ghinarahmatika.com – Orang bilang perjalanan hidup, pertemanan, obrolan, dan hobi kita memengaruhi siapa dan bagaimana kita hari ini. So, bagaimana perjalanan 2022-mu, guys?
Buat saya tahun 2022 ini cukup banyak hal yang nggak bisa ditebak namun alhamdulillah dari perjalanan 12 bulan kemarin ada banyak hikmah yang bisa dipetik. Semoga bisa dijadikan pegangan dan pengingat untuk hari-hari selanjutnya nih.
So, apa saja kira-kira hal yang saya pelajari di 2022? Here we go
2022 dan Hal-Hal yang Saya Pelajari
1. Kita tak bisa membuat semua orang bahagia tapi kita bisa saja membuat orang lain terluka
Ini kata–kata yang suami saya ucapkan saat dia tanpa sengaja memberi khotbah jumat yg ternyata akan menyinggung beberapa pihak. Dia pun menyesali dan memang tak bermaksud untuk menyinggung orang tersebut.
Lalu dia bilang gitu ‘ya gapapa, tidak bermaksud kok. Sebagai makhluk sosial kita memang nggak bisa selalu membuat semua orang bahagia, tapi kalau menyakiti, meski kita tak bermaksud pun mungkin ada saja yang merasa tidak nyaman.’
Interaksi antar manusia memang begitu kan? Meski diusahakan untuk lebih berhati-hati dalam berucap, perspektif manusia dalam menangkap apa yang disampaikan seseorang itu memang kadang tak sama dan selaras.
Bisa jadi maksudnya lebih luas eh dia mempersempit pemahaman. Bisa jadi maksudnya untuk menyatakan hal lain, eh dia merasa tersindir dikira untuk dirinya.
Ya begitulah. Perspektif itu kadang multitafsir. Kadang saya pun suka berpikir begitu setelah pulang dari acara yang ketemu teman dan ngobrol–ngobrol. ‘Tadi ada kata-kataku yang menyakitkan nggak ya? ya selama sudah mengusahakan yang baik baik saja, pikiran orang mah ya kita serahkan pada mereka aja. Belajar memperluas pandangan dan lebih jumawa mungkin kudu lebih dilatih dalam hal ini ya.
2. Pikirkan kemungkinan buruk yang terjadi dan persiapkan diri untuk menghadapinya
Bulan november kemarin menjadi hal yang kalau diingat-ingat, merasa bersalah banget sama anak kedua kami. Dia sempat terkunci selama dua jam lebih gara-gara kecerobohan kami.
Kala itu saya bermaksud untuk memanggil suami untuk ikut acara pengajian anak. Kebetulan bayi sudah saya mimiki dan tidur pulas. Saya pun keluar rumah menuju ruangan depan apartemen yang jadi tempat bapak-bapak main pingpong. Kakaknya juga ikutan keluar.
Setelah selesai memanggil suami saya mau balik lagi donk ke rumah, eh kok terkunci. Wew, saya nggak bawa kunci dan suami pun nggak bawa kunci. Resah dan gelisah lah setelah itu. Mana pas itu hari minggu pula. Toko-toko kan pada tutup.
Di antara keresahan saya, suami untungnya agak kalem. kita berusaha mencari jalan keluar. Untungnya ada bapak-bapak yang main pingpong ikut bantu menghubungi beberapa pihak. Hingga baru satu jam kemudian terhubunglah dengan tukang kunci, dan baru satu jam kemudian si tukang kunci itu datang.
Melayanglah uang 129 euro demi pintu terbuka. Jelas saja bayi sudah sesenggukan nangis nggak jelas. Sejak saat itu dia pun jadi sering nangis kenceng kalau kondisi sepi atau ditinggal dalam waktu bentar doank pun.
Teman pun berpesan kalau bisa satu kunci itu dititipkan di rumah teman yang dapat dipercaya dan tetap waspada pada kemungkinan buruk yang akan terjadi. Kadang memang yang kita kira nggak bakal terjadi karena terlalu nggak mungkin saja bisa saja mungkin terjadi kan. Keluar rumah bawa kunci kan biasanya kalau ke luar rumah untuk perjalanan jauh, lah cuma ke depan gedung doank kalau nggak bawa kunci juga tetap nggak bisa masuk, kan!
3. Berani mencoba itu memuaskan
Sebagai istri, kita itu tanpa sadar sering banget nggak sih bergantung sama suami. Urusan gas, tunjangan, listrik, sampai belanja dan jalan-jalan pun kadang memasrahkan diri agar suami yang mengurusnya.
Ya enak sih. Kita tinggal terima jadi aja.
Tapi coba deh kita belajar dan punya kemauan untuk melakukannya sendiri. Beneran puas banget lho. Kayak kemarin pas kita akhirnya memutuskan liburan ke Jerman dan saya yang diserahkan untuk menyusun itinerary dan tetek bengek urusan kendaraan serta tiketnya.
Baca juga : Ibu Belajar tentang Sadar Diri
Saya pun jadi belajar memahami kondisi jalanan, opsi kendaraan, serta mengingat jalanan yang biasanya lemah banget untuk saya ingat. Selain itu saya juga jadi lebih ingat tentang apa yang harus saya lakukan. Lalu suami menimpali : kan kalau tahu sendiri jadi bisa dibuat konten buat tulisan blog. Wkwk
Iya deh, memuaskan banget kok ketika kita tahu suatu hal, meskipun receh ya. Seenggaknya kita paham bahwa kita bisa melakukan sesuatu itu berarti ada juga kemauan dari kita untuk belajar lho, BELAJAR!
4. Pahami kembali self love diri sebagai manusia modern
Sebagai netizen, saya merasa bersyukur sekali bahwa kini ada semakin banyak konten yang menyadarkan kita betapa pentingnya untuk menyayangi diri sendiri dulu sebelum menyayangi orang lain.
Pokoknya diri sendiri dulu diutamakan, baru orang lain belakangan.
Baca juga : Agar Ibu Tetap Waras
Dari fokus kepada diri sendiri ini kemudian orang menciptakan circle yang sepaham dengan dirinya. Orang kemudian membuat batasan terhadap apa-apa yang menurut mereka toxic untuk dirinya. Orang–orang juga menciptakan kewarasan diri sebagai prioritas hidup. Makanya healing jadi obrolan yang ramai dibicarakan.
Itu adalah hal-hal baik yang bisa kita petik.
Selama ini kita baru sadar bahwa kita ini apa-apa karena biar manusia lain menilai kita baik, bukan agar diri merasa lebih baik. Atau mungkin pikiran kita selama ini terhegemoni oleh apa yang kira–kira orang pikirkan tentang kita.
Tapi kemudian saat saya mendengarkan salah satu podcast dan dia bercerita tentang perlunya kita menyadari kondisi diri dan melihat banyak hal yang perlu disyukuri, it’s miracle. Dia berulang-ulang kali bilang gitu.
Lalu saya berpikir, kenapa dia nggak melibatkan Tuhan dalam kata-kata itu?
Ngobrol deh akhirnya saya dan suami membahas obrolan podcast itu, lalu suami bilang : begitulah kira-kira manusia modern berpikir. Mulai mencintai diri sendiri, diri sendiri terokupasi oleh pemikiran sendiri, dan banyak yang nggak menyadari kemudian kita menjadi individualistis. Terlepas melibatkan Tuhan atau tidak, manusia modern lebih sering merasa bahwa jika dirinya harus baik dulu. Padahal kan, semisal alasan mengurangi anak atau bahkan child free untuk mengurangi kerusakan alam ini tanpa ada kerja sama dari semua populasi dampaknya kurang terasa juga kan?
Kita cuma sering lupa kalau kita ini makhluk sosial, dan kita ini hamba yang nggak bisa lepas dari pengawasan Sang Pencipta.
5. Jika orang lain bisa kenapa kita harus bisa. Namun jika kita bisa pun kenapa harus menunjukkannya
Dulu saat melihat teman atau orang yang lebih menginspirasi kita, kita ingin sekali seperti mereka. Mengikuti jejak mereka. Atau bahkan plek ketiplek ikut apa yang mereka lakukan.
Tentu saja tidak salah. Keberadaan saya sekarang di Belanda pun kalau diingat-ingat mungkin karena dulu saya ingin sekali ke Belanda seperti salah satu dosen yang menginspirasi saya. Cuma yang dilakukannya saja yang berbeda. wkwk
Tapi semakin usia kita bertambah, paparan informasi kita melimpah, dan passion kita pun berubah, kita akan menemukan diri bahwa yang kita lihat itu hanyalah tujuan. Prosesnya bisa saja berbeda.
Kalau orang lain bisa menggambar, mungkin karena mereka punya skill di bidang tersebut. Kamu mungkin punya skillnya di bidang menulis. Ya sudah geluti saja masing–masing dengan prosesnya sendiri–sendiri.
Namun, saat kita mulai menguasai suatu bidang, ini yang harus diwaspadai. Kita biasanya sombong. Ingin menunjukkannya kepada orang lain.
Penyakit hati banget sih ini. Setelah kita tahu tentang suatu hal, bukan berarti kita lebih tahu. Karena pengetahuan itu banyak dan luas. Lagi-lagi adab yang harus kita pegang.
Seperti salah satu tutorku bilang : saat ada temanmu yang sedang masak, meski dia nggak bisa banget masak, jangan langsung ambil alih atau kamu komentari mulu mentang-mentang kamu bisa.
menurut saya hal ini bisa berlaku di semua hal sih.