Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

Kegagalan Pertama Dalam Hidup

5 min read

kegagalan yang disyukuri

Gagal melanjutkan sekolah di kota membuat saya merasa ini adalah sebuah kegagalan pertama yang saya rasakan. Meski selanjutnya, justeru hal tersebut perlu saya syukuri. Rencana Tuhan memang tidak ada yang tahu, namun Dia pasti memiliki rencana yang baik dan tidak terduga!

Menjadi Mantan Calon Anak Insan Cendekia

Apa bangganya menjadi mantan calon? belum jadi calon aja udah mantan, yang artinya bahkan belum sempat memilikinya udah harus dilepas. Dudududu. Saya mau bekisah tentang kegagalan yang saya alami. Sad banget cerita ini, sungguh. Saya menulisnya pun tanpa terasa meneteskan air mata.

 Awal 2007 menjadi hari-hari penuh kegalauan. Saya tidak ingin lagi berada di rumah, ingin melanglang buana sekolah jauh seperti yang teman-teman yang lain. Ada satu harapan, yaitu jadi anak Incen.

Saya ingat betul kenangan perjalanan untuk menjadi anak Incen. Iya, Incen, alias insan cendekia. Sekolah yang didirikan oleh Habibie dengan sistem mengintergrasikan agama dan teknologi. Kala itu Incen membuka beasiswa untuk anak-anak yang melanjutkan sekolah di jenjang sekolah menengah atas. 

Saya berangkat  naik bus untuk pertama kalinya. Spesialnya, perjalanan ini diantar oleh Abah langsung. Hal yang menyenangkan dan saya syukuri, akhirnya saya tidak muntah untuk perjalanan jauh ini. Maklum, sebagai anak kampung saya mudah sekali mabok kalau naik kendaraan. Biar nggak mabok, saya harus tiduran dengan kaki ke atas. Tentu saja itu tidak mungkin dilakukan di bus umum, bareng Abah pula. 

Saya diantar oleh Abah ke Mbak saya yang tinggal di Jakarta. Sepertinya ini adalah kali pertama saya pergi ke Jakarta. Suasananya terlalu ramai. Saya yang dititipkan Abah untuk tinggal bersama Mbak yang kerja sebagai guru, harus ikut jam kerja dia yang mruput pagi seusai subuh dengan kendaraan umum jakarta. Panas, sesak, dan penuh.

Malamnya saya belajar. Apa yang saya pelajari? saya hanya membuka kembali materi sekolah. Dulu belum ada gawai canggih, dan bodohnya saya tidak mengetahui apapun materi yang akan diujikan. Namun, saat melihat soal-soal test yang ternyata sola psikotes semua, saya justru merasa santai dan bisa. Saya cukup cepat mengerjakan soal-soal tersebut.

Namun, hasil pengumuman berkata lain. Saya dinyatakan tidak lulus. Sakit, kesal, dan saya pun harus menerima kenyataan bahwa saya harus sekolah di rumah. Ini kesepakatan awal yang dibicarakan Abah sebelum saya ikut test di Incen.

Sekolah di Kampung Saja

Bisa dikatakan, ini adalah kegagalan pertama dan cukup pahit dalam hidup saya. Karena efek dari kegagalan tersebut adalah, hari-hari saya rasanya cukup menjemukan dan menyebalkan. Satu tahun pertama sekolah, hari-hari saya tak bergairah.

Suatu ketika, teman saya mengajak ngobrol dan mempertanyakan keputusan saya untuk sekolah di kampung. Jawaban saya sederhana ‘yang mendirikan sekolah adalah orang tua saya, masa saya anaknya tidak sekolah di sekolahannya’. Saat menjawab begitu, sebenarnya hati saya cukup perih. Tapi, ya memang kenyataannya begitu.

Apa yang terbayangkan dari benak-benak teman-teman saat membayangkan sekolah di sekolah yang baru berdiri? Mewah, fasilitas masih baru, atau murid yang masih sedikit?

Jawaban ketiga paling tepat. Soal fasilitas, tentu saja belum ada. Sekolah saya masih numpang di MI (Madrasah Ibtidaiyah/SD). Jam sekolah pun siang, sehabis dhuhur. Sengaja dipilih, selain karena paginya gedung sekolah dipakai anak-anak, guru-gurunya juga mengajar di sekolah lain dulu. Jadi, mereka mengajar kami dengan tenaga sisa.

Abah sengaja mendirikan sekolah ini karena memang di kampung belum ada sekolah menengah. Anak-anak di sana jika mau melanjutkan harus pergi ke kota yang bisa dijangkau dengan berangkat setelah subuh. Teman-teman saya pun yang mampu kebanyakan melanjutkan sekolah ke kota, yang tidak mampu langsung ke bekerja di Jakarta.

Hari demi hari, meski berat akhirnya saya mencoba menikmati kegiatan sekolah tersebut. Saya mulai cukup introvert sejak aliyah. Apalagi jika weekend datang. Biasanya memang saya dan teman-temn, yang sekolah di kota, berkumpul untuk saling cerita dan rujakan bareng.

Tahu, kan kira-kira apa yang diceritakan? Mereka heboh bercerita tentang serunya naik angkot di pagi buta. Menceritakan teman-teman sekolahnya yang berasal dari berbagai kota. Serta kunjungan sekolah ke beberapa kota saat ada study banding dan lain sebagainya. Saya tentu saja memilih menjadi pendengar setia saja. Lebih banyak merespon daripada bercerita.

Memasuki kelas 12, kami sudah semakin sibuk dengan persiapan ujian. Saya mencoba menikmati momen kesibukan ini dengan lebih banyak tinggal di kamar saat di rumah. Belajar dan menulis diary sambil mendengarkan radio adalah kegiatan saya setiap hari. Radio benar-benar menjadi teman setia saya saat itu.

Di bulan-bulan terakhir sekolah, semangat saya mulai berkobar. Akhirnya, kesempatan untuk menikmati suasana lain semakin datang. Saya yakin orang tua saya akan menguliahkan saya melihat dari kelima anaknya yang semua sudah dikuliahkan juga. Nah, itu berarti saya bisa menemukan petualangan baru. Yessss..

Saya tidak tahu saat itu apa makna dari keberhasilan yang sesungguhnya. Namun, di akhir sekolah saya merasa bangga karena akhirnya saya bisa melanjutkan kuliah di kampus yang bahkan tidak pernah muncul dalam bayangan saya.

Bisa jadi, saya juga tidak akan kuliah di kampus tersebut jika saya tidak sekolah di sana. Kampusnya terlalu bonafit untuk saya, jika tanpa beasiswa mungkin saya juga akan mengikuti jejak kakak-kakak saya yang kuliah di kampus agama. Tuhan sudah membuat rencana manis untuk hambaNya ya.

Mencoba Bangkit dari Kegagalan

Menghadapi kegagalan di usia remaja tentu bukanlah hal mudah. Apalagi pada saat itu sedang ada masalah internal keluarga juga. Namun, perjalanan dari situ sudah memberikan banyak banyak pelajaran buat saya. Berikut beberapa hal yang saya coba lakukan untuk menikmati kegagalan tersebut :

1.Mencari pengalihan yang baik

Karena saya lebih menyukai radio, diary, dan jadi anak rumahan, akhirnya ketiga hal tersebut pun mejadi akrab dengan saya hingga sekarang. Untuk mengalihkan segala luka, kepedihan, dan kekesalan akibat kegagalan yang ada saat itu, saya mencoba menuangkannya di diary saya. Diary isinya misuh semua. Lalu setelah penuh, bukunya dibakar karena isinya malu-maluin, wkwk

Radio benar-benar menjadi teman yang baik. Saya menemukan channel radio yang membuat saya belajar bahasa asing, mengetahui perkembangan informasi lebih cepat, dan saya lebih apdet soal lagu teranyar saat itu.

Radio yang sering saya dengar adalah H86 Jakarta, VOA Washington DC, dan beberapa radio jawa barat seperti Rasuci dan Ewangga FM. Dulu memang saya sudah pegang gawai, dan saya gunakan untuk mendengarkan radio, mengirim salam dan request lagu ke penyiar. Pagi dan malam, kamar saya berisik oleh radio.

Eh iya ada satu aktivitas lagi yang dulu suka saya lakukan, yaitu mengkliping koran dan menguasai Koran edisi weekend. Kebetulan saat itu Abah saya berlangganan koran dari kantornya.

Baca juga : Kenangan Masa Kecil di Bulan Desember

Nah, ngomongin Koran edisi weekend itu saya kuasai, karena isinya membuat saya have fun. Di sana ada berbagai cerita anak muda, tips trik, zodiak, dan menu masakan. Saya paling suka mencermati zodiac dan tips anak muda. Ada beberapa insight yang membuat pikiran saya lumayan terbuka tentang dunia anak muda.

Oh iya, saya juga suka sekali korenspondensi. Dulu saat masih di MTs, saya ikut lomba dan saya kenalan saya teman dari sekolah lain. Akhirnya kami pun sepakat untuk saling mengirim surat. Saya menitipkannya lewat teman saya yang sekolah di kota bareng dia. Eh, sejak ada gawai sayangnya malah kita hilang komunikasi.

Nit-nit, kamu apa kabarnya, ya?

2.  Nikmati yang ada di hadapan dulu saja

Karena sekolah di rumah, akhirnya saya menikmati kebersamaan bersama Ibu lebih dekat, Abah terlalu sibuk dengan urusan kantornya saat itu Jadi saya lebih suka bercengkrama dengan Mimih. Serunya, bahkan Ibu saya pun menjadi guru saya.

Apakah saya di sekolah jaim? Nah iya nih kayaknya.Apalagi waktu itu Mimih jadi guru BTQ (Baca tulis Qur’an), jadi kalau ada tugas atau harus setoran, saya mencoba untuk jadi yang pertama donk. Kan gengsi, masa anaknya nggak bisa. hihi

Selain itu, saya juga jadi terbiasa dengan ritme yang sudah berjalan. Jika sudah mulai jenuh, saya lebih menikmati kamar saya. Akhirnya saya pun minta kamar saya untuk didekor. Kamarnya full warna pink dengan seprei merah kesayangan dan meja belajar triplek yang saya pilih sendiri.

3. Badai pasti berlalu

Meyakini hal ini adalah suatu keharusan buat saya. Setiap pagi, saya mencoba bangun lebih awal. Karena saya menganggap keadaan ini sedang tidak baik, saya mencoba lebih sregep ibadah. Wkwk, emang ya kalau ada maunya biasanya jadi sregep gitu.

Kalender juga saya pasang di kamar. Memastikan perjalanan hari terus bertambah dan tanggal akan berpindah secara berurutan. Saat itu saya punya kalender yang lumayan bagus. Karena eman, akhirnya tiap ganti tahun, saya gunting bulanannya lalu saya temple di kalender yang bagus tersebut. 3 tahun, jadi saya cuma pakai satu kalender. hihi

4. Rencana Tuhan tidak pernah keliru

Di setiap obrolan dengan Mimih, pesan tersebut selalu diulang-ulang hingga terngiang tanpa sadar dalam benak saya. Di setiap saya sedih dan cerita dengan Mimih tentang betapa sedihnya keadaan saya ini, lalu Mimih menimpalinya dengan ceramah singkat ‘mungkin ini sudah rencananya. Namun dengan begini berarti nina sudah patuh pada orang tua. Allah pasti punya rencana lain kedepannya!

5. Tetap membuktikan yang terbaik

Meski awalnya merasa gagal, namun hidup tetap harus terus berjalan. Mencoba lebih menikmati keadaan, berdamai dengan diri sendiri, menikmati suasana sekolah, teman, dan lingkungan pun saya coba jalani.

Di sekolah, saya bertemu dengan seorang guru favorit. Tidak hanya saya, semua teman satu kelas pun suka sekali dengan beliau.

Beliau ini padahal merupakan guru mata pelajaranr matematika, fisika, dan kimia. Namun karena sikapnya yang menyenangkan, kami semua menikmatinya begitu saja.  Yang membuat kami senang, beliau ini sangat mudah bergaul, paham keadaan muridnya, dan pengajarannya menyenangkan. Semangat beliau membuat saya merasa terpacu.

Tidak ada eksul di sekolah, namun saat itu entah dari mana, sekolah mendapat afiliasi untuk ikut pramuka. Padahal Abah saya orang nggak begitu suka dengan pramuka. Saya pun ikut kegiatannya, sampai ke kecamatan, ikut apel lebaran, dan bahkan jadi bagian dari ranting pramuka kecamatan.

Ah, gagal ternyata memang tak sepenuhnya hal harus disesali. Boleh sedih, tapi habis itu bangkit ya.

Ghina Hai, saya Ghina. Perempuan pecinta pagi, pendengar setia radio dan podcast, menulis tentang kehidupan perempuan dan hal terkait dengannya.

7 Replies to “Kegagalan Pertama Dalam Hidup”

  1. Waah, Insan Cendekia. Saya jg punya teman lulusan sana. Dan nampaknya emang sekolah unggulan yaa mbak.

    Kegagalan seperti itu, aku jg pernah. Mau masuk Sma negeri sumsel, tapi ga diterima, jadinya masuk ke sma negeri [angka] palembang hehhe

    1. Iya mas, lulusannya tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia. Kemarin untungnya ketemu juga satu asrama.

      Tetap masih di sekolah negeri yaa, Do. Aku ngerasain sekolah negeri ya. Tapi memang mau sekolah di mana pun, gagal tidaknya kembali ke usaha diri sendiri ya.

  2. Gagal bukan berarti akhir semuanya :). Aku slalu tanam itu di mindsetku mba. Supaya ga down, dan semangat untuk bangkit tetep ada. Kadangkala, yg kliatan gagal di mata kita, sebenernya hanya batu loncatan untuk meraih yg LBH tinggi :).

  3. Rencana Tuhan itu benar-benar paling bagus ya.
    Sayapun dulu juga gagal ikut UMPTN, bahkan 2 kali dong gagalnya, dan ternyata kegagalan tersebut malah membawa saya bisa kuliah di Surabaya dan bertemu jodoh.

    Coba gitu kalau saya lulus UMPTN pertama kalinya, mungkin saya nggak pernah bisa ke Surabaya dan bertemu jodoh saya.
    Bisa otewe mulu si jodoh hahahah

    1. Iya mbak rey.. Dulu ngerasanya bakalan belok banget jalan karena ga sesuai yg dipengen. Baeubsadsr tenrangbmakja yg dimaksud ‘kita berkeinginan, Tuhan yg berkehendak’. Setelah diselami baik2, ternyata apa yg mnrt kita baik ga selalu baik mataNya..

      Akupun ktmu sama suami di kampus tp ini jg lewat cerita unik lain. Kalo ga kenalan lewat teman mgkn ga kenal jg. Takdir Tuhan memang selalu unik dan terduga yaaa Mbak Rey.. Sehat selalu utk Mba Rey sekeluarga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

error: Content is protected !!