Seringkali, orangtua tanpa sadar menjadi helicopter parents atas obsesinya pada anak. Hasilnya memang terlihat baik, membanggakan pastinya. Tapi dalam prosesnya, tak melulu berhasil namun bahkan memberikan luka pengasuhan pada anaknya.
Bukan, ini bukan menceritakan tentang orangtua yang toxic maupun durhaka. Baik orangtua maupun anak bisa menjadi durhaka karena sikap dan perbuatannya.
Tapi ini adalah kisah saya tentang berdamai dengan luka pengasuhan tersebut. Luka yang alhamdulillah sudah saya obati dan saya syukuri proses perjalanannya. Meski cukup berat, pergolakan bathin, kesadaran dan lingkungan telah membuat mata saya lebih terbuka.
Jika maksud orangtua baik, maka terima perintahnya sebagaimana bakti orangtua menjadi perintah Tuhan.
Obsesi Menghafal Alquran yang Menyeramkan
Siapa di sini yang anak-anaknya sedari kecil sudah diminta oleh orangtuanya untuk menghafal?
Semoga berjalan dengan lancar dan anak-anak senang untuk menjalaninya, ya.Tapi kalau anak belum mau, tidak perlu dipaksakan, ya.
Memiliki orangtua yang agamis adalah hal patut disyukuri. Seperti halnya saya yang bersyukur terlahir dari orangtua dan lingkungan yang dekat dengan Tuhan. Beliau berdua mendidik anak-anaknya dengan cukup strict untuk aturan pakaian hingga pendidikan agama. Tapi semua terasa nyaman karena terus dibersamai, diberikan contoh, dan dibimbing.
Hanya saja, hal lain terjadi dan di keluarga ini hanya terjadi pada saya saja. Saya diminta untuk menghafal surat An Naba ketika saya akan mengkhatamkan ngaji Alquran saya yang kesekian kalinya.
Kala itu saya sudah menginjak bangku sekitar kelas lima MI. Untuk belajar agama, sekolah pun dipilihnya madrasah yang mata pelajaran agamanya banyak. Selain itu, sorenya ada TPQ agar ikut ngaji dengan para ustadzah. Sementara di rumah, ibu saya seperti punya obsesi agar anak-anaknya sudah khatam Alquran saat di bangku kelas tiga MI.
Rasanya tidak ada satu pun anak-anaknya yang diminta untuk menghafal juz 30. Saat itu kehebohan anak-anak menghafal Alquran saja belum ramai, toh.
Baca juga : Halaqoh Tadarus Online
Tapi perintah Abah yang tiba-tiba ini menciutkan mental ngaji saya. Kenapa saya? Adik dan kakak kok tidak? Menghafal itu kan berat. Apalagi kalau teringat wajah Abah saat marah, nanti kalau salah setorannya bagaimana? Nanti jangan-jangan habis An-Naba suruh menghafal surat yang lain lagi? Aaaaa, tidaaak!
Sejak saat itu, juz 30 dan surat An Naba menjadi bagian yang menyeramkan buat saya. Saya jadi tidak berani lagi untuk mengaji dengan suara lantang saat bagian juz 30 tiba. Tapi saya pun tidak mulai menghafalkannya karena ketakutan-ketakutan itu tadi.
Kala itu, saya benar-benar takut untuk menghafal Alquran.
Mulai Menghafal Alquran dengan Semangat berbeda
Sejak saat itu saya selalu takut membaca Alquran kencang-kencang saat juz 30 tiba. Meski Abah tidak pernah lagi meminta saya untuk menghafal, tapi ketakutan itu terus saja menghantui sampai saya besar.
Namun bak gayung bersambut, saat saya kuliah orangtua saya terlalu khawatir jika saya harus ngekost. Akhirnya minta dicarikan pondok saya kakak ipar saya dan singgahlah saya di sebuah pondok di Yogyakarta. Pondok Pandanaran yang ternyata pondok Tahfidz juga.
Alamaaaak!
Saya tidak tahu kalau ternyata pondok ini adalah pondok tahfidz. Saat tahu kalau itu pondok tahfidz sontak saja saya langsung ingin pindah pondok.
Sayangnya, saya tidak boleh dan tidak bisa pindah. Orangtua tidak menghendaki. Tentu saja, awal-awal tinggal di pondok saya jadi culture shock. Apalagi suasana kampus juga banyak yang mengejutkan untuk saya yang berasal dari kampung ini.
Amburadul sekali rasanya awal-awal tinggal di Yogyakarta ini.
Untungnya ternyata komplek yang saya tempati ini tidak mewajibkan untuk menghafal, kecuali juz 30. Meskipun berat, mau tidak mau saya harus mau. Karena ini syarat untuk tetap tinggal di pondok. Saya juga tidak mungkin kabur karena Yogya masih asing untuk saya. Tidak ada juga sanak saudara di sini.
Bersyukur sekali kemudian saya dipertemukan teman-teman di pondok yang sangat baik dan senantiasa menebarkan semangat positif untuk mengaji maupun kuliah. Kebetulan yang seangkatan dengan saya lumayan banyak saat itu. Jadilah, saya ikutan terpacu untuk berdamai dan mulai menghafal.
Pelan-pelan saya pun mulai mencoba berdamai dengan mental ketakutan yang selama ini menghantui saya. Apalagi orangtua tidak lagi menanyakan soal hafalan. Ya mungkin dikiranya saya sudah mulai menghafal sih.
Inner Child dan Pentingnya Membasuh Luka Pengasuhan
Kalau dipikir-pikir, ketakutan masa kecil saya ini menjadi perjalanan masa kecil yang sangat membekas dalam kehidupan saya. Kadang penuh ketakutan, namun kadang penuh kebahagiaan.
Kemarin saat mengikuti kelas Inner Child bersama Teh Diah Mahmudah dan Mas Dandy Birdy dari Dandiah Care, saya tetiba teringat pada kenangan tersebut. Kenangan yang saya takuti namun sekaligus saya syukuri.
Menurut Teh Diah, inner child bukan sekadar kenangan buruk. Inner child adalah peristiwa di masa kecil baik kenangan baik maupun buruk yang mempengaruhi kepribadian seseorang.
Saya merasa sekali, kenangan masa kecil saya berpengaruh sekali terhadap pengasuhan saya sekarang. Apalagi saat ini, anak-anak kecil menghafal Alquran ini sudah menjadi gaya pengasuhan tersendiri. Orangtua banyak berlomba agar anaknya mulai menghafal, bahkan sedari dini.
Di sinilah saya perlu berdamai dengan kenangan masa lalu dan pengasuhan saya. Ketika obsesi sedang muncul, hal itu dibersamai juga dengan tanda mental buruk yang muncul, seperti : tidak percaya diri, terlalu kompetitif, merasa bersalah, dan emosi yang tidak stabil. Ah, saya hal itu muncul, saya perlu segera melawannya.
Seperti yang Teh Diah dan Pak Dandy bilang, inner child itu perlu kita lawan (fight) bukan mengalihkannya (flight). Tapi tidak perlu dipaksakan, karena proses healing itu butuh kesadaran dan waktu yang tidak sebentar.
Makanya untuk melakukan penyembuhan tersebut, dalam istilah psikologi, Teh Diah bilang kita harus memahami urgensi belajar ilmu membasuh luka pengasuhan itu sendiri, yaitu : melakukan pembasuhan luka secara kuratif, yaitu dengan terapi pemulihan jiwa (self healing therapy), dan preventif dengan cara agar tidak terjadi lagi luka itu dalam pengasuhan kita.
Saya menyelami maksud baik yang diharapkan oleh orangtua saya agar saya menghafal. Kenangan ini menjadi buruk karena sikap yang muncul dan ketakutan berlebih. Jadi melalui pengobatan luka pengasuhan ini saya juga perlu berdamai, memaknai maksud baik yang diharapkan orangtua serta memberikan pemaknaan yang berbeda terhadap pengasuhan semisal menghafal Alquran ini agar tidak terulang lukanya.
Yuk, jadi Alquran sebagai Healing
Hubungan Alquran dan healing bagi umat muslim tentu saja merupakan suatu sistem. Sebagaimana fungsi Alquran yang memiliki tujuan menjadi petunjuk bagi setiap manusia. Jadi proses mendekatkan Alquran kepada anak pun kemudian saya buatkan konsep yang lebih bersahabat.
Mengajak anak untuk menghafal Alquran tentu baik, tapi tak perlu dipaksakan jika memang anak belum mau. Lebih utama lagi menurut saya adalah mengakrabkan anak-anak dengan Alquran terlebih dahulu.
Beberapa hal yang kemudian saya lakukan adalah merutinkan anak mengaji setelah saya mengaji, memberikan contoh dengan sering mendaras Alquran, menyempatkan waktu untuk bersama-sama membaca Alquran dan tentunya menjadikan Alquran dan nilai-nilainya menjadi living dalam keseharian kita sebagai muslim. (Semoga kami dimampukan untuk istiqomah).
Besar harapan saya, luka dan obsesi itu bisa perlahan hilang dengan cara-cara demikian. Mohon doanya, ya teman-teman, agar saya tidak membawa lagi luka saya dalam pengasuhan ini.
aamiin mbak ghina, terima kasih sudha berbagi di sini. aku pun pernah dapat cerita dari ustad harry, ada anak yang begitu membenci quran sebab ternyata sedari kecil ia dipaksa dengan ancaman dan omelan dalam menghapal quran. semoga kita sebagi orang tua bisa menjaga menumbuhkan fitrah iman anak2 kita ya mbak, dan sambil menyembuhkan luka2 pengasuhan d dalam diri kita
aamiin teh.. menumbuhkan keimanan itu memang perlu usaha yg smooth ya. Alhamdulillah sudah berdamai dan malah jdikan Quran teman dekat itu kenikmatan banget sih..