Masa-masa kecilku tentang Desember itu kayaknya hampir sama dengan generasi 90-an lainnya. Libur akhir sekolah dan mengisi hari-hari dengan nonton film-film ala Home Alone dan sejenisnya, yang mana banyak menceritakan tentang perayaan natal, sinterklaas, dan cerita liburan petulangan ala film barat. Kenanganku cuma lewat televisi tapi anakku bertemu secara langsung dengan hal-hal tersebut. Bagaimana pertalian pengalaman ini berpadu?
Anakku, Nahla, sore ini bercerita banyak tentang keseruannya bertemu dengan Sinterklaas. Bagaimana dia mendapat roti pepernoten, disapa oleh Zwarte Pit, dan menyapa Sinterklaas. Tapi di akhir cerita dia bilang :
Ya, kakak tahu sih Sinterklaas itu bohong.
Langsung saja aku menimpali dengan antusias, karena ini berarti momen mengasah berpikir kritis dia.
Kenapa kakak yakin dia itu tidak nyata?
Dia menjawab dengan santainya :
Aneh saja. Pekerjaannya tidak masuk di akal
Kok tiba-tiba jadi teringat pada masa kecilku. Liburan yang banyak menghabiskan waktu di rumah, menonton tv di rumah tetangga dengan suguhan film-film liburan dari Amerika. Karena kami nonton berbanyak, dipastikan tidak hanya anak-anak saja yang ikut nonton, tapi juga ada beberapa orangtua yang menyaksikan. Tidak ada yang menasehati maupun menceramahi kami dengan tema agama. Kami hanya menjadikan itu sebagai tontonan petulangan. Usai film, yang terbayang cuma petualangannya saja. Bukan momen natalan maupun Sinterklaas.
Tapi aku rasa saat itu pikiran kritisku lumayan hampir sama dengan apa yang ada di benak anakku. Aku tahu itu tidak nyata dan tidak ada. Hanya saja, mendapatkan kado itu rasanya memang membahagiakan. Berlibur ke luar kota apalagi ke luar negeri bersama keluarga adalah hal yang sangat aku dambakan. Apalagi di musim salju, hal yang rasa-rasanya dulu tak pernah terbayangkan akan aku lewati seperti saat ini.
Baca juga : Menyambut Desember ke Toko Buku
Kini anakku melewati momen-momen yang dulu hanya aku tonton dari televisi. Dia melihat pohon natal di mana-mana. Berbagai pakaian Sinterklaas dan Pit banyak dipakai teman-teman sekolahnya. Teman-temannya dapat hadiah dari Sinterklaas. Lagu-lagu Sinterklaas juga mengiung sepanjang akhir November- awal Desember. Bahkan mereka melihat langsung seperti apa itu Sinterklaas dan Zwarte Pit (pembantunya Sinterklaas) yang banyak diceritakan dan muncul di poster-poster toko.
Nah, hari ini saat pertama kalinya aku melihat perayaan itu, yang aku nggak tahu juga bakal seperti apa, ternyata ya sudah cuma seperti acara jumpa fans saja. Anak-ank berbaris rapi menunggu Sinterklaas datang, lalu menyapa sembari menunggu dapat papernoten yang disebar oleh Zwarte Pit.
Aku bertanya kepada anakku, apakah seru? Tentu, katanya. Hal yang paling seru apa? Dapat hadiah dari temannya.
Dia juga hari-hari sebelumnya sempat bercerita, kalau di sekolah gurunya sempat ngobrol tentang kado dari Sinterklaas. Hanya dia dan satu teman laki-laki yang juga muslim yang tidak dapat kado. Saat bercerita kepadaku, awalnya dia kecewa. Tapi setelah aku dan suamiku ngobrol tentang budaya Sinterklaas dan kita yang beragama islam, dia pun memaklumi dan menerima alasan tersebut.
Selama kurang lebih dua mingguan, lagu-lagu Sinterklaas acapkali meramaikan rumah ini. Apalagi anak keduaku sudah sekolah, tentunya dia juga sudah dicekoki dengan berbagai lagu-lagu dan selebrasi itu.
Sebagai seorang muslim dan sebagai orangtua, kami mencoba masuk ke dunianya dia yang sedang penuh dengan rasa penasaran itu tentu dengan hati-hati.
Ketika Nahla dengan serunya cerita tentang hadiah yang didapatkan teman-temannya sementara dia dan temannya yang muslim nggak dapat, suami menjawab dengan santai : Sinterklaas itu bukan budaya kita sebagai orang Indonesia dan sebagai muslim kita tidak merayakannya.
Singkat sekali.
Setelah jawaban itu, Nahla nampaknya mulai paham dan dia lanjut bercerita tentang keseruan teman-temannya yang mendapatkan kado yang katanya dari Sinterklaas yang dikirim lewat cerobong asap. Aku ketawa dalam hati mendengarnya. Langsung teringat pada film-film barat yang aku tonton saat aku kecil, pikirku. Dalam benakku berkata : Please nak, sekarang itu rumah sudah jarang yang pake cerobong asap. Lha wong kita saja rumahnya pake pemanas lantai, kok. Eh tidak lama dia pun berucap : lho tapi kan rumah si x nggak ada cerobong asapnya???

Sebenarnya ini adalah momen tahunan yang akan muncul terutama di Eropa dan Amerika. Banyak dari mereka yang hanya merayakan ini karena ini adalah momen berulang yang membudaya. Sedikit dari mereka yang mengaitkan hal ini dengan religiusitas. Beragama di sini adalah hal banyak dikesampingkan, kecuali bagi mereka yang tetap memegang teguh dan meyakini keberadaan Tuhan.
Dengan adanya momen berulang ini bagi anak-anak mungkin memberikan kesan menyenangkan. Sama halnya dengan momen kita sebagai muslim saat berlebaran. Momen yang menyenangkan itu adalah berkumpulnya sanak saudara, rumah penuh dengan hiasan, ada makanan lezat yang terhidang, serta hari-hari yang tentu berbeda dengan hari-hari biasanya.
Kali ini sayangnya aku pun lupa untuk memberikan semacam aba-aba tentang konsep Sinterklaas. Rasanya tahun kemarin dia belum begitu ngeuh juga. Tidak ada tukar kado juga. Hanya saja karena tahun ini dia harus membuat kado dan bertukar kado dengan temannya, jadi dia lebih penasaran.
Tahun ini pun aku dan suami ikut menghadiri undangan tersebut karena…. penasaran saja seperti apa acaranya. Ternyata ya hanya seperti jumpa fans. Anak-anak berbaris rapi menunggu Sinterklaas datang. Lalu Sinterklaas datang sambil menyapa anak-anak di mobilnya. Setelah itu mereka berkumpul di halaman sekolah dan bernyanyi bersama. Hanya sekitar 20 menit acara itu berlangsung. Tidak ada selebrasi heboh maupun makan-makan. Saat itu pun aku mengukuhkan niat, kehadiranku ke sana untuk memberikan senyum kebahagiaan pada anakku karena kehadiran orangtuanya di sana. Sekaligus nanti menjadi bahan diskusi kami agar lebih masuk konsepnya.
Malam harinya kami pun mendiskusikan hal itu. Setelah anakku mendapatkan jawaban singkat dari ayahnya, dia sepertinya mulai paham. Malam ini sebelum tidur, aku kembali mengajak anakku ngobrol tentang hari ini. Lewat obrolan sederhana ini pun lagi-lagi kesimpulannya cuma dua hal yang dia senangi : mendapatkan hadiah dan saling tukar kado. Saat aku tanya tentang Sinterklaas dia hanya menjawab ‘just fun aja Sinterklaas mah’.
Pertalian kenangan ini memberikan point of view yang berbeda. Ada relasi agama yang kerap dikaitkan dalam selebrasi ini, karena kita berbeda dan hal itu bukan budaya kita, tentunya ada kekhawatiran.
Dulu mungkin aku memandangnya dengan sederhana. Sebagaimana anak-anak yang lain, aku pun menonton film-film liburan dari Amerika itu hanya hiburan semata. Namun saat melihat langsung dan anakku merasakannya langsung, bisa jadi ada kenangan yang tersisa di benaknya.
Niat adalah hal aku sisipkan saat aku menghadiri acara tersebut. Niatku bukan untuk ikut merayakan, tapi untuk membahagiakan anak karena kehadiran orangtua menjadi momen yang aku yakini penting untuk seorang anak.
Riuh hari-hari tentang Sinterklaas ini mungkin hanya berlangsung selama satu bulan. Tapi ritual keagamaan kita, hadiah-hadiah doa yang kita panjatkan untuk anak-anak kita, teladan dan kasih sayang yang kita hadirkan di rumah, serta keseharian kita yang kita upayakan dengan penuh kesadaran dan kesalehan semoga menjadi kenangan yang lebih kuat dan menguatkan keimanan mereka pada Allah ‘azza wa jalla. Aamiin
Groningen, 5 Desember 2024
Always enjoy mbak gina’s writing 😍😍