Mengunjungi tempat baru, apalagi untuk waktu yang cukup lama, akan sayang sekali jika melewatkannya begitu saja. Tanpa difoto tanpa diceritakan. Sudah di bulan terakhir dan saya baru sadar akan hal itu. Telat banget, tapi yaudah nih saya mau cerita aja sekarang ya.
Nah, saya sedang tertarik sama makanan khas sini, terutama cemilan yang dikenal dengan sebutan Wadai dan tentu saja budaya yang membarenginya yang dikenal dengan sebutan Mawarung. Kedua hal tersebut tentu saling terkait satu sama lain. Penasaran kan sama Wadai dan Mawarung? Yuk baca sampai klaaar ya.

Perjalanan Mengenal Wadai dan Mawarung
Seminggu setelah saya diajak suami pindah ke Kalimantan Selatan, saya diajak kondangan. Ternyata jauh banget sampe 4 jam, nekat motoran dengan jalan bermodalkan google map itu pun nyasar pula. Sepanjang jalan, yang saya lihat para pedagang menjajakan kue yang dimasak langsung di atas wajan. Fresh from the oven.
Saya cukup penasaran sebenarnya, tapi perjalanan nggak berhenti, nih. Udah telat banget soalnya. Mana perjalanan kami di atas teriknya sinar matahari. Berhenti di indomaret sekali doank, cukup.
Ada beberapa pertanyaan yang terlintas dalam benak saya. Kue itu pasti makanan khas sini, kenapa kok membuatnya langsung di atas wajan dengan bantuan alat khusus gitu? Kayak gorengan tapi kok nggak ada wujud sayurannya? Warnanya kok merah kayak gula merah. Wah, saya jadi keingetannya sama kue cucur buatan Bibi saya malahan.
Saya fikir di tempat kondangan nanti saya bakal menemukan makanan tersebut. Hmm, sesampainya di sana, karena berhubung kami telat dan acara sudah selesai dan bahkan pengantinnya aja udah hilang riasannya, saya nggak lihat makanan tersebut.
Ya, sepertinya harapan saya untuk segera mengetahuinya sudah pupus. Mungkin nanti bisa tahu juga sih. Tapi kan penasarannya sekarang. hihi
Pengantinnya ini kebetulan teman dekat suami. Jadi berhubung suami lagi riset di sini, kami pun menginap di rumahnya, kami juga diajak untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Dan tentu saja kami dikenalkan dengan beberapa adat dan budayanya urang Banjar.
Keesokan harinya ketika akan pulang, ternyata manten anyar tersebut mau menemani kami pulang juga. Kebetulan searah jalannya ke tempat mereka tinggal nanti. Akhirnya sepanjang perjalanan pun kami diminta berhenti untuk mengunjungi beberapa situs dan tempat-tempat legendaris.
Baca juga : Oase Haul Guru Sekumpul
Hingga ketika lelah sudah datang dan cuaca yang terik sekali, pasangan tersebut pun mengajak kami untuk mampir dulu di sebuah warung. Warung ini tidak ada bedanya dengan warung yang biasa kita temukan sebenarnya.
Ada banyak sekali gorengan di sana. Ada banyak pula menu makanan beratnya. Karena belum kenal beberapa makanan yang disajikan, saya lebih memilih untuk mencicip sate ayam dan goreng pisang kepok. Goreng pisangnya enak banget beneran. Kriuk gitu. Harumnya dari wijennya menyeruak nikmat sekali saat digigit.
Mengenal wadai dan Mawarung
Teman yang memandu kami menceritakan cukup banyak hal tentang budaya orang Kalimantan Selatan atau biasa disebut Urang Banjar. Dari penuturannya, saya kira beberapa jenis makanaan yang ada di sana tidak begitu beda dengan jajanan pasar pada umumnya, dan beberapa budayanya pun hampir saja. Cuma istilahnya saja yang berbeda.
gambar dari sini
Pertama, ngomongin tentang makanan. Kue-kue dan gorengan yang terpampang di meja tempat kami singgah itulah yang namanya wadai. Mau rasanya manis ataupun asin tetap namanya wadai. Nggak ada pembedaan. Kalau setahu saya kan yang manis namanya kue, yang asin ya namanya gorengan. Eh, tapi goreng pisang juga manis yaa, haha.
Nah, kue-kue ini sebenarnya ada beberapa yang nggak asing buat saya. Ada kue pisang dibalur tepung (cuma beda cara bikinnya), bingka, kelemet, goreng, pisang kepok, kue misro kalau versi sunda mah (amis di jero alias kue yang terbuat dari singkong terus dalamnya dikasih gula merah terus di goreng) apem dan onde-onde tentunya.
Ada yang unik juga nih, dan ini yang membuat saya penasaran juga sepanjang jalan tadi. Ternyata itu namanya wadai/kue cincin. Sayangnya pas itu nggak kedapatan kue cincinnya karena udah habis.
Nah, bentuknya wadai ini nggak kayak cincin sih. Wadai ini bentuknya ada yang lingkaran ada juga yang kotak. Tapi di dalamnya itu ada bolongannya empat. Mungkin yang kayak cincin itu dilihat dari bolongan tersebut.
Setelah beberapa bulan berlalu, saya jadi mendadak ingin ke warung yang menjajakan wadai-wadai tersebut. Mata saya langsung tertuju pada wadai cincin tersebut. Susah dapatnya ternyata, karena yang enak biasanya adonannya dibuat dari Amuntai yang merupakan tempat awal adanya wadai cincin tersebut.
Saya coba beranikan mencicipinya kali ini. Ternyata memang lumayan enak. Tapi ada yang perlu diperhatikan nih, rasa wadainya masing-masing penjual itu beda kelezatannya.
Iya sih beda tangan bakal beda hasil. Tapi ini beneran beda banget. Ada kriuknya yang kres-kres banget. Ada pula yang basah banget (basah karena minyak).
Wadai-wadai ini banyak disajikan di warung dan pasar. Jika di pasar-pasar tampilannya akan seperti jajanan pasar pada umunya. Disusun beraneka macam jajanan dengan pengklasifikasian tertentu. Pengunjung hanya datang untuk membeli lalu berlalu pergi.
Sementara itu, jika makanan tersebut ada di warung, akan beda lagi ceritanya. Seperti yang kami lakukan saat bareng sama temennya suami pas di cerita di tulisan awal. Kita nongkrong di warung tersebut, ngobrol ngalor ngidul sambil makan wadai-wadai dan makanan berat yang ada di depan mata.
Nah, inilah yang dinamakan tradisi Mawarung ala orang Banjar.

Urang Banjar ternyata suka juga dengan budaya kumpul-kumpul gitu. Mampir di warung sebentar, ngumpul, ngemil, sambil ngobrol gitu ternyata emang biasa. Bahkan kata suami, setiap abis jumatan itu bapak-bapak tidak langsung pulang ke rumah, tapi langsung menyerbu warung sekitar masjid.
Budaya mawarung ini mungkin seperti budaya ‘wedangan’ ala orang Jawa menurutku. Ngumpul di pagi hari sambil ditemani teh dan cemilan, jarang sih langsung disajikan makanan berat, sambil ngobrol-ngobrol. Nah, bedanya kegiatan mawarung ini biasa dilakukan di sebuah warung yang sudah menyajikan berbagai minuman, cemilan hingga makanan berat.
Meski saat ini kegiatan tersebut dikomersialisasikan dengan hadirnya kafe-kafe mewah ataupun restoran, namun warung di sini tetap menjadi tempat yang nyaman bagi Urang Banjar untuk mawarung. Bisa jadi kelas ekonomi juga mempengaruhi, namun kehangatan dan keakraban yang ditemukan di warung tentu akan berbeda dengan di kafe. Kalau di kafe atau restoran nanti namanya bukan mawarung lagi kan yaa?!
Tentu saja budaya Urang Banjar ini patut dilestarikan. Komunikasi dan keakraban akan selalu bisa direkatkan dengan makanan dan minuman. Apalagi jika sajian yang dihidangkan adalah makanan tradisional khas daerahnya.
Hallo non,
Wadai ini bentuknya mirip Butter cookies Monde atau Bretzel Jerman ya, ngga persis banget sih,
Penasaran gimana goreng nya, cetakannya kaya apa gitu.
Kalau tradisi para Bapaknya mewarung, gimana dengan ibu-ibunya?
Anw, makasih sharingnya, jadi mengenal tradisi orang Banjar sekarang. 🙂
Persis bentuknya doank yaa Mbak. Tapi rasa dan komposisinya tentu beda. Saya jg blm sempet lihat lebih dekat. Di pasar sini lihatnya udah jadi doank tinggal beli. Kata org sini, adonannya aja khusus di buat di Amuntai tmpt asalnya wadai ini. Utk menjaga orijinalitas kali yaaa.
Nah ini. Emang kebanyakan yg mawarung nih bapak-bapak yaa. Kalo di jogja pun ada angkringan yg penjualnya asal kabar itu ya yg dateng kbnykn laki-laki. Eh tp di jabar sendiri ada angkringan nggak teh?
Gatau kenapa perempuan kurang ikut meramaikan mawarung, namun biasanya penjualnya justru perempuan kbnykn. Mgkn stigma yg didapat tdk bagus kali ya dr masyarakat atau perempuan emang lebih suka beli cemilan di warung lalu dimakan di rumah. Saya gt soalnya.. Karena ga nyaman aja bnyk laki2 jd bawa jajanan ke rumah aja.
Tapi kalo dalam rombongan jalan2 kayak kita kmrn itu ya laki-laki perempuan ramai sih.
bentuknya mirip-mirip monde butter cookies ya kak, hihi..
itu perjalanan 4 jam, lah nyasarnya nambah berapa jam lagi coba, sampek telat gitu, wkwk.. anyway, aku sama suami juga pernah gitu sih, jadi sebuah hal yg wajar 😀
Eh iyaaa, ya Allah ga kefikiran amaa monde butter cookies yaa. Siapa kira2 yg meniru nih? 😁
Nambh sekitar sejaman mbak. Salah pilih jalan jg. Ada yg lebih alus eh malah kita nemunya jalanan deket pabrik batu bara. Sepanjang jalan ngili denger suara batu2 yg keinjek motor dan ngeri kendaraannya truk semua yg ditemuinya..
Haha nyasar mah biasa. Aku bisa lebih maklum kalo suami yg nyasar karena dia bisa menemukan jalan pintasnya sendiri, kalo aku sendiri yg nyasar ujung2 pasti nanya orang..
Bagus sekali. Informatip
Keknya ini dulu deh kak, hihi.
Hhha.. betul betul.. sama nih, aku juga pertama kali ke bali, terus harus keluar sendiri duh nyasarnya keseringan, wkwk..
Wah baru tahu camilan wadai-wadai ini mbak. Penasaran rasanya macam mana, hihihi
Bentuknya lucu ya. Bener bgt tradisi mawarung kudu dilestarikan, jd membayangkan seandainya disini ada tradisi mawarung pasti warung2 di sekitar omsetnya bisa nambah meski hanya seminggu sekali. Hhh
kayak cucur mbak. udah pernah nyoba cucur blm ?
Masa di Banjarnegara nggak ada warung mbak? Saya kira hampir di setiap sudut kota dan desa itu pasti ada warung deh. Mawarung kan cuma istilah aja yg biasa dipake buat orang2 yang suka ke warung dan ngobrol plus makan di warung.
Sekilas aku melihatnya seperti kue cucur. Tapi sepertinya beda..hehhehe
Ndak bisa bayangin kondangan naik motor selama 4 jam dengan cuaca yang panas. Rasanya aku belum pernah kayak gitu. 😀
Baca tradisi mawarung itu jadi inget kebiasaan orang aceh yang selalu menghabiskan waktu untuk ngopi. Pagi-pagi warkop sudah ramai. Setelah sholat jumat dan sholat isya, warkop juga ramai sekali. Kalau di jawa yaa biasanya ke angkringan. ngobrol banyak hal sampai larut malam. Rasanya memang benar yaa mbak, orang indonesia itu suka ngumpul-ngumpul dan makan-minum bersama 😀
ya kaaan mas, kayak kue cucur yaa. Kirain aku doank yg ngiranya kayak cucur, haha ini rasanya juga kaya kue cucur lho. cuma kalo cucur lebih gurih karena dikasih santan yaa, ini mah nggak katanya. Bikinnya jga satu-satu ya kalo cucur mh.
Eh, iyya kayak angkringan yaa kalo di Jogja mah. Tapi, mesti yang kebanyakan nongkrong di sana itu mas-mas dan bapak-bapak yaa. Obrolan mereka suka seru gitu kelihaatannya.
Seru ya kak kalo tinggal di tempat baru gitu. Kita jadi kenal budaya setempat. Apalagi di kalsel dengan beragam budayanya yg masih kental ya
Di Bali juga kebanyakan jaje (jajan) nya manis-manis, dan biasanya sering di pake buat sembahyang, hihi..
Di Jawa juga mirip seperti ini mbak. Tapi apa yah namanya kalo ga salah berkatan. Hahaha. Makanan emang selalu bikin suasana jadi hangat yaaa.
Aduh ini pasti enak ya kak. Saya aja sama soto Banjar seneng banget, jadi penasaran beli wadai, tapi di Jawa apa ya ada? Selalu deh kalau baca info kuliner daerah lain, bawaannya pengen jalan-jalan huhuhu. Semoga pandemi ini segera usai biar bisa ikut mawarung sama urang Banjar
saya juga suka mbak sama soto banjar. memang aslinya pecinta soto-sotoan, jadi lgsg target pertama sesampainya di sini itu ya soto banjar..segerrr karena jeruk nipisnya ternyata beda
Gimana mbak? Kerasan ga disana? Hehe.. ibuku asli Banjarmasin nih tapi sudah beberapa tahun ga kesana, jadi kangen.. hehe aku suka nasi kuning dan soto Banjar kalau disana.
ada bumbu di nasi kuning sini yg khas banget mbak. aku belum nemu bumbu apa tapi namanyaa…
Kalau di samarinda jajanan pasar yang biasa dibeli sama mbahkakungnya kafa tiap pagi tu ontok-ontok mba
macam mana ontok ontok itu meh? beda provinsi udah beda lagi aja namanya yaa
Ya ampuuun mba, jauh juga yaaa 4 jam naik motor. Aku bisa ngebayangin panasnya Kalimantan sih :o.
Makanan Banjar yg aku tau cuma soto Banjar :D. Belum pernah denger ttg wadai cincin ini , penasaran sih pengen coba :). Dulu sempet makan di restoran yg menjual makanan khas Banjar di Solo, tp aku ga ada liat kue ini. Aku selalu suka nyicipin kue2 khas daerah Tiap sedang traveling kemanapun :). Seeprti apapun rasanya, yang penting nyoba dulu 🙂 .
Orang Indonesia itu pada dasarnya memang suka berkumpul sih yaa :). Waktu aku masih di Aceh, orang2 sana juga sukaaa banget kumpul di kedai kopi biasanya. Ngopi dulu, ngobrol, sambil icip2 cemilan kecil :D. Bisa dibilang warung ato kedai kopi , apalah itu, jadi pusat pertukaran informasi kecil2an di antara sesama warga ya mba 😀
Iya mbak, panasnyaaaa ampunilaaaaaah. Anakku seringnya pake kaos dalam aja kalo di rumah nih saking panasnya.
Aku juga tahunya soto banjar doank mbak. Ini kue khas gitu, jadi yg bikin pun dari daerah tertentu aja. Nanti bisa dicoba mbak kalo ke banjar lagi. Ada bnyk yg enak dan sesuai lidah kok.
bener mbak, Kedai kopi atau warung itu biasanya jadi tempat pertukaran informasi, atau malah tempat penyebaran informasi yaa, hihi. Yang pasti emang biasa rame2 gitu kalo ke warung tuh yaa