Hampir dua minggu ini saya tinggal di rumah ibu. Awalnya karena suami kebetulan sedang ada kerjaan di luar kota dan persiapan menyambut 40 hari meninggalnya Abah. Kegiatan sehari-hari saya ternyata nggak pernah jauh-jauh dari bantuin Ibu bebikinan, jadi supir Ibu sampai beres-beres atau decluttering. Terutama decluttering barang-barang punya Abah yang ternyata ada buanyaaaaak banget.
Kebayang kan, betapa sibuknya saya di rumah Ibu, nih. Sampai-sampai nggak sempat buat bikin postingan blog. wkwk *alesan
Jujur saja, selama proses decluttering yang bukan barang-barang sendiri itu tantangannya lebih banyak. Jelas sih, perlu ada persetujuan dari yang punya, atau dari orang terdekat, dalam hal ini adalah Ibuku.
Kelekatan dengan barang itu masih banyak terjadi di setiap kita, termasuk orang tua saya sendiri. Bahkan dari dulu, kalau sedang beberes rumah besar-besaran, versi beberes kita pun beda. Kalau saya beberes berarti memilah yang bagus dan membuang yang sudah sekiranya nggak terpakai, ibu saya malah memungutinya dengan alih-alih, kali saja nanti terpakai.
Terdengar akrab? atau jangan-jangan kamu juga tipe orang yang suka menimbun (hoarding) barang dengan alih-alih demikian? Yuk, kita perdalam hubungan kita dengan barang. Apa iya kita sebutuh itu dengan barang? Kali aja itu kapan dan untuk apa, hayo?
Decluttering, Metode Memilah Barang dengan Sadar
Decluttering adalah kegiatan yang banyak dibicarakan oleh orang-orang yang sedang melakukan gaya hidup minimalis. Jika saya tilik, budaya decluttering itu sudah ada kok di kehidupan kita sehari. Kita lebih akrab dengan menyebutnya beres-beres atau beberes. Tapi di sini memiliki definisi yang lebih luas.
Declutter dalam kamus oxford bermakna : to remove things that you do not use so that you have more space and can easily find things when you need them. Jadi bisa disimpulkan bahwa kegiatan beberes atau decluttering ini terdiri dari tiga kegiatan, yaitu : menata barang, memilih barang, dan memilah barang.

Ketika melakukan kegiatan beberes, ada metode yang banyak digunakan oleh pegiat minimalis. Metode tersebut adalah metode Four Boxes Methode. Kotak tersebut terdiri dari :
- Trash; kotak ini kita sediakan untuk barang-barang yang sudah tidak layak pakai. Kemudian nanti bisa disumbangkan untuk didaur ulang, atau kita jadikan olahan kain lain. Please, pakaian bekas bukan cuma buat keset ya. Ada banyak kreasi lain, kok.
- Giveaway/Sell ; di kotak ini, kita bisa menyimpan barang yang masih layak pakai tapi sudah tidak kita gunakan lagi. Next mungkin bisa kita jual atau kita berikan kepada yang membutuhkan. Kamu bisa memanfaatkan media sosial untuk menjual atau memberikannya.
- Storage; setelah memilah, kita akan menemukan barang yang mungkin akan kita gunakan. Taruhlah barang tersebut di kotak ini. Tapiii, pastikan bahwa barang tersebut memiliki kemungkinan besar untuk digunakan ya. Jangan asal taruh padahal udah nggak layak atau nggak ada momen untuk dipakai lagi sebenarnya.
- Put away; Kalau di kotak ini, kita bisa menyimpan barang-barang yang memang biasa kita pakai. Untuk memudahkan pencarian, mungkin kita bisa memakai metode seperti Marie Kondo yang memastikan semua barang ada rumahnya atau apapun penempatan barang yang bisa dipastikan kita mudah untuk mengambil dan sering untuk menggunakannya.
Yang pasti, kegiatan ini perlu dilakukan dengan kesadaran. Kenapa penuh kesadaran? agar penuh dengan kerelaan, melepas dengan bahagia, dan menjadikan kegiatan beberes menjadi kegiatan berarti.
Belajar Tentang Melepaskan dari Decluttering
Belajar melepaskan barang-barang itu penuh dengan pergulatan bathin lho ternyata. Ada kenangan yang tiba-tiba menyeruak muncul, rasa eman terhadap barang, semisal karena harganya, atau merasa takut tidak menghargai karena barang tersebut adalah pemberian orang lain.
Oleh karena itu, belajar melepaskan adalah hal yang sangat ditekankan saat kita beberes barang. Melepaskan suatu barang melatih kita untuk mempertimbangkan dengan matang saat pemilahan, merelakan/mengikhlaskan perpindahan barang kepada orang lain, hingga mampu memastikan perpindahan barang tersebut.
Iya, kalau bisa kita pastikan bahwa barang yang berpindah tersebut bermanfaat, dipakai lagi, dan tidak menyia-nyiakan.
Baca juga : Ketika Beberes jadi Terapi Stres
Saya ingat betul momen kali pertama saya menghadapi situasi untuk belajar melepaskan. Kala itu saya sekeluarga yang harus berangkat ke Belanda ternyata memiliki barang banyak sekali di kontrakan. Beruntungnya ada teman yang mau buka garage sale. Akhirnya semua pakaian saya berikan pada teman saya tersebut. Sementara alat dapur dan furnitur saya berikan kepada tetangga yang membutuhkan.
Kali itu menjadi pengalaman yang cukup berkesan. Saya jelas sangat tidak rela, tapi bagaimanapun toh harus merelakan. Sejak saat itu, saya akhirnya belajar bahwa ini ada momen mempraktikkan bahwa jelas-jelas tidak satu pun yang akan kita miliki selamanya.
Iya, kita sering mendengar kata-kata itu tapi ternyata menerima kenyataan tersebut memang pahit. Bahkan kepada benda pun kita perlu belajar rela/ikhlas, apalagi kepada yang lain.
Manfaat Decluttering, Rumah Lapang dan Stres pun Berkurang
Semenjak terus berpindah-pindah rumah, saya dan suami pun memutuskan untuk tidak memiliki barang banyak. Jika pun harus membeli barang, sebisa mungkin yang mudah untuk saya singkirkan, ramah lingkungan, dan dapat bermanfaat lagi buat orang lain.
Manfaat pertama dari decluttering yang saya rasakan ketika melakukan decluttering, barang yang kita miliki menjadi lebih sedikit, jadi besok-besoknya waktu kita untuk beberes pun lebih cepat.
Dengan ruangan yang lapang, selanjutnya juga membantu pikiran kita lebih lapang untuk mencerna situasi bahkan hubungan. Hal ini sebagaimana penelitian Eliza Libby dkk dalam jurnal ScienceDirect yang saya kutip dari The Conversation menyebutkan bahwa lingkungan fisik di sekitar kita memengaruhi kognisi, emosi, dan perilaku kita secara signifikan. Bahkan hubungan kita dengan orang lain pun dipengaruhi oleh kondisi ini.
Baca juga : Checklist Belanjaan Saat Pindahan
Jangan sampai kita diributkan oleh barang-barang kita sendiri, sampai kita tidak produktif untuk menghasilkan karya. Tapi, nggak melulu juga waktu kita produktif untuk bekerja, karena barang yang kita miliki pun harus dijaga dengan baik.
Beberes pun ternyata bisa menjadi kegiatan untuk stress release. Namun tentunya dengan barang yang lebih sedikit, akan membuat kita lebih jarang stres tersebabkan oleh barang-barang.
Makanya kemudian banyak yang menekankan bahwa kegiatan bebersih ini bukan hal yang buruk, efek metode Marie Kondo bahkan meningkatkan kemauan orang-orang untuk berbenah, bahkan sumbangan barang pun meningkatkan karena orang-orang kemudian menyadari pentingnya decluttering secara sadar.
Tentu ini adalah kegiatan positif, bahkan memiliki manfaat yang bagus untuk mental dan fisik kita. Sempatkan waktunya, yuk.
Nah, kalau bersinggungan dengan hidup minimalis, saya jadi ingat obrolan saya bersama Mbak Nikmah. Beberapa kali beliau singgung bahwa hidup dengan sedikit barang itu seharusnya memiliki manfaat yang membuat kita lebih minim stres dan kita jadi gemar rapi.
Sayangnya perasaan kita lebih bahagia saat membeli barang, memiliki barang baru, dibandingkan dengan melepaskan barang, menyumbangkan barang, dan mengikhlaskan kepergian barang tersebut. Ya nggak?
Padahal memahami kondisi tubuh semestinya kita juga menyadari bahwa otak kita itu suka sekali dengan keteraturan. Distraksi visual bisa sangat mengganggu kemampuan kognitif untuk mencerna sesuatu lho. Tak jarang malah kita jadi sering lupa untuk melakukan suatu hal gara-gara tumpukan barang yang mengisi ruangan kita.
So, setelah baca ini cobalah lihat sekeliling kita, yuk. Mungkin ada hal yang harus kita benahi, pilah, atau bahkan kita singkirkan. Tentunya setelah kita pilah, jangan kita buang tapi bisa kita jual, donasikan, berikan pada perseorangan maupun instansi yang bertanggung jawab untuk mengolahnya dengan baik. Ingat, bukan dibuang sembarangan ke tempat sampah, ya.
Aku yang termasuk menunda2 bangett milih2in barang ini kak ghin. Padahal rumah udah penuh sesakk
Tapi menurut saya malah lebih mudah buangin barang barang milik orang, daripada milik sendiri. Heehe … Saya malah suka banget “bersihin” apapun punya suami yang saya rasa udah gak diperlukan lagi olehnya.
Giliran saya mau buangin barang saya, wah semuanya terasa memiliki kenangan… Jadi sayang, hihihi…
Waaah begitu ya mbak. Tapi kmrn perdebatannya dgn ibuku lebih alot, jadilah masih bnyk bareng yg menimbun di rumah
Saya paling senang kalau sudah memilah-milah pakaian. Sementara barang lain, entah karena tidak begitu banyak barang atau kurang peka selama ini, wkwk.. Kurang kepikiran.
Padahal ada perabotan dapur juga yang banyak perlu dipilih mana yang sudah rusak dan mana yang masih selalu dipakai. Kadang bekas kaleng biskuit aja masih bercokol di rak dapur. aduh.
Kalau pilah pakaian ini motivasi untuk beli baru gt ada nggak mbak? Kalau aku sukanya berbenah selain pakaian malah, karena lebih mudah diseleksi
Manarik sekali ulasannya, Mbak Ghina. Kalau saya, pas pilah-pilih barang, kalau barang itu penuh perjuangan dan kenangan, tidak saya lepas hahaha. Tapi memang perlu kerelaaan saat melepaskan barang lain juga ya, Mbak. Apalagi memang sudah banyak diterapkan perabotan minimalis dan multifungsi.
Harus rela donk mas bams, kan kasihan juga kalau nggak dipakai atau rumah sudah terisi penuh barang. memang perlu pelan2 dan dilakukan secara sdar ya mas
Kalau untuk pakaian, saya bisa langsung memutuskan untuk orang rumah mba.
Tapi, giliran perlengkapan lain di rumah yang sudah bikin mata sepet melihatnya, nggak dibolehin juga untuk mencarikan pemilik baru, padahal sudah berdebu karena jarang disentuh sama yg punya, alasannya yaitu kenangan dan keterikatan. Tapi nggak dirawat, hadeh 8darah tinggi emak2 suka naik kalau udah mulai bersih2, haha*
hahaham kenangan, keterikatan dan kemungkinan nanti bisa dipakai lagi itu emang melekat dalam budaya beberes kita ya mbak..
Rata-rata emak memang kayak gitu ya. Ibu saya juga kayak gitu, barang-barang dikumpulin sampe numpuk, padahal belum tentu terpakai juga, hahahaha. Selama ini pakaian bekas saya gunakan kalo nggak buat keset, ya buat cempal, wkwkwkwk. Wah ternyata seru juga decluttering, mana tau bisa nemu duit yang nyempil. Terima kasih ulasannya.
Beberes alias berbenah lah ya mbak biar gampang hihi, memang jadi kegiatan yang bisa meringankan barang yang ada, jadi gak sumpek malah bisa bermanfaat buat yang membutuhkan
Ternyata beres-beres ibunya Mbak Ghina sama dengan mertua saya. Memilah barang untuk disimpan kembali karena jaga-jaga siapa tau dibutuhkan di kemudian hari. Beda versi dengan kita-kita yang ingin serba minimalis dan praktis ya hehehe
Aku nih termasuk orang yang simpan aja dulu. Siapa tahu nanti bermanfaat. Gitu. Padahal nantinya juga nggak tahu apakah cepat datang atau malah nggak datang sama sekali. Hehehehe
Emang kudu belajar melepas barang-barang yang sudah nggak akan digunakan sih.
Part yang paling nyebelin sih kalau buatku decluttering itu. Karena pertama pasti emosional inget memori dari barang2 tersebut.. dan kedua, stress sendiri lihat tumpukan barang yang ternyata buanya banget :’)
aaaaaaaah susah banget iniiiiii wkwkwk. aku ngelepasin baju yang padahal udah gak pernah dipakai aja rasanya susah pisan 😂😂😂😂
Kalau di tempat kerja saya sudah lama menerapkan budaya beres-beres ala Jepang yang dikenal dengan sebutan 5S. Seiri, Seso, Seiton, Seiketsu, Shitsuke. Dimana memisahkan barang yang dipakai dengan yang tidak, membuang barang yang tidak perlu, merapikan selalu, make it habit ya intinya gitu.
wah ini, paling susah klo lagi decluttering ada mama di rumah
pasti nggak boleh buang ini itu
padahal decluttering ini perlu ya mbak, biar rumah lebih rapi
Setahun belakangan baramg-barang dirumah bertambah lagi. Padagal saat pindahan udah banyak yang dikurangi. Nampaknya mau mulai delecturing lagi nih aku.
Karena sudah terlalu sesak dan rumah makin gak muat hiksss..
nah kadang aku susah move on kak sama baju yang nggak kepakai.. mau disumbangin udha banyak robek2 .. mau dipake keset sayang banget.. mau dikreasikan bingung mau buat apa haha. akhirnya numpuk di lemari..
Benar, decluttering ini berat sekali.
Ada banyak hal yang mengandung kenangan atau dari seseorang yang sulit sekali untuk dilepaskan.
Padahal kalau dilepaskan tuh…rasanya lebih lega juga suasana di rumah yaa…
Aku juga kadang eman atau sayang buang barang yang ada kenangan nya, tapi karena itu banyak barang menumpuk di gudang.
Mungkin sudah saatnya beres-beres sambil buang barang yang sudah tidak diperlukan kali ya biar rumah tidak sumpek.
Saat ini aku masih tinggal di rumah mertua. Kedua mertua sudah meninggal, tapi barang-barangnya masih banyak yang tertinggal.
Mau decluttering, sungkan, karena saya bukan pemilik ya kan?! Sementara masih ada kakak ipar, tapi tinggalnya diluar kota. Barangnya ditinggal semua disini.
Duh.. Sumpek betul.
Mba Ghinaaaa, apa kabarnya? 😍
Saya setuju sama tulisan mba Ghina, decluttering ini secara nggak langsung membantu kurangi beban saya agar bisa fokus pada hal-hal yang jauh lebih important ketimbang memikirkan, aduh banyak debu di rumah gara-gara barang ketumpuk di mana-mana 😂 Wk. By the way, semenjak rutin lihat variety show House Detox, saya pun jauh lebih sering decluttering barang di rumah, dan lebih mindful saat belanja 😆
As usual, tulisan mba Ghina always menyenangkan untuk dibaca, thanks for sharing, mba 🥳
Haaaaaai, Mba Eno.
Kabarku baik alhamdulillah. semoga mba eno juga baik-baik saja ya. eh ada variety shownya juga ya decluttering nih. jadi bikin semangat ya buat decluttering mbak eno.
Aku nih kalau berhadapan sama debu malas banget mbak, jadi kalau bisa sebelum ada debu-debu, kita udah berbenah duluan. Cma seringnya suka baru sadar dan baru pengen itu ya karena melihat debu itu, wkwk
Halo mbak Ghina…
Sama, aku jg kadang begitu ketika mau beberes.. Ketika ada barang yg mau dibuang, tiba tiba muncul pergolakan batin. Waah, barang ini sayang kalo dibuang, waah ini harganya mahal, waah ini kenangan dari si doi *ehh
Dan tips nya memisahkan berdasarkan klasifikasi nya menarik. Suatu pengetahuan baru bagiku nih, mbak…
Hai, Dodo. long time no see
Memang ya pergolakan bathin terhadap barang itu sering terjadi, bathin kita lebih tergolak batinnnya ketika melepaskan daripada membeli. Mungkin itu seperti latihan belajar meninggalkan sesuatu atau seseorang. tapi ya kalau udah penuh dan kalau udah saatnya ya masa kita ga rela kan..
Aku senang nih benernya buang-buang barang…berasa ikhlas dan lega gitu. tapi bingungnya membuang kemana ini, masih bingung..
aku banyak banget pengen melepas barang2 cuma bingung, dibuang tempat sampah mubazir mau ngaish orang tapi bajunya udah busuk dari gudang hiks
Saya termasuk yang ngga suka menyimpan barang ngga perlu, apalagi kalau ukurannya besar..karena kebetulan rumah ruangnya ga banyak. Jadi kalau ada barang besar tak dipakai lebih baik segera disingkirkan.
Saya tipikal orang yang menyimpan barang cukup lama bukan karena ditumpuk atau disimpan, Tapi karena memang sehari-hari Masih bisa dipakai. Jadi kalau ada barang yang saya buang, itu karena memang sudah tidak bisa dipakai.
Biasanya saya decluttering barang milik adik, bapak Dan ibu karena mereka suka beli barang lalu disimpan aja gitu, jarang dipakai. Jadi setahun sekali atau 2 Kali saya harus bongkar lemari demi mengurangi isinya.