Pasar memiliki budaya. Tempat yang menjadi berkumpulnya berbagai wajah manusia ini memunculkan representasi hiruk pikuk pasar sebagai gambaran gaya hidup dan budaya sosial masyarakat sekitarnya.

Saya tiba-tiba kangen pasar. Hiruk pikuk pasar, gemuruh tawar-menawar penjual dan pembeli, serta beraneka macam pangaann yang dijual menjadi magnet kuat untuk ke pasar. Tapi, lagi pandemi begini, ke pasar agak worry ya. Jadi, belakangan saya lebih memilih untuk berbelanja ke warung atau belanja online saja.
Baca juga : Menguji Peduli dalam Pandemi
Setelah lama tidak ke pasar, ketika ke warung saya jadi suka memperhatikan kegiatan dan kebiasaan orang yang berbelanja. Nah, ternyata dari beberapa hal baru saya cermati, ada hal menarik yang bisa kita ulas nih satu persatu. Yuk, kita tengok,apa saja nih kira-kira?
Mengenal Budaya Pasar
Sebelumnya saya perjelas dulu ya, pasar di sini maksudnya adalah pasar tradisional. Kalau pasar modern sepertinya konsepnya hampir sama ya. Nah, pasar tradisional itu memiliki kekhasan dengan budaya dan interaksi sosial masyarakat yang kuat.

Seperti kita ketahui, budaya pasar di satu tempat ada lho beberapa perbedaan dengan budaya pasar di tempat lain. Meski umumnya pasar tradisional sudah terstigma kotor, kumuh, dan kurang terorganisir dengan baik, namun nggak semua ya, bahkan sekarang beberapa pasar sudah lebih tertata rapih dan bersih.
Salah satu budaya unik yang saya temukan saat tinggal di Kalimantan Selatan ialah tentang akad jual beli. Budaya unik yang saya temukan adalah adanya pengucapan akad ketika transaksi pemindahan uang dari pembeli ke penjual. Orang yang membeli diharuskan mengucap ‘tukarlah’ setelah penjual mengatakan ‘juallah’.
Baca juga : Oase Haul Guru Sekumpul
Tentunya, budaya masyarakat sekitar memengaruhi budaya yang ada di suatu pasar. Pasar membentuk identitas utuh yang merepresentasikan kondisi masyarakat. Unik, dan tentunya menarik untuk diulik.
Budaya-budaya Pasar Tradisional
1. Asal-usul nama pasar itu unik
Ngeh nggak sih tentang penamaan pasar ini? Saya juga baru sadar setelah baca beberapa referensi. Pasar yang lekat dengan budaya dan interaksi masyarakat yang kuat menjadi nama pasar berarti juga mewakili daerah tersebut.
Pasar Bringharjo, Pasar Laweyan, Pasar Kranggan, atau pasar di kampung saya yang disebut pasar Cikeusal, tiada lain adalah nama daerah tempat pasar tersebut berada.
Selain menggunakan nama daerah tempat pasar tersebut berada, ada juga pasar yang menunjukkan cara/tempat/waktu jualannya. Seperti Pasar Apung di Kalimantan, Pasar Klithikan di Yogyakarta, dan banyak pasar lainnya.
2. Pasar sebagai objek politik
Ada yang pernah ngalamin nggak tiba-tiba lagi belanja terus ada orang deketin, lalu ngomong bisik-bisik sambil tangan nyari tangan lawan buat naruh amplop? atau malah jadi obrolan orang-orang saat satu orang dengan pedenya mengunggulkan calon kepala desa pilihannya?
Imajinasi saya membayangkan kejadian begitu ketika membaca cerita bahwa sedari jaman dulu kala, pasar sudah menjadi arena politik. penguasa pasar itu nyata adanya bahkan sedari dulu, preman pasar juga ada.
3. Tempat informasi melesat cepat
Ke pasar memang kebanyakan nggak cuma datang, belanja lalu pulang. Pasti aja ada obrolan hangat yang sedang diperbincangkan. iya, keriuhan pasar tidak hanya sekadar obrolan harga maupun produk jualan, tapi bahkan gosip atau kabar terkini cepat merebak melalui pasar.
Maka jangan heran, meski dulu belum ada alat komunikasi, informasi tetap bisa tersebar luas, ya salah satunya melalui interaksi di pasar. Berita bohong tentu saja ada, dan lebih sulit ditelusurinya ya.
4. Tempat tawar menawar, menabung dan berhutang
Semua pasti setuju sih dengan ketiga hal ini. Kamu nggak bisa nawar harga kalau di pasar tradisional atau pun mall-mall, di pasar tradisional, gelut gara-gara harga aja. Bahkan nawar aja ada seninya. Beneran dulu saya sampai pernah diajarin cara nawar yang baik sama Ibu saya.
Setelah berjualan dan menghitung laba, biasanya para penjual akan menyisihkan hasil pendapatannya di bank kecil, BMT, ataupun koperasi simpan pinjam. Kalau lagi seret, nanti pinjam ke sana juga.
Nah, sayangnya berhutang juga hal yang bisa kita lakukan di pasar tradisional ini. Hal tersebut terjadi biasanya karena si pembeli uangnya kurang namun ingin membeli barang tersebut, si penjual membolehkannya untuk membayar kekuarangan tersebut di kemudian hari.
Prinsip percaya penuh pada konsumen dan interaksi yang kuat menjadikan hutang dan pinjam meminjam menjadi hal umum. Tapi, mbokya kalau hutang prioritaskan untuk membayar lho, ya!
5. Tempat bekerja tanpa syarat
Tempat berusaha tanpa melihat titel, pasar. Semua orang yang bisa membuat sesuatu, mendagangkan sesuatu, ataupun hanya menunggu saja bisa menjadi bagian dari pasar.
Meski memang pasar tradisional ini adalah pasar kelas menangah ke bawah, namun tak dipungkiri banyak juga yang menjadikan pasar sebagai pekerjaan sampingan.
6. Tidak ada harga pasti
Kata pertama yang diucapkan ketika akan membeli suatu barnag adalah ‘ ini berapa bu?’. Iya, karena kita nggak menemukan label harga di jualan si penjual. Kadang untuk satu barang aja beda harga di penjual yang satu yang lainnya.
Kadang ini membingungkan sih, apalagi bagi yang suka budgeting. Tapi baiknya, lewat pertanyaan inilah menjadi pemula kita berinteraksi dengan pedagang ya.
Membawa tas belanja itu udah budaya leluhur kita
Nah, terakhir ini nih, bawa kantong belanja. Ketika banyak gerakan zero waste mengajak kita untuk membawa kantong belanja kalau ke pasar, eh ternyata simbah-simbah itu sudah bawa kantong belanja, lho. Meski desainnya sederhana, tapi membawa kantong belanja itu sesungguhnya bukan hal yang baru.

Mungkin sekarang banyak orang belanja malas bawa kantong belanja karena ribet dan toh nantinya juga disediakan juga sama si penjual ya, jadi keenakeun. Tapi, tolonglah, bahagiakan penjual salah satunya dengan membawa kantong belanja sendiri, yuk!
Yay finally tulisannya naik, mba 😍
Saya setuju banget sama nggak ada harga pasti di pasar. Hahaha. Setiap hari pasti berubah, soalnya setiap mba saya laporan uang belanja tuh harga bahan naik turun terus, seperti Ayam, kadang 35, terus naik jadi 40, naik lagi jadi 45, terus turun jadi 40, dan itu bisa berubah setiap harinya 😂 Wk.
Oh dan budaya bawa kantong belanja memang dari jaman dulu sudah ada ya, sebab saya lihat simbah saya dulu sering bawa kantong belanja, dan ibu saya pun sama. Memang seharusnya kita membiasakan diri bawa kantong agar lebih mudah 😁
iyaa mbak. Aku bahkan pernah kepikiran gimana caranya orang menyamakan harga pasar di warung-warung, eh tapi emang nggak ada yang serempak yaa, yaa beda 500-1000 sih. harga yang fluktuatif ini kadang bikin anggaran belanja nggak jelas juga sih.
Nah, beneran kan mbak. Aku kalo jalan pagi suka banget lihat mbah2 masih berpakaian styles, pake syal dan rok selutut terus bawa kantong belanja dan payung gitu, kayak gadis jaman dulu gt yaa, eh atau lihat mbah2 yang pake jarit dan pakaian jawa banget gt juga suka. 10 tahun lagi kira-kira ada yang bakal pake jarit nggak yaa..
Aku bahkan suka bingung kenapa harga di pasar suka naik turun begitu hari berganti 😂. Yang paling stabil mungkin beras, tepung, dan sejenisnya. Kalau telur, paling cepat naik turunnya 😂
Oiya, aku baru sadar kalau dari jaman dulu ibu-ibu sering bawa kantong belanja sendiri. Yang modelnya kayak keranjang plastik gitu kan hahahaha. Sekarang malah karena kemudahan zaman, hal yang bagus seperti itu malah ditinggalkan huhuhu sayang sekali 🙁
Haloo mba Ghina, kenapa yaa di layar laptop saya jadi agak eror tulisannya.
Misal, yang muncul seperti ini:
Mengen Bud y P sa
atau
Buday -bud y Trad ional
Waaah ini berarti backup nya nggak pas yaaaa. Nanti aku cek lagi deh. Makasih ya, Do. Huhu.. Emang efek kalo backupan begini kali yaa