Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Lifehack Untuk Hidup Merantau

3 min read

lifehack untuk hidup merantau

Kok, capek ya hidup merantau. Pindah ke tempat yang baru lagi. Adaptasi lagi. Harus beli-beli alat dapur lagi. Nanti boyongannya, pasti ribet lagi. Heum.

Keluhan Ghina tiap boyongan

Adakah yang merasakan hal demikian pemirsah sekalian? haha, tos dulu yuk. 

lifehack untuk hidup merantau

Well, hari ini saya dan suami habis beberes rumah total karena kita akan boyongan lagi. Saya kira ini akan memakan waktu cukup lama. Tapi eh tapi, waw banget. Hari ini beberes terlaksana hanya dalam hitungan jam. Adzan dhuhur berkumandang, akhirnya packing pakaian, milah barang, dan beberes rumah pun sudah selesai. WOW!

Masih membekas dalam ingatan 2 tahun yang lalu saat kami mau boyongan dari jogja. Waduh, hampir tiga hari itu pilah-pilih barang yang akan dibuang/disumbang atau yang kami pakai lagi. Tanpa teman yang menawarkan garage sale, anak-anak pondok yang udah ngebooking duluan, dan para tetangga yang siap menerima lungsuran kami, kami pastilah akan lebih repot lagi untuk berbenah boyongan ini.

Semua tentu saja bukan proses sederhana. Pengalaman memang sumber guru dalam hal ini. Nggak semua hal kemudian akan dijalani dengan lika-liku yang selalu sama. Pasti sih akan selalu ada hal baru yang dipelajar. Dan, boyongan sebagai titik akhir ketika harus meninggalkan suatu tempat, pasti menyisakan kesan sendiri bagi yang menjalaninya.

Baca juga : Sensasi hidup Nomaden

Pilihan hidup merantau sendiri sudah sangat menantang. Saya yang tadinya nggak bisa masak enak, manajemen waktu amburadul, dan nggak nemu passion yang saya banget, merasa menemukan semua itu dalam perjalanan hidup saya sebagai perantau.

Jogja sebagai tanah rantau pertama mengajarkan saya tentang banyak hal. Kebanyakan sih memang hasil trial and error gitu. Yang akhirnya saya menemukan passion saya ketika bertemu dengan pedoman hidup lebih berkesadaran seperti minimalis dan zero waste. Memang belum sepenuhnya melakukan dua hal itu secara sadar sih, tapi sedikit-sedikit sudah lumayan teraplikasi sih dalam praktek keseharian.

Apa saja yang harus disiapkan saat merantau?

Kenali kebutuhan yang benar-benar esensial

Inget ya, kebutuhan. Jadi inget, dulu saya awal merantau malah yang dibawa hadiah kado yang kebanyakan adalah alat pecah belah dan frame foto. Cuma kepake sebentar banget. habis itu malah merasa bingung untuk dikasihkan ke orang, tapi juga nggak punya tempat untuk menyimpan. Kapok!

Mengenali kebutuhan bisa dimulai dengan membaca kebiasaan dan kegiatan masing-masing. Karena, biasanya dari kebiasaan itu akan tercermin apa saja yang memang esensial. Abaikan dulu deh beli ini itu hanya karena lucu. Nanti kalo boyongan lagi kan menyesal sendiri kalo perlu dibuang. 

langkahnya : tuliskan segala hal yang dibutuhkan, seleksi, beli yang paling dibutuhkan saat pikiran masih segar.

Selalu ada opsi kedua/shortcut

Barang yang kita butuhkan biasanya adalah kebutuhan kamar mandi dan dapur. Dua hal ini penting karena sehari-hari kita nggak bisa lepas dari keduanya. Kamar mandi juga denk, tapi kan kamar mandi kebutuhan esensialnya sedikit.

Untuk kamar tidur, kasur dan bantal semua orang memang nggak bisa lepas. Tapi lemari? Bisa lho diakali dengan koper atau malah kardus. Untuk dapur, piring-piring bisa aja kita dapatkan dari hadiah beli sabun cuci dan jar-jar cantik dari beli sambal atau selai. Masak kukusan, bikin kue, atau lontong, memanfaatkan magic jar bisa lho. (pelit sama irit beda tipis yaa, haha)

Tips-tips tadi benar-benar saya lakukan sih. Suka amaze sendiri. Kok ternyata ada cara ini bagaimana mereka menemukan cara ini ya, bikin hal yang lain bisa bikin pake cara begini begitu nggak ya?

Gaya hidup vs kebutuhan hidup

Sering dengar orang bilang ‘yang mahal itu gaya hidup, kebutuhan hidup mah murah-murah aja’. Well, ada benarnya juga sih pepatah ini. Tapi ya kebutuhan hidup juga mahal kok kalau menyangkut biaya pendidikan, rumah, asuransi dll.

Tapi kan kebutuhan hidup yang utama biar kita bisa menjalani hidup ya pemenuhan energi, dari makan. Nah, sayur itu makanan yang menyehatkan banget, tapi murah lho, lauk pauk juga murah kok. Sesekali beli daging mah hitungannya murah kan ya. Kalau sering-sering kan nggak baik juga.

Nah, kalo beli cemilan itu sedikit-sedikit kelihatannya murah, tapi nggak bisa sedikit kalau beli, yang jadinya ya mahal. Kedua timpang sih. Biaya untuk kebutuhan utama seringkali malah kalah sama kebutuhan sekunder.

Baca juga : Membangun Kebiasaan Sehat Perempuan

Ternyata ada untungnya juga nih sebagai orang yang nggak suka ngemil. Dulu pas kecil, kalau dikasih uang sama orangtua, saya nggak kepikiran ngemil. Pemborosan dan nggak mengenyangkan. Jadilah saya memilih ngaso pulang ke rumah dan uangnya ditabung. Yang saya pertimbangkan saat itu adalah tingkat kekenyangannya. haha

Pola begitu masih terbawa sampai sekarang. Not bad sih hasilnya. Lebih memilih air putih karena emang nggak suka manis-manis, lebih suka sayur karena murah, sehat dan banyak porsinya, lebih milih bikin cemilan sendiri karena hemat dan menyenangkan. Meski, ya nggak selalu begitu juga kok kalo lagi bosan mah langsung ke luar atau pesan abang gojek sih biasanya.

Nah, sebuah kebahagiaan merantau yang ketiga ini adalah saya cukup pakai sekilo gula pasir dan setengah kilo tepung tapioka, dan nemu ide food prep tanpa kulkas. Yeay!

Butuh kulkas?

Butuh nggak butuh sih. Eh, tapi sebenarnya untuk mempersingkat waktu dan memperpanjang usia makanan itu saya yakin butuh banget. Lalu bagaimana kalau keadaan belum memungkinkan?

Sejauh ini saya melakukan riset kecil-kecilan. Entah itu googling ataupun proses trial and error, hampir kebanyakan memang butuh kulkas sih. Karena cuma sebentar tinggalnya dan nggak mau ribet harus jual atau cari orang yang mau nerima lungsuran, akhirnya saya menemukan beberapa kiat. Antara lain:

  1. pilih sayuran yang tahan lama, seperti : wortel, kol, labu siam, kembang kol, brokoli, terong, pare,  dll.
  2. Masak sayuran berdasarkan jenis yang mudah layu/tidak tahan lama.
  3. Untuk sayuran yang tidak tahan lama seperti kangkung, daun sop,  sawi dan bayam taruh ditempat yang berair. Sementara itu, untuk tauge dan kecambah langsung taruh di wadah tertutup dengan dikasih tissue di alas dan atasnya sayuran (ini bisa tahan sampe 3 hari lho).
  4. Hanya bersihkan ketika akan dimasak.
  5. Taruh di tempat yang kedap udara/tertutup;

Jujur, masalah saya dalam hal masak ini adalah lauk. Karena pasti nggak tahan lama. Jadi, selalu siap cadangan telor yang banyak. haha


Sepertinya sekian sih beberapa tips yang saya pakai selama menjalani hidup merantau. Eh, ada satu lagi sih sebenarnya, beli barang bekas. Tapi itu cuma saya lakuin waktu di Belanda. Kalau di Indonesia saya nggak begitu berani. Kurang tahu juga ada nggak yang jual barang bekas yang masih bagus untuk perkakas rumah tangga gitu. Ah, tapi ribet juga nanti kalau mau mengosongkan rumah lagi.

Eniwei, ternyata seru juga sih hidup merantau itu. Lebih belajar mandiri, lebih banyak pengalaman dan lebih banyak coba-coba tentunya, haha. Meski nggak serunya juga banyak. Bagaimanapun ya kudu tetap bersyukur. Ya kan?

Nah, kalau kamu apa nih tipsnya untuk hidup merantau? Yuk, share tips di kolom komentar.

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

17 Replies to “Lifehack Untuk Hidup Merantau”

  1. Baca postingan ini jadi ingat zaman masih hidup nomaden. Barang yang dibawa ya seadanya aja…paling yg dibutuhkan itu peralatan dapur trus karena gak menetap juga jadi nggak terlalu beli banyak barang. Paling yang dibutuhkan aja seperti Kulkas. Itu juga akhirnya rempong pas mau pindahan lagi hehe

    1. Kalo nanti boyongan ke tempat yang deketan mah nggak papa ya mbak. teman saya kemarin dibawain kulkas, kasur, dan peralatan dapur dari jawa timur ke jogja. saya juga kaget, ternyata bisa dikirim pake kereta api.

      Struggle dalam kehidupan ngontrak itu yaa, karena pindah-pindah itu biasanya. Mkanya ada alesan orang males pindah karena males ngurus pindahan dengan berbagai barang2 yang udah numpuk gtu ya.

  2. Kami (aku dan ibuku) dulu cukup sering pindah karena rumah masih ngontrak. Alhamdulillah sekarang sudah settle sih 🤠
    Susahnya sih mengajak ibu buat hidup minimalis. Karena moto hidupnya, “siapa tahu nanti perlu” hahaha udah repot deh, pasti kalah berdebat 😅
    Di rumah kami yang baru aku menolak bikin gudang, karena hobi nyusuh tersalurkan bukan?! Wkwkwk, tapi ya tentu saja kalah suara sama ibu. Lagipula rumah ini juga buat Ibu, ya sudah lah, terserah beliau saja.
    Aku sendiri mulai menerapkan hidup minimalis. Menyimpan barang yg benar2 kusuka dan kupakai. Masih ada sih beberapa koleksi buku yang mau kukurangi, krn mulai susah menyimpannya.
    Tapi seandainya aku harus pindahan mendadak, aku bisa dengan percaya diri bilang, ayok aku bisa kok siap ngepak dalam sehari 🤠😎
    Btw mbak, baru terpikir, ternyata bisa ya hidup tanpa kulkas, buat yg masak. Keren euy idenya. Memang sih harusnya bisa krn sebelum kulkas ada kan org juga bisa hidup ya?! Wkwkwk tinggal kita membiasakan diri aja 😌
    Btw, selamat boyongan ya mbak, semoga ditempat baru jd pengalaman lain yg menyenangkan lagi 😍

    1. Syukurlah kak. Senang ya sudah seattle gitu. Jadi nggak repot lagi.

      Nah, iya ini juga jadi peer. Aku sempet kepikiran jg, nanti kalo udah seattle apakah aku akan seminimalis skrg? Karena kan tidak ada lagi alasan utk pindahan, haha. Tapi semoga aja nggak yaa.

      Menerapkan hidup minimalis padahal kupikir adalah tipikal orang indonesia yg katanya suka dengan hal2 yg sederhana. Tapi memang definisi sederhana pada kita yg mengikuti pola minimalis dgn orang yang sekadar hidup yg katanya sederhana itu beda ya. Aku merasa sih mbak. Entah dalam jumlah atau kualitas itu beda ya.

      Asik asiiiik, sudah siap hidup lebih struggling nih. Semoga dalam keadaan apapun tetap menjadi orang yg bersyukur dan konsisten dalama kesadaran hidup minimalis ya Mbak.

      Kita ini mau boyongan, koper 3, satu koper besar itu isinya buku semuanya. Agak susah ditinggal memang karena kebutuhan riset. heuheu

    1. iya Mbak, seru sekali. haha
      Ceritaku belum seberapa dibandingkan kehidupan rantaunya mbak zeneth yaa. Menarik banget pindah2nya bahkan dalam kurun waktu yang berdekatan. Apa selalu belanja peralatan rumah terus tiap pindah atau gmna tuh mbak?

  3. Hallo neng, menginspirasi dengan life hacknya kali ini.
    Saya sendiri ngerasanya udah mencoba mengurangi sih, tapi ketika lihat barang tetep banyak. Dua tahun terakhir, udah mulai ngga sekonsumtif sebelumnya. Kalau mau beli sesuatu, dipikir berrrrulang kali, apakah perlu atau ngga. Bisa berbulan-bulan sampai akhirnya memutuskan untuk membeli sesuatu.

    Menurut pendapat saya, ketika kita excessive di satu hal, dia akan tercermin di hal lainnya.
    Contoh yang kecil aja misal app di hp atau jam kita browsing di sosmed.

    Harapan saya buat diri sendiri dan keluarga, lebih wise lagi dalam membeli sesuatu, dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki.

    1. Iya teh Ren. kerasa banget emang. Excessive jadi menancap dalam pengambilan keputusan yaa. feeling guilty nggak sih kalo melakukan hal smisal beli2 banyak gitu jadinya.

      Saya sempat teh di suatu keadaan pengen banget sesuatu. Bukan kebutuhan sih tapi pengen. tahu nggak, itu nimbang2 psa checkout sampai lama di pelototin, terus aku tekan checkout, terus aku batalin lagi, terus nyesel terus tekan checkout lagi terus batalin lagi. hahahaha. untung banget ada fasilitas pembatalan. masih labil emang. hihi

  4. Hola mba Ghina, seru baca pengalamannya. Saya pribadi merantau ke Bali sebelum akhirnya settle down. Tapi awal merantau, saya hanya bawa baju sekoper dan perintilan kerja, jadi nggak punya banyak pengalaman seperti mba Ghina 😄 terus waktu merantau ke Korea pun nggak bawa banyak barang kecuali bumbu dapur dan teman-temannya 😂 hehehehe.

    Ngomong-ngomong saya setuju sama poin untuk kenali kebutuhan essensial. Sejak beberapa tahun lalu saya sadar kalau saya nggak perlu punya banyak baju, sepatu, ini itu. Even piring pun nggak perlu punya banyak variasi karena yang dipakai ternyata hanya dua piring makan, dua mangkuk sup serta dua piring salad 😂 heran kenapa dulu saya sampai hobi kumpulkan piring cuma karena lucuk padahal dipakai juga nggak. Untung sekarang sudah tobat 😅

  5. dulu waktu merantau jadi anak kosan, kayaknya barang yang dibawa pakaian aja, trus nambah radio tape, karena ini hiburan dan aku suka dengerin musik musik
    malahan ditempat rantau semakin nambah tahun kok barangnya makin banyak hahaha, printilan dari yang kecil sampe barang gede ada juga
    pas boyongan lagi, bisa semobil penuh untuk ukuran anak kos

  6. Berbicara mengenai perpindahan. Saya dulu sering pindah ketika masih kecil. Orangtua masih ngontrak. Jadi tiap 1-2 tahun selalu pindah rumah. Sebagai anak kecil yg ga tau apa-apa saat itu, pindah rumah adalah hal yg cukup menarik lho, mbak. Hahah

  7. Jadi ingat merantau di Hongkong hahahah, semuanya serba mandiri dan kudu pintar-pintar mengelola semuanya. Setuju kalau hidup merantau itu membuat kita belajar banyak hal dan lebih dewasa dalam menyikapi masalah ya Kak. Semangat

    1. Kalau udah merantau gitu jadi tiba2 apa2 bisa ya Mbak Nyi. Aku dulu pas merantau kayaknya beli makan itu nggak smpe 5 kali deh. Saking mahalnya dan keenakan juga sama dapur yang wah dan lengkap peralatannya itu. Semangat Mbak. semoga meski ga dirantau tetep kreatif dan mandiri ya.

    1. pengalaman di belanda kmrn, pengen bangeet ada barkas yang kualitasnya bagus. Kita bisa beli dan kita bisa sumbangkan lagi ke barkas tersebut. Pas beli harganya pun turun banget tapi bagus2. Senengnya hasil penjualannya tuh didonasikan gt. jadi merasa ga eman2 beli2 juga karena justru membantu orng lain

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!