Kondisi kehamilan kedua yang penuh dengan lika-liku dan kejutan saat trimester tiga akhirnya terlewati juga. Yup, akhirnya saya sudah melahirkan pada akhir Mei kemarin. Alhmdulillah semua berjalan dengan baik. Tapi untuk mengabadikan perjalanan kehamilan kedua, perkenankan saya untuk menceritakan keharuan trimester tiga kemarin ya.
Well, kalau mengingat kembali momen-momen sebulan kemarin, masya Allah rasanya jadi terharu sendiri. Apalagi saat melihat bayi itu kini sudah bisa digendong ke sana ke mari. Hamil dan melahirkan itu memang wahnan ala wahnin ya. Tapi ya gitu, ternyata banyak dinanti oleh kita, kaum perempuan.
Hamil kedua dengan kondisi yang berbeda, tempat yang berbeda, serta penanganan yang berbeda memberi cerita tersendiri buat saya. Apalagi setelah pemeriksaan usg kali pertama langsung diminta untuk ke rs dan akhirnya harus sering-sering ke rs karena ada case dengan kehamilan saya. Dan… dari situlah kami diberikan banyak kejutan-kejutan yang mencengangkan, menakjubkan, mendebarkan, dan penuh harap tentunya.
Ketuban terlalu banyak (Polyhydromnion)
You baby is good. But, you have too much amniotic fluid.
Begitu kira-kira yang diucapkan oleh bidan di rumah sakit sesaat setelah melakukan pemeriksaan usg. Telinga saya sebenarnya masih sangat asing mendengarkan kata amniotic fluid. Saya malah mendengarnya lebih pada kata liquid. wkwk. Tapi saya pun langsung menafsirkannya sebagai ketuban sih.
Eh, ketubannya terlalu banyak. Emang kenapa?
Itu pertanyaan yang pertama kali saya ajukan saat diberikan kesempatan untuk bertanya oleh bidannya. Sayangnya, dia tidak memberikan penjelasan spesifik. Katanya yang berhak menjelaskan nanti dokter obgyn.
Akhirnya saya pun dilempar untuk mendapatkan pemeriksaan ke dokter obgyn. Berharap banget akan dapat penjelasan tentang penyebab maupun level ketubannya, tapi ternyata dokter pun malah memberi saya beberapa artikel dan merujuk saya untuk mendapatkan pemeriksaan lagi di rumah sakit yang lebih besar dan meminta saya untuk melakukan tes darah dan tes gula lagi.
Wah, lagi? Padahal seminggu sebelumnya saya sudah tes gula dan darah. Tapi dia bilang untuk lebih memastikan lagi. Kali ini sampai lima botol ( per botol 5 ml) donk darah saya diambil. Padahal kala itu lagi puasa. Langsung lemas lah… Huhu
Kondisi seperti ini buat saya cukup bikin terombang-ambing. Jujur saja, saya down banget. Malas rasanya kalau ke rumah sakit tuh. Mana selama periksa pun sendiri terus karena kebetulan suami ada kerjaan juga yang nggak bisa ditinggal.
Baca juga : Minimalist Pregnancy
Di UMCG ini dokternya melakukan USG lama banget. Hampir satu jam. Beberapa kali dia mengcapture hasil usg di beberapa bagian tubuh bayi. Beberapa kali dia mengulanginya lagi di bagian tubuh yang sama. Katanya, agak kesulitan untuk melihat kondisi bayi karena usia kehamilan sudah besar. (Btw, menurut teman yang lahiran di sini, harusnya pengecekan secara menyeluruh kondisi bayi itu saat 21 week ya)
Setelah selesai usg, dokternya pun minta izin untuk diskusi dulu ke koleganya untuk memastikan hasilnya sama dengan pendapatnya. Tapi sebelum itu saya coba tanya tentang kondisi bayi dan dia jawab : everything is good.
Ya, dokternya mengucapkan hal sama setelah kembali dari diskusinya. Bahkan saat saya menyinggung tentang ketuban, dia bilang cukup normal kok jumlahnya.
Agak tenang donk rasanya. Sesuai seperti diskusi saya dengan teman saya yang juga dokter, dia bilang bahwa ketuban akan berkurang seiring bertambahnya usia kehamilan. Makanya saya diminta untuk menanyakan level atau index dari ketubannya (amniotic fluid index) sayangnya saya pun tidak dapat penjelasannya.
Tapi lagi-lagi, pas balik ke rumah sakit yang pertama itu, dokter pun tetap bilang bahwa kondisi ketubannya terlalu banyak.
Baiklah, saya harus terima kondisi ini dengan lapang dada. Hal ini pun membuat saya jadi semakin mempelajari polihidramnion. Makin banyak tahu, makin besar harapan saya agar keutuban yang terlalu banyak ini tidak menyebabkan masalah.
Apa Penyebab Ketuban Terlalu Banyak?
Pertanyaan tersebut selalu saya ajukan saat bertemu dengan beberapa dokter. Saya inginnya mendapatkan penjelasan langsung dari dokternya. Penjelasan yang detail dan memuaskan.
Dokter obgyn yang pertama saya temui hanya bilang bahwa kondisi ketuban terlalu banyak itu tidak begitu berbahaya. Entah ini hanya upaya untuk melegakan pikiran saya saja atau gimana, tapi setelah itu jadwal periksa saya jadi makin intens karenanya.
Penyebab dari ketuban kebanyakan itu apa? Apa yang perlu saya hindari atau lakukan untuk bisa mengurangi volume ketuban tersebut?
Dokternya bilang, penyebab ketuban terlalu banyak itu bisa disebabkan oleh dua faktor, yaitu ibu hamil yang memiliki diabetes serta ada infeksi pada kehamilannya. Setelah saya baca-baca, ternyata ada banyak juga penyebab ketuban berlebihan itu, dan lumayan mengerikan juga penyebabnya ini. Sila teman-teman googling sendiri ya kalau mau tahu.
Memang Abah saya kena diabetes maka khawatirnya saya juga kena, tapi hasilnya gula darah saya normal ternyata. Sampai persalinan tiba penyebab ketuban berlebih pun tidak diketahui nih.
Bayi Jadi Sungsang
Jadwal periksa pun makin intens. Hingga akhirnya tiba di minggu ke 37 usia kehamilan, ternyata kondisi bayi mengalami breech presentation alias sungsang.
Makin-makinlah kekhawatiran ini menjadi-jadi. Ya Allah…. Bayi kedua ini perjuangannya masya Allah ya.
Ternyata sungsang ini menjadi salah satu akibat dari ketuban yang terlalu banyak. Ibarat air yang terlalu banyak, bahkan bisa membuat kita inginnya berenang ya. Kurang lebih itu pula yang terjadi pada bayi. Sampai akhirnya bayi ini berenang hingga kepalanya berada di atas dan kakinya di bawah.
Penanganan bayi sungsang dengan external version
Dokter lalu mengabarkan untuk melakukan treatment tiga hari lagi. Treatment yang diberikan berupa external version, yaitu dokter memanipulasi janin dengan tangannya melalui perut luar. Tangan satu memegang bagian kepala bayi dan satunya lagi memegang kaki bayi. Lalu dokter akan menggesernya perlahan sambil dipantau dengan usg. Tentunya dia juga mengirima beberapa artikel dan jurnal biar saya lebih siap dan lebih paham juga kondisinya.
Saya jadi teringat cerita teman yang juga perlu breech treatment dengan external version. Sayangnya nggak berhasil. Bahkan di artikel dan jurnal yang dikirimkan dokternya pun saya baca cuma 58% yang berhasil mengembalikan posisi bayi pada posisi normal.
Deg-degan banget. Tapi entah kenapa saya sendiri meyakini bahwa proses ini akan berjalan lancar. Selama tiga hari itu saya mencoba mengumpulkan energi dengan afirmasi positif. Yuk, adik bayi kuat, yuk kembali ke posisi semua. Tak lupa saya juga minta tolong suami dan anak pertama untuk terus mensounding bayi dalam perut untuk kembali ke posisi semula.
Baca juga : Hamil Minim Drama
Beberapa kali saya juga melakukan hal-hal yang katanya bisa menangani bayi sungsang seperti sujud lama (menungging), menyoroti perut dengan senter, mengajak ngobrol bayi. Sebenarnya bisa juga melakukan hipnoterapi maupun akupuntur, tapi saya tidak melakukannya.
Tibalah hari yang saya tunggu untuk mendapatkan penanganan berupa external version. Akhirnya kali ini si kakak dan ayahnya bisa ikutan menemani saya ke rumah sakit. Kakak pun bisa diajak kompromi untuk menunggu di playground selagi suami menemani saya di-treatment.
Alhamdulillah tsumma alhamdulillah, proses external version berlangsung sangat singkat. Nggak sampai sepuluh menit seusai dokternya memijit perut saya lalu mengecek di usg dan posisi bayi ternyata sudah kembali ke posisi normal. Kaki di atas dan kepala bayi di bawah. Masya Allah, adek. Kamu hebat. Terima kasih Nak.
Setelah treatment dilakukan, saya pindah ke ruang lain untuk pengecekan detak jantungnya si bayi. Menurut dokternya, seusai external version detak jantung harus dipastikan normal untuk keberhasilan external version. Perut saya ditempelkan alat yang bisa mengecek detak jantung bayi. Sekitar 30 menit menunggu, alhamdulillah detak jantung bayi pun normal.
Pelvic Girdle Pain
Setelah mendapatkan terapi external version, saya pulang dan langsung belanja karena kebetulan hari itu adalah jadwalnya belanja. Kebetulan mau ada tamu juga. Kala itu jalan kaki terasa seperti biasa aja. Nggak ada rasa sakit yang muncul. Ah, iya cuma sakit di bagian perut yang dipijat saja.
Saya masih mengabaikan rasa sakit itu. Apalagi keesokan harinya saya diajak untuk ikut jualan meramaikan kegiatan Groens Cup. Saya pun masak-masak sampai pukul 1 malam. Panggul mulai terasa tidak nyaman.
Tapi esok malamnya mulai terasa. Susah bangun, kalau duduk kelamaan terasa sakit, panggulnya sering nyeri, susah angkat kaki saat pakai celana, sering kesemutan saat tidur. Ah, rasanya badan pegal semua.
Setelah saya baca-baca, ternyata ini namanya pelvic girdle pain.
Nyeri di bagian panggul ini biasa terjadi pada ibu yang sedang hamil tua atau bahkan ibu yang baru melahirkan. Pelvic pain sendiri wajar sebenarnya terjadi pada ibu hamil. Hal ini karena kondisi panggul yang tidak stabil karena hormon relaxin saat hamil.
Untuk mengatasinya saya langsung mencari beberapa posisi atau gerakan yang bisa mengurangi rasa nyeri ini. Beberapa video dari bidan Yessie dan bidan Ony Christy sangat membantu saya dalam masa-masa kehamilan trimester tiga ini. Thanks bu bidan.
Alhamdulillah, setelah rutin melakukan gerakan untuk mengatasi pelvic pain, perlahan sakitnya sudah mulai berkurang. Saya pun mencoba untuk mengurangi banyak gerak dulu. Bahkan jadinya malah sering di rumah saja, karena malas kalau keluar rumah harus turun tangga dulu. Wkwk.
Persalinan lewat HPL
Nah, gara-gara terlalu menikmati mendekam di rumah mulu, yang otomatis saya malah jadi jarang gerak ternyata malah berakibat tidak baik. Masuk usia sembilan bulan itu malah baiknya makin aktif gerak ya, biar bayi lekas masuk panggul.
Saya yang sudah harap-harap cemas dari sejak 38 minggu usia kehamilan malah makin parno pas pengecekan usg dan bayi masih belum masuk panggul juga. Padahal berarti sebentar lagi HPL. Sementara dulu kakaknya nih malah lahirannya maju 10 hari dari perkiraan.
Setelah lewat HPL itu barulah saya mulai rajin lagi jalan-jalan muterin komplek, antar si kakak ke perpustakaan, belanja dan melakukan beberapa gerakan yang mendukung bayi untuk segera masuk panggul.
23 Mei sebagai jadwal terakhir pemeriksaan sebelum melahirkan dokter pun memeriksa serviks saya. Beliau mau memastikan lagi apakah si bayi sudah masuk panggul atau belum. Katanya sudah, tapi masuk belum teteg, masih geser-geser gitu.
Setelah di USG, dokter pun menyarankan nantinya kalau seminggu lagi bayinya belum lahir maka akan dilakukan induksi. WAW?
Jadi, kira-kira bakal diinduksi nggak nih? Nantikan ceritanya di postingan berikutnya yaa..
MasyaAllah mba Ghin. Strong woman banget harus kuat kuat kayak dirimu nih. Makasih sudah memberikan motivasi melalui tulisan. Lanjut mba Ghin.