses ini disebut juga dengan connecting printing.
Kesimpulan
Ternyata kain-kain itu memiliki makna yang mendalam, ya. Proses pelibatan hati, regenerasi, kreasi, dan tentunya alam seharusnya tak pernah lepas dari pertimbangan kita sebagai manusia saat akan menciptakan karya. Karya kita tanpa bumi itu bukan apa-apa, jangan serakah apalagi merusak bumi dengan ugal-ugalan.