Sedari kecil, pengenalan tentang Baju baru pada saat Lebaran merupakan suatu ciri khas. Sesiapapun menyambut lebaran pasti dengan riang gembira. Saya juga mendapati kenangan tersebut. Meski dulu baju baru bukan karena beli, tapi dibikinkan Ibu, tetap selalu kami ditunggu-tunggu.
Malam ini, di malam takbir yang tidak seramai biasanya. Ternyata juga tidak sesepi seperti yang diekspektasikan. Takbiran di sini masih berkumandang seperti biasanya, suara mercon pun banyak mewarnai langit malam ini.
Menjelang lebaran esok, berita minggu ini bahkan menyuguhkan tentang riuhnya pertokoan dengan berjibunnya orang-orang berbelanja. Membeli baju baru serta segala hal yang berkaitan dengan lebaran masih merasa perlu untuk diramaikan.
Baca Juga : Kenangan Baju di Hari Raya
Kita sedang dalam situasi Pandemi. Ketika sebagian harus berjibaku dengan banyak orang terkena virus (tenaga kesehatan), kita diharuskan untuk membantu mereka dengan di rumah aja. Nyatanya, ramadhan tidak menjadi refleksi yang berpengaruh dalam meredam berbagai hal yang kiranya harus ditahan.
Baju Baru dalam Normal Baru
Konsep menggunakan baju berawal dari Sebuah hadits yang meminta kita untuk memuliakan hari Raya dengan menggunakan baju yang bagus. Jadilah, setiap lebaran, kita seperti melihat para model yang sedang berada di atas catwalk dengan baju barunya.
Dengan ‘new normal‘ yang digalakkan untuk berdamai dengan pandemi ini, apalah daya kita harus siap menjalankannya. New Normal diartikan dengan siap menjalani kehidupan dengan berbagai protokol untuk mencegah penyebaran virus. Gaya hidup sehat, jaga jarak, menggunakan masker, dan sering cuci tangan.
Maka di lebaran kali ini, kita tidak bisa melakukan hal yang biasa kita nikmati saat lebaran. Karena kita lebih baik di rumah saja. Jadilah, tidak ada pulang kampung, salaman, kumpul keluarga besar, makan bareng-bareng ataupun pameran baju baru.
Saya dan keluarga kecil akhirnya kini terperangkap di Kalimantan Selatan, mencoba menikmati puasa dan lebaran kali ini dengan lebih prihatin. Tanpa baju baru, maupun kupat dan opor buatan ibu di lebaran versi normal baru.
Ah, semakin dewasa, memang seharusnya semakin banyak hal nggak penting yang nggak difikirkan , karena kita masih memiliki banyak hal yang perlu difikirkan.
Ditengah niatan untuk menjadi seorang yang lebih minimalis dan keadaan yang memprihatikan seperti saat ini, saya merasa perlu untuk mengubah banyak kebiasaan dalam hidup.
Merubah kebiasaan dalam pola pikir terhadap baju, misalnya.
Baca juga : Ramadhan dalam pandemi dan tempat baru
Dengan keadaan hanya tinggal di rumah saja. Tentu, pakaian -pakaian formal kita banyak tergelatak tak tersentuh. Karena ya emang mau ke mana, kan di rumah aja. Yaudah, paling nyaman kan ya menggunakan daster, baju piyama, kaos, dan sarungan.
Jadilah, fokus terhadap baju pun berubah. Memilih yang bahannya paling nyaman, adem, dan tidak panas tentu saja merupakan pilihan tepat.
Lalu, lebaran beli baju baru, emang mau kemana? Saya mengubek-ubek pemikirannya Francine Jay, Mari Kondo, ataupun Joshua Becker, lalu menghitung jumlah pakaian dan barang yang ada di rumah, hanya demi pengakuan bahwa saya masih dalam kriteria seperti yang mereka ajarkan.
Saya lupa, bahwa setiap kita memiliki kebutuhan dan kegiatan yang berbeda. Dan, kita tidak perlu memaksakan untuk sama dengan apa yang diajarkan. Kita yang harus tahu pada kebutuhan kita yang sesungguhnya.
Balik lagi ngomongin new normal, pada akhirnya saya kira hal-hal tersebut adalah pola yang memang seharusnya kita terapkan. Selain ternyata berdampak pada makhluk lain (seperti kita lihat, sekarang hewan-hewan merasa bebas untuk bekeliaran di jalanan), kita juga merasakan alam yang begitu sehat dan sejuk. Kita saja yang terlalu serakah, padahal hidup hanya numpang!
Dari baju saja, ternyata pengaruhnya sangat besar dalam perilaku berkonsumsi. Selain belajar hidup lebih prihatin, lebih menerima, lebih peduli, kita juga ternyata diajarkan bahwa hidup memang benar-benar sementara.
Oh iya, belakangan juga gegara kasus di India, lalu saya pun diingatkan kembali bahwa pemilihan baju juga harus melihat pihak-pihak yang membuatnya, bahan apa yang digunakannya, dan bagaimana keberpihakan terhadap alam dan manusia diterapkan dalam memilih baju tersebut.
Baju sedikit, dengan cuci-kering-pakai, bahkan tidak membuat kita merasa kurang. Lalu, kenapa harus berburu untuk hal yang ada penggantinya mengalahkan hal yang tidak ada penggantinya (baju vs keselamatan diri)?
Sebenarnya, kita puasa menahan apa, sih?
ini bener banget sih mbak. semenjak corona dan banyak di rumah saja, banyak waktu buat mikir. ternyata hal2 yang selama ini buatku penting jadi terasa biasa saja. gak jajan di luar gapapa itu, gak nonton bioskop, gak pijet, gak mati juga , masih sehat2 saja haha.
selama ini aku berusahan memanjakan diriku dengan hal2 yang kusukai, tapi pada akhirnya jadi sadar bahwa bukan hal2 di luar aku yang buat hatiku senang, tapi akulah yang menciptakan kesenangan itu hehehe buset sudah, tunggu corona baru nyadar yak 😛